Cerita Muhammadiyah Bireuen Melawan Stigmatisasi Wahabi

 

Oleh: Muhammad Ridha Basri

Di Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2020, saya bertemu dokter Athaillah A Latief, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bireuen. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang pernah menjadi Ketua Umum Ikatan Remaja Muhammadiyah (kini bernama Ikatan Pelajar Muhammadiyah) periode 1993-1995 itu berbagi kisah tentang kebebasan beribadah yang masih belum sepenuhnya dirasakan warga Muhammadiyah. Meskipun mayoritas penduduk Serambi Mekkah beragama Islam, Muhammadiyah Bireuen kerap dimarjinalkan.

Negara berideologi Pancasila ini menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya. Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) sebagai landasan. Namun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat pada 2014-2018, terdapat 488 kasus pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Penyebab utamanya adalah karena kebijakan yang diskriminatif dan pembiaran tindakan represif oleh negara.

Muhammadiyah Bireuen menjadi korban intoleransi oleh internal umat beragama yang diamini negara. Tahun 2015, warga yang mengaku kelompok ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja), menghalang-halangi dan melakukan teror terhadap proses pembangunan Masjid Muhammadiyah di Kecamatan Juli, Bireuen. Kementerian Agama Kabupaten Bireuen melalui surat bernomor: Kid.01.12/HM.01/676/2016, pada 17 Februari 2016, sempat menolak memberikan rekomendasi kepada panitia pembangunan masjid.

Penolakan izin pendirian Masjid Muhammadiyah tersebut terlihat janggal, sebab semua persyaratan telah dipenuhi, termasuk dukungan fotokopi KTP dan tanda tangan minimal 60 orang. Masyarakat bahkan menyerahkan 150 KTP dan dukungan. Rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan juga sudah didapatkan dari kepala desa (keusyik), camat, dan sekretaris daerah Kabupaten Bireuen. Setelah melewati ujian berliku, Masjid At-Taqwa Muhammadiyah Juli kini telah berdiri dan mulai digunakan sejak Juli 2019.

Kasus serupa terjadi ketika PCM Samalanga mendirikan Masjid Muhammadiyah di Desa Sangso. Tiang fondasi masjid dan balai pengajian dibakar massa pada 17 Oktober 2017. PDM Bireuen bolak-balik ke kantor polisi menagih keadilan atas tindakan kriminal ini, namun kasusnya terus berbelit sampai sekarang. Ketua PCM Samalanga, Tgk Yahya Arsyad pernah menyatakan, meskipun mengantongi IMB dan semua persyaratan membangun masjid sesuai Qanun 4/2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah, sepertinya tidak ada ruang bagi Muhammadiyah membangun rumah ibadah di Samalanga.

Sempat ada pertemuan Bupati, Wakil Bupati, perwakilan DPRK, dan Kapolres Bireuen membicarakan kasus ini. Bupati Bireuen, Saifannur saat itu menyatakan, “Jangan ada keributan, malu kita sama-sama umat Islam.” Bulan berikutnya, pada 19 Desember 2017, Athaillah mendatangi Mapolres Bireuen, dan ternyata Kapolres tidak berada di tempat. Keesokan hari, PDM Bireuen datang ke Pendopo Bupati. Pertemuan dengan Bupati Saifannur sempat membuat lega, namun bupati enggan memberi jaminan tertulis.

Di kemudian hari, 4 April 2018, Bupati Saifannur mengumumkan penghentian sementara pembangunan Masjid Muhammadiyah di Sangso melalui surat bernomor 451.2/228, perihal penanganan masalah pembangunan masjid At-Taqwa. Saifannur menegaskan bahwa pendirian rumah ibadah harus menjaga kerukunan dan tidak mengusik ketenteraman masyarakat. Alasannya mengacu hasil musyawarah Forkopimda pada 28 Oktober 2017.

Rapat Forkompimda memutuskan untuk menunda sementara pembangunan masjid supaya tidak ada gejolak, terlebih saat itu di masa Pilpres. “Keluar SK penundaan dari Bupati. Sebenarnya tidak masalah adanya penundaan jika alasannya tepat,” kata Athaillah. Dalam Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa pemberian izin mendirikan masjid Muhammadiyah Samalanga telah menimbulkan konflik kemasyarakatan.

Surat keputusan penundaan tersebut dapat dicabut apabila telah tercapai kesepakatan damai antara pihak panitia pembangunan masjid dengan masyarakat. Bila terdapat keberatan dari panitia pembangunan masjid atas surat tersebut, dapat ditempuh upaya administratif: mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam SK Bupati tersebut, terdapat klausul yang meminta Muhammadiyah melakukan pendekatan aktif kepada pihak yang melakukan penolakan, utamanya kalangan dayah atau pesantren tradisional. “Kita sudah berkali-kali melakukan pendekatan dan datang ke mereka. Kata mereka: kita tidak ada masalah dengan Muhammadiyah dan masalah pembangunan masjid tergantung bupati.” Terjadi saling lempar tanggung jawab antara Pemda dan kalangan dayah.

