Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi
Arah kapal sudah tidak terbaca. Peta dan kompasnya ada, sayangnya sang nahkoda tak bisa menggunakannya. Inilah yang terjadi di negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi kehidupan bangsa dan negara sedang dalam keadaan carut marut alias kacau. Menemui jalan buntu dalam setiap penyelesaian masalah. Hal ini diperparah dengan tidak adanya sinergi dari seluruh pihak, sehingga menjadikan masalah yang ada kian keruh.
Seiring dengan terus berlangsungnya gempuran dan serangan dari musuh tak kasat mata, mengintai, menyelinap, lalu kemudian menikam tanpa pandang bulu. Terjadi paradigma baru pemerintahan yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Gaung negara demokrasi tetap berbunyi nyaring. Namun anehnya, partisipasi menjadi sangat minim bahkan nyaris mati. Paradigma baru ini ditunjukkan dengan sikap pemerintah yang memperlihatkan bahwa pemerintahlah yang paling tahu tentang apa yang terbaik untuk bangsa serta rakyatnya.
Situasi seperti ini tentu akan memicu terjadinya perpecahan ditengah masyarakat, terutama di tubuh umat Islam itu sendiri, sebagai umat mayoritas di negeri ini. Kondisi ini semakin parah, bahkan bisa saja memicu ketidakstabilan nasional jika umat disudutkan dalam arena politik dan peran mayoritasnya. Akan muncul ketidakpuasan dari masyarakat karena merasa diabaikan. Seolah pemerintah bertindak semaunya tanpa seizin rakyat yang dipimpinnya. Karena pada hakikatnya demokrasi memiliki makna dari, oleh, dan untuk rakyat.
Tujuan bernegara harusnya sesuai dengan cita-cita nasional yaitu yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Pancasila tidak cukup menjadi slogan dan retorika tanpa diinternalisasi dan diinstitusionalisasi dengan pengamalan yang konsisten. Dalam rekonstruksi kehidupan kebangsaan tersebut, NKRI sebagai lokomotif yang berusia 73 tahun harus tetap dijaga agar tetap berada dalam relnya yaitu Pancasila, sebagaimana telah menjadi kesepakatan nasional 18 Agustus 1945. Tidak dibawa ke kanan atau ke kiri, serta tidak dipertentangkan dengan agama dan kebudayaan luhur bangsa yang menjadi sumber nilai yang hidup di dalam tubuh Pancasila itu sendiri.
Dalam mewujudkan cita-cita tersebut Muhammadiyah mempunyai peran penting dalam meluruskan kiblat bangsa. Sebagai bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar. Hal ini telah jauh dilakukan dan dicontohkan oleh Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan setelah sepulang beliau menuntut ilmu di Tanah Suci. Saat pulang ke Kauman, hal yang pertama kali beliau lakukan ialah membetulkan arah kiblat Masjid Gedhe yang menurutnya secara perhitungan ilmiah terdapat kesalahan.
Tidak sedikit yang menentang, dan mencap beliau sebagai kiai kafir. Namun beliau tetap berdiri teguh melawan dan menerjang kebiasaan yang bertentangan dengan perilaku berkemajuan. Dengan akal yang cerdas, disertai hati yang ikhlas, beliau melakukan dakwah secara elegan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Membetulkan tanpa harus menyalahkan bahkan merendahkan orang lain.
Dakwah ala Kiai Dahlan tersebut terus dilakukan oleh Muhammadiyah hingga detik ini. Perubahan strategi dakwah dari sikap reaktif-konfrontatif ke strategi dakwah yang proaktif-konstruktif telah beliau lakukan. Hal tersebut bertujuan untuk memperluas daya jangkau penyebaran dan penanaman nilai-nilai Islam ke semua segmen masyarakat yang sangat majemuk.
Di era kepemimpinan Din Syamsuddin pada kisaran tahun 2010 atau saat Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta, Muhammadiyah mendeklarasikan adanya jihad konstitusi. Sejak saat itu jihad konstitusional menjadi ujung tombak baru dakwah Muhammadiyah. Jihad konstitusi merupakan gerakan pembaharuan di bidang hukum dan upaya korektif yang dilakukan melalui jalur formal, yakni dengan mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap sejumlah undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Jihad konstitusi yang menjadi bagian dari dakwah proaktif serta konstruktif terus dilakukan Muhammadiyah dalam mengawal perjalanan bangsa. Sebagai contoh, baru-baru ini melalui Surat Tugas Nomor 24/TGS/I.0/B/2020 Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk tim khusus berjumlah 15 orang yang bertugas mengkaji, mencermati dan memberikan masukan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang akan disahkan oleh pemerintah. Hal ini bukanlah kali pertama bagi Muhammadiyah.
Dalam kasus kebijakan yang lain, Muhammadiyah terus bersuara, khususnya kebijakan yang secara terang-terang merugikan rakyat dan negara. Bukan tanpa alasan, dakwah ini dinilai lebih efektif serta memiliki daya hantam yang luar biasa. Bagi Muhammadiyah, jihad konstitusi sangat penting untuk mewujudkan cita-cita agar bangsa ini berjalan kea rah yang semestinya.
Kehidupan berbangsa kita hari ini telah mengalami distorsi, terjadi perubahan makna dan deviasi. Terjadi penyimpangan cita-cita nasional yang telah diletakkan para pendiri bangsa. Melihat keadaan tersebut, perlulah kita bergerak menjadi kompas bagi perahu besar bernama Indonesia. Sebagaimana yang dilakukan Kiai Dahlan dulu, jihad konstitusi yang telah dilakukan Muhammadiyah periode ini adalah bagian dari meluruskan arah kiblat. Muhammadiyah harus turut bertanggung jawab menjaga arah dan cita-cita bangsa, karena Muhammadiyah turut andil mendirikan dan membesarkan bangsa. Muhammadiyah tidak boleh sampai kehilangan jati dirinya atau lupa untuk lebih meningkatkan gerakannya menghadapi musuh agama dan negara.
Diko Ahmad Riza Primadi, Reporter Suara Muhammadiyah