Ketika Presiden Jokowi meninjau sebuah Mall di Bekasi dalam rangka persiapan New Normal, sudah dapat diduga bahwa New Normal Indonesia terkait erat dengan kegiatan ekonomi pasar, New Normal beraroma ekonomi. Meski sebetulnya Kota Bekasi tidak termasuk daftar angkatan awal yang dibolehkan melakukan New Normal di era pandemi Covid ini.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid19 memberikan kewenangan kepada 102 kabupaten/kota yang saat ini masuk ke dalam zona hijau untuk melaksanakan kegiatan masyarakat produktif dan aman Covid-19. Demikian disampaikan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo di Graha BNPB, Sabtu (30/5/2020).
Salah satu Kota yang mendapat wewenang untuk menerapkan New Normal ini adalah Kota Tegal. Kota Tegal merupakan satu-satunya Kota/Kabupaten di Jawa Tengah, bahkan di Jawa, yang mendapat kesempatan untuk melakukan New Normal.Penerapan yang mulai awal Juni ini, sebagaimana terlihat di Bekasi juga terkait dengan pembukaan kembali Swalayan dan Mall.
Dalam menerapkan New Normal di Kota Tegal, Walikota Kota Tegal Dedy Yon Supriyono menyiapkan seluruh personel gabungan yang terdiri dari anggota TNI, Polri, Satpol PP, Dishub, BPBD dan tim medis khususnya yang terdiri dari dokter dan perawat yang bertugas di pusat-pusat perbelanjaan seperti swalayan dan mall.
Selain itu, lanjut Dedy, ada 10 boks disinfektan (chamber), 20 thermo gun dan 10 tempat cuci tangan dan ambulans yang disebar di beberapa mal dan supermarket di Kota Tegal. “Pengamanan di mal selama satu bulan, mempersiapkan pengamanan satu swalayan sejumlah 43 orang yang terdiri dari 20 Polri dan 20 orang TNI, 1 dokter dan dua perawat dalam satu shift-nya,” jelas Dedy
Kalau New Normal hanya terkait dengan adanya pembukaan Swalayan dan Mall kembali, lalu untuk daerah yang belum pernah menutup Swalayan dan Mall, kecuali ada kasus di Swalayan dan Mall tertentu, seperti dii Daerah Istimewa Yogyakarta, lalu New Nomalnya seperti apa?
Hal ini perlu penjelasan tersendirii oleh pemerintah, sebagaimana saran yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi dalam siaran persnya, Kamis (28/5). Di satu sisi Pemerintah masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tapi pada sisi lain menyampaikan pemberlakukan relaksasi. Kesimpangsiuran ini sering menjadi sumber ketegangan aparat dan rakyat. Bahkan, demi melaksanakan aturan kadang sebagian oknum aparat menggunakan cara-cara kekerasan.
Demikian halnya dengan “new normal”. Perlu ada penjelasan dari Pemerintah tentang kebijakan “new normal”. Jangan sampai masyarakat membuat penafsiran masing-masing. Di satu sisi, mall dan tempat perbelanjaan mulai dibuka, sementara masjid dan tempat ibadah masih harus ditutup.
Hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara aparat pemerintah dengan umat dan jamaah. Padahal ormas keagamaan sejak awal konsisten dengan melaksanakan ibadah di rumah, yang sangat tidak mudah keadaannya di lapangan bagi umat dan bagi ormas sendiri demi mencegah meluasnya kedaruratan akibat wabah Covid-19.
Karena itu, menurut PP Muhammadiyah, Pemerintah perlu mengkaji dengan seksama pemberlakuan “new normal” dan penjelasan yang objektif dan transparan terutama yang terkait dengan: (1) dasar kebijakan “new normal” dari aspek utama yakni kondisi penularan Covid-19 di Indonesia saat ini, (2) maksud dan tujuan “new normal”; (3) konsekwensi terhadap peraturan yang sudah berlaku, khususnya PSBB dan berbagai layanan publik; (4) jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau yang diberlakukan “new normal”; (5) persiapan-persiapan yang seksama agar masyarakat tidak menjadi korban, termasuk menjaga kemungkinan masih luasnya penularan wabah Covid-19.
Lima saran PP Muhammadiyah itu perlu dijawab dengan jelas oleh Pemerintah Pusat sebagai pemangku kebijakan agar masyarakat ataupun Pemerintah Daerah tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Apakah New Normal Indonesia sama dengan New Normal yang dirancang WHO atau berbeda?
WHO mengingatkan, setiap negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario new normal harus memperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan. 2. Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina. 3. Risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi , terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai. 4. Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan – dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan. 5. Risiko kasus impor dapat dikelola. 6. Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan new normal.
Sekali lagi, ini perlu penjelasan pemerintah. Sebab selama ini yang terjadi adanya penularan Covid 19 di Pasar dan Swalayan bukan pada pengunjungnya tetapi pada pegawai atau pelaku usahanya yang kemudian bisa menular kepada pengunjung atau sesama pegawai atau pelaku usaha.
Tengok kasus di sebuah Swalayan di Sleman Yogyakarta dari seorang karyawan Indogrosir kemudian menular ke 44 orang, baik itu sesama karyawan, keluarga karyawan maupun pengunjung Swalayan. Demikian pula yang terjadi di Surabaya dengan sejumlah kasus penutupan pasar, termasuk Pusat Grosir Surabaya. Sumbernya adalah pegawai atau pelaku usaha di Pasar tersebut.
Karenanya, pengetatan pengunjung memang perlu tetapi pengetatan pelaku usaha juga sangat perlu. Seringkali yang terjadi pengetatan pengunjung tetapi pegawai dan pelaku usaha bebas keluar masuk. Selain itu, prilaku di dalam juga perlu diperhatikan. Jangan hanya ketat saat masuk tetapi di dalam dibiarkan berkerumun sehingga potensi penularan tetap saja terjadi.
Sekali lagi dalam hal New Normal perlu sesuatunya yang jelas, tidak hanya dalam bidang ekonomi tetapi juga bidang lainnya, termasuk sosial keagamaan, Jangan sampai New Normal tetapi penyebaran virus malah abnormal. (Lutfi)