Dalam setiap sengketa, diperlukan pihak ketiga sebagai juru damai. “Seharusnya pemerintah bersikap netral menjadi pihak ketiga yang memediasi pertemuan, bukan meminta kita untuk aktif melakukan pendekatan. Pemerintah tidak mau menjadi mediator, sementara Muhammadiyah diminta aktif.” Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) Bireuen yang seharusnya menjadi penengah, pada April 2018, justru mengeluarkan keputusan bahwa Muhammadiyah harus menghentikan pembangunan masjid, berdasarkan hasil rapat MPU pada 21 Maret 2018.

Dalam salinan hasil rapat MPU yang ditandatangani Ketua MPU Bireuen, Tgk Nazaruddin Ismail, diungkit tragedi pembantaian Tgk Aiyub Syahkubat di Peulimbang, tahun 2012, karena tuduhan ajaran sesat. Dalam surat itu dinyatakan, “(pembantaian tersebut) berpotensi akan terulang di Samalanga dan akan berimbas pada nama baik Kabupaten Bireuen di tingkat nasional.” MPU mengacu kaidah fikih: menolak kerusakan dan bahaya lebih diutamakan daripada mengambil manfaat kebaikan. Logika MPU seolah menyatakan bahwa mayoritas boleh berlaku sewenang-wenang, negara akan berpihak, dan minoritas harus mengalah.

Muhammadiyah akhirnya menempuh proses hukum untuk menguji keabsahan pengeluaran surat penundaan tersebut. Hal yang diuji adalah kalusul yang menyebut bahwa penundaan dilakukan karena pembangunan Masjid Muhammadiyah menimbulkan konflik sosial. “Kita tidak terima. Kita menganggap itu bukan konflik sosial, karena masyarakat Desa Sangso yang menjadi tempat pembangunan masjid ini sama sekali tidak menolak. Siapa yang bergerak menolak? Mereka tokoh-tokoh, dayah-dayah yang ada di luar Sangso di kawasan Samalanga atau bahkan di luar Kecamatan Samalanga.”

Athaillah menyebut bahwa alasan adanya konflik sosial terlalu dilebih-lebihkan. Samalanga secara keseluruhan memang basis Aswaja atau kota santri, namun bukan berarti Muhammadiyah tidak punya jamaah. “Muhammadiyah membangun masjid di kawasan yang dominan Muhammadiyah. Di Samalanga, terdapat tiga desa yang banyak didiami warga Muhammadiyah: Sangso, Pante Rheung, Keude Aceh. Kini masjid Keude Aceh telah direbut oleh kalangan Aswaja juga.”

Elite yang berhasil membentuk hegemoni kebenaran biasanya akan memegang otoritas di masyarakat dan berhak menentukan standar kebenaran mayoritas. Beragama seharusnya merupakan pilihan kenyamanan hati yang melibatkan unsur perasaan, pengalaman, dan penghayatan individual. Pertemuan dengan orang lain yang berbeda harus dikelola supaya tidak menjadi pertarungan saling mengobjekkan. Seorang Muslim, kata Nabi, adalah dia yang bisa memberi jaminan: orang di sekelilingnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.

***

Pada 21 Mei 2019, hakim ketua PTUN di Banda Aceh, Fandy K Pattiradja, menolak seluruh gugatan pemohon. Setelah kalah banding, Muhammadiyah Bireuen melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung untuk menguji sah tidaknya SK penundaan. “Jika benar (sah), maka ini akan menjadi justifikasi bagi Pemda untuk terus menunda dan menghambat pembangunan masjid Muhammadiyah. Sebelum masa surat itu habis, saya datang ke kantor bupati dan bertemu dengan staf ahli bupati bidang hukum, dikatakan bahwa wakil bupati sedang mempersiapkan surat perpanjangan penundaan. Artinya, kita mau ke MA atau tidak, penundaan ini akan terus berlanjut. Sampai kapan? Kita tidak tahu.”

Meski menuai hambatan berliku, Muhammadiyah tetap ingin membangun masjid. “Karena ingin nyaman beribadah. Jika beribadah di masjid yang sudah ada, dalam khutbah Jum’at misalnya, orang Muhammadiyah sering diejek dan dijadikan bahan sindiran. Orang Muhammadiyah ingin membuat masjid sendiri supaya nyaman beribadah,” tutur Athaillah. Di masyarakat, misalnya, ada perundungan dengan kata “orang MD” yang ditujukan pada Muhammadiyah.

Firdaus dalam Disertasi “Peran Organisasi Teungku Dayah dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh” di UIN Sumatera Utara menyebut bahwa Muhammadiyah masuk ke Aceh pada 1923, dibawa oleh S. Djajasoekarta yang ditugaskan pada Jawatan Kereta Api Aceh. Pada 1927 atas bimbingan utusan Muhammadiyah pusat, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, organisasi ini menyebar cepat ke seluruh Aceh. AR Sutan Mansur yang di kemudian hari menjadi Ketua Umum Muhammadiyah itu menetap sementara di Lhokseumawe. Tahun 1927-1928, Buya AR Sutan Mansur ikut membina dan meresmikan Muhammadiyah Aceh Utara (Bireuen dan Lhokseumawe mulanya menjadi bagian Aceh Utara), Sigli (Pidie), dan Takengon (Aceh Tengah dan Gayo Lues).

