Diko Ahmad Riza Primadi
Angin berhembus kencang di kawasan bebatuan granit di tepian laut merah. Awan hitam beringsut memukul mundur pusat semesta. Gelombang mencoba menunjukkan keperkasaannya kepada kapal yang berlabuh di perbatasan antara bumi dan air untuk mengantarkan teror kecemasan kepada keluarga nelayan. Seolah fenomena alam tersebut mengirimkan pesan dari langit bahwa akan terjadi kekacauan yang tak terduga oleh perasaan serta tidak dapat dibenarkan oleh akal. Pesan yang hanya mampu dibaca oleh manusia yang murni hatinya, entah siapa dia?
3.000 KM dari laut merah ke arah barat laut, terlahir seorang penguasa baru yang kejam setelah terjadi kekosongan pemerintahan dari penguasa lama yang mati karena dibunuh secara rahasia. Pasca sang presiden baru memegang tampuk kekuasaan, jutaan rakyat meluapkan kemarahannya di media sosial, ratusan ribu manusia turun ke jalan, kekacauan terjadi di mana-mana, angkatan militer terpecah menjadi dua kubu saling hantam dan serang. Yang keduanya sama-sama mengatasnamakan perdamaian.
Sekitar pukul 08.53 pagi di sebuah desa yang terletak cukup jauh dari hingar bingar kerusuhan, Ahmed berdiri di sebuah ruangan bekas ruko yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Ia sedang menunggu kawan-kawannya datang untuk melangsungkan pertemuan secara tertutup. Mencari jalan keluar demi tegaknya kembali sebuah keadilan dan perdamaian di negaranya. Baginya, perdamaian adalah surga yang hanya bisa dibeli dengan cara melenyapkan rasa egois pada diri masing-masing manusia. Namun dengan pengelihatan, pikiran dan perasaannya, hari ini terasa sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Keadaan semakin tidak terkendali saat lima pesawat tempur pihak penguasa menembaki sepuluh truk tanker minyak di pusat kota yang digunakan oleh kelompok pejuang untuk memblokade jalan. Beberapa pesawat dengan kecepatan super sonicnya melakukan manuver berbalik arah dan lantas menjatuhkan bom di kawasan padat penduduk.
“Boom” suara menggelegar dari langit menghantam bumi gersang yang dibarengi dengan puluhan nyawa warga sipil melayang seketika. Sejam kemudian para pemberontak melancarkan serangan besar-besaran ke sebuah pangkalan militer yang berafiliasi dengan kelompok pejuang, sekitar dua ratus kilometer sebelah barat daya Ibu Kota Negara, Tripoli. Mereka mengerahkan sekitar lima puluh tank lapis baja untuk menggempur dan memaksa pasukan pejuang angkat kaki dari wilayah tersebut.
Di salah satu sudut kota yang tidak jauh dari lokasi pertempuran, sekelompok anak muda melakukan pertemuan secara tertutup untuk melancarkan perlawanan. Anak paling dewasa diantara mereka “Ahmed” didaulat sebagai kepala komando oleh rekan-rekannya.
Ahmed yang memiliki nama lengkap Ahmed Pahlepi adalah anak dari seorang pedagang sayur berkewarganegaraan Suriah yang melarikan diri ke Libya setelah negerinya dilanda perang saudara 15 tahun silam. Di saat usianya masih tiga tahun, ayahnya memutuskan membawa seluruh anggota keluarganya pergi ke Libya demi mencari keamanan dari teror tantara penguasa Suriah yang terkenal sangat bengis.
Sebagaimana pribahasa “Keluar mulut singa, masuk mulut buaya”. Tidak di negerinya sendiri ataupun di negeri orang, situasi dan kondisi yang ia hadapi tidaklah jauh berbeda. Negeri Arab dilanda banyak kekacauan. Perang sudah menjadi jalan keluar untuk segala permasalahan. Ibarat keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya
“Perang tidak pernah baik dari sisi mana pun melihatnya. Tapi kemerdekaan layak dibayar dengan harga berapa pun,” ujar Ahmed saat membuka pembicaraan di tengah puing-puing bangunan yang berantakan.
“Tanpa perang maka tidak akan terlahir seorang pahlawan” balas rekannya yang terlihat sangat serius dari intonasi nada bicaranya.
Seluruhnya yang berjumlah tujuh orang mengangguk sepakat. Ahmed memberikan isyarat singkat dengan sorot matanya yang tajam agar pertemuan segera ditutup.
Dua jam kemudian, dengan menumpang transportasi darat yang tawarankan sang supir secara cuma-cuma, Ahmed dan keenam kawanya sampai di pusat kerusuhan terjadi. Radius 5 Km dari tempatnya berdiri, mengepul asap hitam tebal ke langit, truk tangker terbakar. Ia memandang dari kejauhan, mayat-mayat berjatuhan oleh tembakan. Secara tidak sadar air matanya terjatuh ke bumi. Ia bergumam dalam hati sambari menyeka matanya dengan jemarinya, “Apa artinya manusia tanpa kemanusiaan?”
Pertanyaan yang baginya tidak perlu untuk dijawab, cukup untuk disimpan dalam-dalam. “Rasanya seperti menyimpan sebukit kehancuran ketika manusia saling bunuh dan menyalahkan satu dengan lainnya. Ini akan menjadi tragedi tersedih sepanjang masa, ketika manusia tidak mengenal dirinya. Sudah pantaskah kita menjadi manusia seutuhnya,” tulis Ahmed dibuku catatan hariaanya ketika ia duduk sambil berbaring di rumah sakit akibat luka tembak yang ada di kaki kirinya.
Diko Ahmad Riza Primadi, Pegiat sastra asal Blitar