YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam rangka Tahniah 85 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif yang bertepatan pada tanggal 31 Mei 2020, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan bahwa Buya Syafii Ma’arif adalah sosok yang spesial dalam perjalanan pergerakan Muhammadiyah, lebih-lebih dalam kehidupan bangsa. Sekarang Buya adalah tokoh yang sering disebut sebagai “Bapak Bangsa” karena kecintaannya, pemikirannya, sikap hidup, dan tindakannya dipandang oleh masyarakat luas sebagai sosok negarawan.
Buya Syafii hadir sebagai tokoh Muhammadiyah ataupun tokoh bangsa tidak dalam perjalanan yang singkat dan linier. Beliau menapaki perjalanan dan perjuangan hidup yang luar biasa. Dalam puncak perjalanannya tersebut kemudian membawa beliau menjadi sosok yang memberi makna special bagi kehidupan bangsa.
Sebagai tokoh Muhammadiyah, beliau telah ikut menorehkan pemikiran-pemikiran maju. Bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai pemikiran liberal dalam makna positif. Pemikirannya sering keluar dari tatanan dan status pemikiran pada umumnya. Di era beliaulah lahir pemikiran tentang Khittah Muhammadiyah 2002 di Denpasar sekaligus juga dakwah kultural yang sempat menjadi polemik di tubuh persyarikatan.
“Dalam konteks Muhammadiyah Buya sangat paham bagaimana membingkai pemikiran-pemikiran tersebut dalam satu sistem dan kolektifitas. Sehingga menghasilkan pemikiran bersama yang memberi warna dalam perjalanan Muhammadiyah yaitu Muhammadiyah yang berwajah kultural tanpa wajah politik,” ujar Haedar.
Tradisi kultural tersebut merupakan kelanjutan dari mata rantai Khittah Muhammadiyah yang telah diletakkan oleh para pendahulu sejak tahun 1968, 1969, 1971 sampai seterusnya. Warna Muhammadiyah yang kultural sesungguhnya adalah karakter Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah bil hikmah. Sekaligus juga mencerminkan kepribadian dan khittah Muhammadiyah.
Dalam konteks bangsa, Buya telah hadir sebagai sosok yang memberi warna serta menghadirkan pemahaman tentang prularisme atau kemajemukan dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Namun di satu sisi tetap harus memegang prinsip Islam, dengan cara menghadirkan Islam yang inklusif. “Warna ini sangat kuat dan terkadang dalam beberapa hal menimbulkan salah paham serta kontroversi dikalangan sebagian umat bahkan sebagian warga Muhammadiyah sendiri. Tapi lama kelamaan kita memahami karakter pemikiran inklusif tersebut sabagai bagian yang tidak terpisahkan dari alam pikiran Muhammadiyah,” paparnya.
Kiprah buya sebagai sosok yang mewakili civil society, menunjukkan sikap tidak anti kekuasaan atau rezim, tetapi juga tidak larut dan masuk dalam rezim kekuasaan. “Tentu setiap orang memiliki kekurangan, tetapi benang merahnya adalah, Buya ingin menghadirkan Islam, Muhammadiyah dan wawasan kebangsaan yang mampu merawat kemajemukan,” jelasnya. (diko)