Pada 4 Oktober 1928, utusan PP Muhammadiyah dari Yogyakarta, M Yunus Anis meresmikan Muhammadiyah Aceh Timur (Kuala Simpang dan Langsa). Di Kuala Simpang, Aisyiyah telah lebih dulu lahir. Kehadiran Muhammadiyah di Aceh memang mengundang reaksi. Pada 1928, di Aceh Timur didirikan Madrasah Ahlussunah Wal-Djamaah dibawah pimpinan Said Husin. Kemudian diubah nama menjadi Madrasah Nahdatul Islam.

Muhammadiyah di Aceh masuk seiring gelombang uleebalang yang mulai disekolahkan Belanda sejak 1900. Misalnya, Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong merupakan salah satu uleebalang Aceh yang dikirim oleh Belanda ke Bukit Tinggi untuk menempuh pendidikan ambtenaar. Selama di Tanah Minang, ia bergaul dengan Dahlan Djambek, tokoh Muhammadiyah. Perlahan ia mengenal dan bersimopati pada Muhammadiyah. Setelah menjalani pendidikan, ia kembali ke Kutaraja dan menjadi salah satu pegawai yang cerdas yang cukup disukai pemerintah Belanda. Ia mampu mempengaruhi Belanda untuk membela kepentingan rakyat banyak. Ia mengupayakan pendidikan bagi anak-anak Aceh bersama tokoh lain seperti Teuku Nyak Arif. Keduanya menentang keinginan Belanda menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Sebaliknya, mereka harus diajarkan bahasa Melayu, supaya dapat berkomunikasi dan menggalang persatuan dengan warga bangsa lainnya di Hindia Belanda. Ia menjadi konsul Muhammadiyah sejak 1927-1937 (Hamka, “Teuku Hassan Gloempang Pajong Consul Pertama Muhammadijah”, Pandji Masjarakat, 1961).

Pada 1933, atas kepeloporan para alumni Tawalib School Minangkabau, Muhammadiyah berdiri di Aceh Tenggara dan sepanjang pesisir Barat-Selatan Aceh. Dekade 1930-an, Muhammadiyah berkembang pesat di Aceh. Ismail Jakub dalam “Pergerakan di Atjeh dalam 10 Tahoen”, di Sinar 7 (15 April 1940), menyebut bahwa kelahiran PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) tahun 1939 salah satunya sebagai respons atas pergerakan Muhammadiyah. Tidak semua ulama Aceh setuju dengan PUSA, semisal Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie dan Teungku Muda Waly Al-Khalidy. Tgk Hasbi Ash-Shiddiqie lantas bergabung dengan Muhammadiyah dan aktif di Jong Islamieten Bond.

Pada Maret 1946, ungkap Sulaiman Al-Kumayi dalam Inilah Islam: Mengungkap Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqie (2006), Hasbi ditangkap dan dipenjarakan oleh gerakan revolusi sosial yang dimotori aktivis PUSA, tanpa alasan yang jelas. Satu-satunya alasan, pengaruh Muhammadiyah Aceh yang dipimpin Hasbi pada 1943-1946 menjadi saingan PUSA. Pada pertengahan 1947, atas desakan AR Sutan Mansur dari PB Muhammadiyah dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Indonesia, Hasbi diizinkan pulang ke Lhokseumawe sebagai tahanan kota. Pada 28 Februari 1948, status tahanan kota dicabut. Saat Kongres Muslimin Indonesia XV di Yogyakarta, 20-25 Desember 1949, ulama Aceh diwakili Hasbi (Muhammadiyah) dan Ali Balwi (PUSA).

Temuan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kemenag RI, tahun 2017, menyebut bahwa benturan antara Aswaja dan Muhammadiyah di Samalanga muncul sejak tahun 2000-an. Pada dekade 1950-an, simpatisan Muhammadiyah di Samalanga sudah lebih dulu mengelola masjid Jamik Samalanga. Jejak pengaruh Muhammadiyah juga ditandai dengan keberadaan TK Aisyiyah tak jauh dari lokasi masjid, tiga dasarwarsa berselang. Semua berjalan lancar, sampai ketika terjadi pergantian imam, kelompok lain mengambil alih pengelolaan masjid. “Di kepengurusan baru setelahnya, Muhammadiyah tak lagi dilibatkan untuk masjid tersebut,” tulis Kepala Puslitbang, Muharam Marzuki.

Beberapa tahun berlalu, warga Muhammadiyah mulai terusik ketika materi khutbah di masjid itu kerap menyindir dan menyalahkan amalan Muhammadiyah. Fuadi Mardhatillah dalam “Sengkarut Pendirian Masjid At-Taqwa di Samalanga, Bireuen” dalam waspada.com, menyebut bahwa warga Muhammadiyah pun mulai menyebar dan mencari masjid lain agar bisa menunaikan shalat Jumat dengan nyaman. Karena lokasi masjid yang terlalu jauh, muncul inisiatif untuk membangun tempat ibadah. Sejak 2015, rencana pendirian Masjid At-Taqwa Muhammadiyah Samalanga di Desa Sangso dirintis.

Mengapa pembangunan masjid Muhammadiyah pertama di Kecamatan Samalanga memilih Desa Sangso? Muhammadiyah beralasan, pertama, masyarakat Desa Sangso banyak simpatisan Muhammadiyah. Kedua, perangkat Desa Sangso juga ada yang Muhammadiyah semisal imam gampong (Tgk Yahya) dan imam meunasah (Tgk Abdurrahman) dan penyelenggaraan agama di sana juga diselenggarakan oleh warga Muhammadiyah. Pada Mei 2018, Keusyik Sangso dan aparatur desa memberhentikan jabatan imam gampong tersebut.

Kata Athaillah, “Penolakan terjadi karena ada peran Keusyik atau kepala desa yang membuka pintu bagi kalangan dayah untuk masuk. Masyarakat luar diundang oleh kepala desa untuk mengacaukan desa Sangso. Ini sudah kita sampaikan kepada Pemda, Pemda tetap berpandangan bahwa masjid Muhammadiyah mengundang konflik sosial.” Belakangan, Keusyik Sangso telah berganti. Bupati Saifannur juga sudah almarhum.

Mantan Keusyik Sangso, Afifuddin M Yacob menyatakan bahwa keberadaan masjid di Aceh menginduk pada satu mukim, yang terdiri dari beberapa desa. “Gampong seperti Sangso, Pante Rheng, Keude Aceh, itu masuk satu mukim, sudah ada masjid. Jadi mana boleh ada dua masjid dalam satu mukim, ini akan memecah belah jamaah.” Meunasah dan masjid berbeda fungsi. Meunasah berdiri di setiap desa, bahkan setiap dusun. Meunasah hanya melaksanakan shalat lima waktu. Shalat Jum’at dan shalat hari raya diadakan di masjid.

Pada akhir Agustus 2017, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, Din Syamsuddin menjadi khatib shalat hari raya Idul Adha di halaman Masjid Taqwa Muhammadiyah Bireuen. Ketua Majelis Pertimbangan MUI ini diagendakan melakukan peresmian dimulainya pembangunan Masjid Muhammadiyah Samalanga. Menjelang acara, pimpinan Dayah Mudi Mesra Samalanga bersama 44 kepala desa di kecamatan tersebut membubuhi tanda tangan penolakan. Muhammadiyah kembali mengalah dan acara penandatanganan prasasti dilakukan di Masjid Muhammadiyah Bireuen.

Prasasti peresmian dimulainya pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah Samalanga

Berulang kali tanpa solusi, pembangunan masjid ditangguhkan tanpa batas waktu. Jeda ini menjadi potensi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Beberapa bulan tanpa aktivitas di lahan tersebut, warga Muhammadiyah bergotong royong membersihkan lahan. Ternyata kembali dihalang-halangi. Ditempuh cara lain. “Muhammadiyah lantas membangun balai untuk usaha pembuatan spring bed di lahan tersebut, ternyata juga diusik. Bukan hanya bangun masjid, namun kegiatan lain juga diganggu.”

Pada 29 Maret 2018, massa mengerahkan truk untuk mengangkut bongkahan batu berukuran raksasa guna menghalangi jalan masuk ke lahan pembangunan masjid. Jalan utama tidak bisa dilewati sama sekali. Terdapat satu jalan alternatif lain yang diuruk warga Muhammadiyah, ternyata juga diganggu. Negara seolah membiarkan. “Oknum pelakunya sudah mengaku saat di Mapolsek, tapi tidak diambil tindakan apa-apa,” kata Athaillah.

Harapan berlanjutnya pembangunan masjid tersebut ada di hasil uji materi Surat Keputusan penundaan di MA. Dalam masa menunggu, ada inisiatif dari PCM Samalanga meminta izin ke Polres untuk memindahkan batu. Alasannya, batu besar tersebut sangat mengganggu mobilitas usaha pembuatan spring bed. Kapolres setuju memindahkan batu penghalang jalan tersebut, namun jangan dipindah oleh Muhammadiyah, nanti akan menimbulkan keributan.

“Siapa juga yang harus memindahkan? Kapolres memanggil muspika dan menyerahkan tanggung jawab itu. Kapolres berharap jika muspika yang melakukan, maka tidak ada yang berani mengusik.” Ternyata muspika dan camat punya persepsi lain. Ketika ada pertemuan para kepala desa seluruh kecamatan, disampaikan tawaran tersebut. Hasilnya sudah bisa ditebak: hampir semua keusyik menolak dan hanya tiga keusyik yang setuju dengan pemindahan batu. Buntu. Sampai sekarang batu tersebut belum dipindah.

Batu yang menghalangi jalan utama ke lahan pembangunan masjid Muhammadiyah (foto: fuadi/waspada)

Apa masalah yang sebenarnya? “Tidak pure masalah masjid,” jawab Athaillah. Tuduhan bahwa Muhammadiyah itu Wahabi menjadi isu utama yang terus direproduksi kalangan Aswaja. Samalanga kerap disebut kota santri. Terdapat Dayah Mudi Mesra yang dipimpin Teungku Hasanoel Bashry (Abu Mudi) yang telah eksis sejak zaman Sultan Iskandar Muda, serta beberapa dayah lainnya, semisal Dayah Ummul Ayman pimpinan Teungku Nuruzzahri Yahya (Waled Nu). Dua tokoh ini adalah ulama karismatik yang otoritatif di Aceh.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa keberadaan tokoh agama di Samalanga harusnya mencerahkan masyarakat, bukan sebaliknya justru melabeli Muhammadiyah sebagai Wahabi. “Tuduhan itu menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap Muhammadiyah dan dipicu pernyataan tokoh nasional yang begitu negatif terhadap Muhammadiyah dan menilai Muhammadiyah sebagai Wahabi,” ujar Mu’ti, pada 18 Oktober 2017.

Fauzan Saleh dalam Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (2020) menyatakan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah Sunni atau ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Bagi NU, pemahaman aswaja berarti mengikuti ajaran imam mazhab yang empat (Syafii, Maliki, Hanbali, Hanafi) dalam bidang fikih; al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam akidah, serta al-Junayd dan al-Ghazali dalam tasawuf. Mereka juga mempertahankan tradisi keagamaan populer seperti tahlilan dan yasinan. “Bagi Muhammadiyah, mengikuti paham ahl al-sunnah berarti mengikuti ajaran dan sunnah yang telah ditetapkan oleh Nabi dan para sahabatnya, baik dalam hal keyakinan maupun amaliah keagamaan, dan berjuang untuk kemajuan dan keagungan Islam dan umatnya,” (hlm 365).

Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid. Meskipun bukan pengikut salah satu mazhab, Muhammadiyah tidak anti mazhab dan menjadikan pandangan imam mazhab sebagai bahan pertimbangan dalam istinbat hukum. Pemahaman Muhammadiyah terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah menggunakan seperangkat manhaj tarjih. Tajdid Muhammadiyah memiliki dua sayap: purifikasi (bidang akidah dan ibadah mahdlah) dan dinamisasi atau modernisasi (dalam muamalah).

Athaillah A Latief menyambut baik ketika Sekretaris PP Muhammadiyah, Agung Danarto datang ke Aceh pada 27-28 Juli 2019 untuk melakukan internalisasi nilai-nilai kemuhammadiyahan, serta memberi pemahaman tentang titik temu dan perbedaan antara Muhammadiyah dan Salafi-Wahabi. Bekal wawasan ini menjadi penting supaya warga Muhammadiyah tidak terprovokasi dengan tuduhan Wahabi dan bisa mengkonsolidasikan diri dalam manhaj Muhammadiyah.

Setelah dihantam berbagai rintangan, Athaillah menceritakan kondisi internal Muhammadiyah. Ada yang kekeuh bahwa tujuan mereka adalah pembangunan masjid, apapun kondisi yang dihadapi. Sebagian lainnya ada yang bersedia untuk bernegosiasi dan merubah strategi, Muhammadiyah membangun amal usaha terlebih dahulu, baru kemudian membangun masjid setelah suasana mereda. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir cenderung menyarankan pilihan kedua sebagai sikap dakwah yang dewasa dan elegan.

Jika mengambil strategi kedua, Muhammadiyah kesulitan dana untuk membeli lahan baru dan membangun amal usaha lain. Muhammadiyah Samalanga hanya punya tanah 3000 meter yang kini ditempati pondasi masjid dan dana sekitar Rp 600 juta untuk pembangunan masjid. “Ada anggota keluarga saya mewakafkan sawah dan sebagian dijual. Saya beli dengan maksud supaya hasil sawah bisa digunakan untuk dana pembangunan masjid. Ternyata banyak yang menolak,” ungkap Athaillah.

***

Muhammadiyah Bireuen ingin mengubah pandangan umum masyarakat. Di awal kepulangan Athaillah ke Bireuen pada 2008, setelah menempuh studi di Madrasah Muallimin dan kuliah di Pulau Jawa, hanya ada dua Amal Usaha, yaitu SPK Muhammadiyah Bireuen dan Panti Asuhan Muhammadiyah Gandapura. Lalu, SPK diubah nama menjadi SMK Kesehatan Muhammadiyah. Kemudian lahir Akper Muhammadiyah Bireuen. Muhammadiyah pernah menerima wakaf Panti Asuhan dari AMCF, yang telah habis masa kerjanya.

Saat itu, Muhammadiyah Bireuen dalam kondisi hidup segan mati tak mau. Sejak 2011, Athaillah menjadi ketua PDM Bireuen. Tahun 2008, Athaillah aktif terlibat dalam pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah Bireuen di Geulanggang Baro. Di kawasan ini, tidak ada konflik berarti. Meskipun ada yang kecewa dengan keluarnya izin pendirian Masjid Muhammadiyah dari Bupati Bireuen, Nurdin Abdul Rahman, sosok intelektual berintegritas dan mantan elite GAM yang bersimpati pada Muhammadiyah. Ketika wafat pada 8 Juni 2020, Nurdin tercatat sebagai Wakil Ketua PDM Bireuen dan Kepala Kantor Urusan Hubungan Internasional Universitas Almuslim.

Masjid Muhammadiyah Bireuen mulai digunakan tahun 2010 untuk lantai satu. Pada 29 Juli 2011, Bupati Nurdin Abdul Rahman dan Kakankemenag Bireuen Zulhelmi A Rahman meresmikan masjid tersebut. Lantai dua masih terus dipacu pengerjaannya hingga kini. Di kompleks masjid tersebut, dibangun Dayah Muhammadiyah Boarding School yang meliputi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.

“Tahun 2011 kita bangun MTs (MBS), 2012 kita bangun SD, lalu lahir TK. Setelah itu, lahir SMP Aisyiyah, lalu lahir MA (MBS). Kemudian lahir SMP. Terakhir lahir SLB Vokasional (semua jenjang),” ulas Athaillah. Selain yang bertempat di kompleks Masjid Taqwa dan MBS, gedung Amal Usaha Muhammadiyah sampai saat ini masih berstatus sewa. Asetnya punya SMK PGRI. “Kita sewa 10 tahun 100 juta. Kalau kita bangun gedung baru, kita belum ada tanah.”

Beberapa Amal Usaha Muhammadiyah Bireuen di lahan SMK PGRI (foto: ribas)

Perlahan, masyarakat mulai tertarik dengan AUM. Banyak tokoh-tokoh atau masyarakat non-Muhammadiyah mulai memasukkan anaknya ke Muhammadiyah. Perubahan paradigma masyarakat sangat terasa khususnya di kawasan pusat Kota Bireuen. Perubahan ini masih belum terjadi di Samalanga, kecamatan di ujung barat Bireuen yang berbatasan dengan Kabupaten Pidie Jaya.

“Kalau saya punya dana, saya akan beli tanah dan bangun AUM di sana. Para orang tua PCM di Samalanga maunya bangun masjid. Dananya dihimpun untuk bagun masjid, bukan untuk bangunan lain. Saya bisa memahami psikologi orang tua di sana, mereka ingin masjidnya selesai. Mulanya mereka tidak semangat bangun masjid karena tidak ada dana. Saya kasih 100 juta untuk dana awal beli tanah, baru mereka semangat.”

Athaillah tampak berhati-hati ketika menceritakan urusan dana. Ia seperti ingin didengarkan oleh mereka yang punya kelebihan dana supaya mau ikut membantu, alih-alih sebagai lagak pamer. “Sekarang saya banyak berutang. Siapa yang tanggung utang? Saya sendiri.” Setiap bulan, Athaillah menanggung puluhan juta untuk gaji guru dan karyawan beberapa AUM di bawah naungan PDM Bireuen.

“Mulanya saya keluarkan dana sekitar 40-50 juta untuk Muhammadiyah setiap bulan. Sekarang, seiring perkembangan Amal Usaha dan banyak pembangunan yang kita kejar, dalam beberapa bulan terakhir, saya harus mengeluarkan dana 150 juta. Bukan tidak mampu, mungkin juga mampu, wallahu a’lam, Allah yang kasih rizki. Pendapatan saya 150 juta, habis semua, tak punya lagi simpanan. Kadang-kadang orang tidak percaya,” tukas saudara kandung dokter Mursyidah A Latief, Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah Bireuen.

Pendapatan Athaillah didapat dari usaha bersama keluarga yang mengelola Rumah Sakit Telaga Bunda Bireuen. “Tanpa Rumah Sakit ini yang menggaji saya, saya tidak mungkin punya pemasukan 150 juta per bulan. Gaji saya di RSUD Fauziah Bireuen itu hanya gaji PNS, 4 juta setiap bulan.” Athaillah bercita-cita menghadirkan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Bireuen. Sampai saat ini, belum ada RS Muhammadiyah di Provinsi Aceh. “RS Telaga Bunda sebenarnya bisa membantu Muhammadiyah dalam hal sumber daya manusia, tapi untuk bangun gedung, belum mampu.”

Saat ini, terdapat beberapa gedung yang sedang dibangun Muhammadiyah Bireuen, seperti lantai dua masjid, gedung SMP, hingga rusunawa untuk MBS. Hal ini menjadi perhatian Athaillah. “Kita pinjam uang PP Muhammadiyah, saya menjaminkan diri saya ke Pak Marpuji Ali (bendahara PP Muhammadiyah), dicicil 50 juta setiap bulan. Saya harus tanggung gaji guru SLB, guru SMP, ditambah cicil uang tanah ini 50 juta sebulan.”

Ketika di awal belum banyak AUM dan tidak banyak menanggung beban, Athaillah gemar membeli tanah yang dijual. “Saya berani beli untuk Muhammadiyah, misalkan 800 juta, meskipun harus utang dulu. Sekarang belum stabil, saya yakin ke depan akan stabil.” Athaillah lantas mencoba mencari bantuan pemerintah. Meskipun untuk mengurusnya, ia harus bayar perantara sekitar 500 juta. “Alhamdulillah kita dapat rusunawa 3 lantai, Rp 10 milyar, kita harus sediakan dana 5 persen atau 500 juta yang harus kita cari dari luar. Kita juga dapat bus untuk Akper,” tutur Direktur Akper Muhammadiyah Bireuen itu.

Untuk jangka panjang, supaya masyarakat mengenal Muhammadiyah, Athaillah berpikir untuk mendirikan universitas Muhammadiyah. “Saya bercita-cita harus ada universitas Muhammadiyah di Bireuen. Untuk membangun universitas, harus ada banyak program studi. Saya ajak kerjasama sekolah tinggi di Takengon, saya beli satu sekolah tinggi kesehatan di Banda Aceh 1 milyar. Pak Suyatno bilang, ‘itu cuma 1 milyar, murah, ambil!’ Iya bagi PP itu kecil sekali, tapi saya gak ada uang. Akhirnya, saya ambil juga. Saya cari utang sama kakak, sama adik saya.”

Universitas yang akan didirikan tersebut ini merupakan gabungan dari beberapa sekolah tinggi yang ada di Bireuen, Banda Aceh, dan Takengon. Di antaranya STI Psikologi, STIKES, AKPER, STKIP, STIKMAT. Upaya penggabungan atau konversi universitas tersebut terus dilakukan Athaillah. Prosesnya ternyata tidak mudah. “Ada sekolah tinggi yang gaji dosennya empat bulan belum dibayar, saya harus bayar mereka dan mengajak mereka mengurus akreditasi.”

Kata Athaillah, “Sekarang kita punya 1 hektar tanah untuk cikal universitas. Di sekelilingnya masih tersedia tanah, saya ditawari 2 hektar, kita belum ada uang. Kita ingin di sana ada gedung besar.” Ia sudah mencoba mengajukan dana ke pemerintah dan membayar 250 juta untuk perantara, namun masih belum ada hasil. Supaya gedung universitas tetap berdiri, Athaillah berencana mengajukan bantuan ke PP Muhammadiyah melalui konsorsium. “Tolong saya dibantu, baik dari sumber daya dana maupun sumber daya dosen.”

Baru-baru ini, Athaillah menerima hibah tanah di Lhokseumawe. Sertifikatnya sudah diproses. Ia lantas berencana mengajak STIKES Lhokseumawe untuk bergabung, supaya punya universitas yang besar. “Kalau Bireuen, Lhokseumawe, dan Takengon ini mau bersatu, kita jaya. Kalau saya dikasih dana 10 milyar, yakin saya bisa lakukan itu, tak perlu dana besar. Saya tidak lagi berpikir masalah Bireuen. Saya berpikir wajah Muhammadiyah Aceh secara keseluruhan harus dirubah. Potensi kita besar, apalagi ini bidang kesehatan,” tuturnya.

Tidak hanya bermaksud mengubah pandangan masyarakat luar tentang Muhammadiyah, Athaillah juga ingin mengubah paradigma internal. Kultur bermuhammadiyah di Aceh berbeda dengan di Pulau Jawa. Muhammadiyah di Aceh belum diurus sepenuh hati dan totalitas. Muhammadiyah di Aceh juga belum mampu memberdayakan masyarakat seperti dilakukan Majelis Pemberdayaan Masyarakat atau Lazis Muhammadiyah di Pulau Jawa. Pendirian universitas Muhammadiyah diharap mampu mengubah paradigma itu. “Di tanah baru itu, kita ingin membuka kawasan baru dan menghidupkan perekonomian masyarakat. Sekarang mahasiswa STIKES kita ada 500 orang.”

Di Bireuen, belum ada Amal Usaha yang bisa menjadi sumber pemasukan dana. “Jangankan mampu membantu Muhammadiyah, bahkan untuk operasional dirinya saja banyak belum mampu. Kita harus support banyak dana supaya tetap jalan. Orang luar tahunya semua lancar.” Athaillah bersyukur, MBS dan SD kini sudah mulai survive, dan tidak lagi banyak bergantung padanya. “MBS saya jaga betul 5 tahun sampai ketika dirasa sudah bisa mandiri, saya lepas. Saya harus transfer gaji ke mereka di awal-awal. Biaya pemasukan dari AUM habis untuk operasional.”

MTs dan MA MBS Bireuen (foto: ribas)

Satu-satunya universitas Muhammadiyah yang ada di Aceh saat ini dianggap masih belum berpikir jauh untuk melakukan subsidi silang. Menurut Athaillah, belum ada program pengiriman mahasiswa KKN ke daerah-daerah yang bisa memberi dampak untuk Muhammadiyah, sekaligus berperan mengimplementasikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Belum ada juga beasiswa bagi kader-kader Muhammadiyah daerah untuk kuliah di universitas tersebut.

Athaillah menginisiasi pengiriman anak-anak untuk kaderisasi, meskipun tidak gratis. Anak-anak potensial itu harus dikasih kesempatan. “Lulusan anak-anak kita mulai menunjukkan prestasi, di tengah berbagai keterbatasan.” Beberapa institusi Muhammadiyah di Jawa mulai ada yang memberi beasiswa, namun untuk biaya perjalanan pesawat Aceh ke Pulau Jawa dan untuk biaya hidupnya di sana, Athailah tetap harus merogoh kocek pribadi.

“Tahun ini, saya kirim satu orang ke PUTM di Yogyakarta, sampai uang jajannya harus kita pikir.” Salah seorang guru MBS Bireuen, Helmi, menyatakan bahwa ada lima anak dikirim ke Ponpes Dea Malela. Biaya akomodasi ditanggung dokter Athaillah. Helmi menyebut bahwa tidak banyak pengurus PDM Bireuen yang punya totalitas seperti dokter Athaillah. “Keluarga besar beliau bahkan ada yang tidak setuju karena semua gaji beliau infakkan untuk membangun Muhammadiyah,” kata Helmi.

Guna mempercepat akselerasi dakwah Muhammadiyah di Bireuen, Athaillah menarik beberapa tenaga profesional. Menarik tenaga ahli berarti harus menambah biaya. “Saya tarik satu dosen dari Banda Aceh, saya harus sediakan rumah di Bireuen untuk mengurus administrasi rencana universitas. Ketika mendirikan SLB ini, saya tarik satu orang bergelar PhD dari Aceh Jaya supaya mengelola SLB, saya harus sediakan rumah bagi dia sekeluarga, biaya gaji, sampai itu settle, mungkin 3-5 tahun. Jika sudah settle, saya lepas.”

Sekolah Luar Biasa ini memiliki fasilitas Laboratorium Neurofeedback untuk menanamkan skill khusus bagi anak difabel. Di tahun pertama, SLB ini memiliki lima guru. “Kita bangun SLB mulanya muridnya hanya lima orang, habis hampir seratus juta untuk memulai. Akhirnya, kita dapat 15 murid untuk tahun pertama. Rehab gedung, operasional, gaji guru. Untuk apa? Kita tetap harus bangun supaya citra dakwah Muhammadiyah itu bagus.” Misi besar ini menjadikan Athaillah konsisten berjuang.

Tak ingin berpangku tangan, Athaillah terus mencari cara membiayai Muhammadiyah. Melalui Lazismu, ia bangun peternakan sapi dan kambing yang diharap mampu menjadi sumber pemasukan. Lazismu mulai mengelola ecoprint. Amal Usaha ini diusahakan bisa menjadi pemasukan ekonomi. “Kita buka peternakan, susah sekali, banyak uang keluar. Peternakan kita usahakan bisa berdiri di beberapa tempat. Harapannya ke depan, orang mengenal Muhammadiyah tidak hanya sekolah, tapi bisa dari hal-hal lain.”

Manusia menjadi musuh bagi sesuatu yang tak dikenalnya. Muhammadiyah dimusuhi bisa jadi karena masyarakat tidak tahu. Misi dakwah ini membutuhkan perjuangan yang tidak ringan. “Saya dibilang macam-macam, pokoknya tidak enak, tidak perlu saya sebut di sini. Yang belum, dihalalkan darahnya,” tukas Athaillah sambil tersenyum. Tidak ada gurat kekecewaan atau patah arang. Ia menjiwai perkataan Jenderal Sudirman: sungguh berat jadi kader Muhammadiyah, bimbang dan ragu lebih baik pulang.

Dari beberapa warga Muhammadiyah Bireuen, saya mendapat kesaksian serupa. Pak dokter yang memiliki lima anak ini hanya tidur 3-5 jam sehari. Tiga anaknya masih bersekolah di SD Muhammadiyah Bireuen dan waktunya untuk keluarga banyak terkuras. Di awal shubuh, ia sudah ke Masjid Taqwa Muhammadiyah Bireuen dan mengimami shalat jamaah. Suaranya mengalun indah dan bacaan Qur’annya sangat fasih. Pagi hari, ia melayani pasien, atau mengajar. Di sela kesibukannya, kadang ia sempatkan waktu menjenguk anaknya di SD.

Saya tidak melanjutkan wawansabda, meskipun ada banyak hal yang masih ingin saya tanyakan. Dokter Athaillah sudah berulang kali menerima panggilan, dimulai sejak lima belas menit pertama kami bertemu. Bisa jadi itu panggilan melakukan operasi atau penanganan pasien serius. Saya memaklumi betapa sibuknya dokter yang berpraktek di lebih dari satu rumah sakit di sebuah kabupaten di provinsi paling ujung Indonesia. Situasinya tidak sama seperti di Pulau Jawa yang dokternya berlebih. Dari dalam Masjid Taqwa, saya melihat dokter Athaillah buru-buru berlari ke parkiran, meraih motornya, dan langsung tancap gas.

Cerita Muhammadiyah Bireuen ini mengingatkan saya pada kisah Muhammadiyah di ujung Timur Indonesia. Di Aceh yang masyarakatnya Muslim, Muhammadiyah menjadi minoritas bukan pengikut Aswaja. Di Papua, Muhammadiyah berstatus sebagai minoritas Muslim, namun Muhammadiyah justru sangat dipercaya masyarakat asli Papua. Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong dan Universitas Muhammadiyah Sorong, misalnya, memiliki 75 persen mahasiswa non-Muslim.

Muhammad Ridha Basri, kader Muhammadiyah Bireuen, wartwan Suara Muhammadiyah.

Exit mobile version