Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Tujuh puluh persen waktu bangun kita,
digunakan untuk berkomunikasi.
Komunikasi menentukan kualitas hidup kita.
(dalam Rakhmat, 1991)
Kata komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan, dan sebagai pengaruh pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi. Dance (1970), menghimpun tidak kurang 98 definisi komunikasi. Adapun yang dimaksud dengan komunikasi “new normal” atau normal baru adalah kampanye, pesan oleh Pemerintah RI yang ditujukan kepada masyarakat Indonesia dalam rangka menghadapi pandemi
Covid-19.
Dengan komunikasi kita membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan,
memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi kita juga menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran (Rakhmat, 1991). Hidup itu pilihan ! Tuhan memberi anugerah hanya untuk manusia yaitu Prefrontal Cortex, otak yang ada persis dibalik tulang dahi, yang salah satu fungsinya untuk pengambilan keputusan (decision making), maka oleh Tuhan manusia diberi kebebasan untuk membuat pilihan (free choice), bebas berkehendak (free will), dan bebas bertindak (free act). Namun Tuhan mengingatkan umat manusia lewat Kitab Suci, jika mereka berperilaku tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, diancam kelak ke Neraka akan diseret pada dahinya (QS Al Alaq [96]: 15-16 dan QS Al Rahman [55]: 41).
Kesehatan berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Nikmat kesehatan sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung pada kesalahan kita. Tetapi tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan (Madjid, 2015).
Jangan mengulangi kesalahan kakek-nenek manusia, Adam dan Hawa, setelah diberi ilmu pengetahuan, mereka lupa batas, akhirnya Allah mengirim mereka ke dunia yang fana. Ilmu pengetahuan tidak menjamin kebahagiaan abadi. Tetapi dengan iman saja, kita tidak bisa unggul di dunia ini. Harus ada iman dan ilmu (Madjid, 2015).
Salah satu tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah Memajukan Kesejahteraan Umum. Upaya kesehatan adalah salah satu upaya guna mewujudkan kesejahteraan umum. Tidak ada kesehatan tanpa kesejahteraan. Sebaliknya, tidak ada kesejahteraan tanpa kesehatan. Adapun upaya kesehatan meliputi upaya promosi dan prevensi (pencegahan), upaya kurasi (penyembuhan) dan upaya rehabilitasi (pemulihan). Jadi, upaya kesehatan adalah upaya kita bersama (kolektif) segenap bangsa Indonesia, sesuai dengan kemampuan, peran, posisi, kedudukan dan profesi kita masing-masing guna terwujudnya kesejahteraan umum. Itu pulalah yang dilakukan Muhammadiyah bahkan sejak negeri ini belum terbentuk. Landasan QS Al Maa’uun [107]: 1-7 menjadi filosofi dasarnya.
Saat ini situasinya kurang lebih begini, komunikasi yang dijalankan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini diterima secara beragam oleh penerima informasi yakni rakyat. Penerima informasi menerjemahkan secara berbeda karena pemberi informasi juga tidak jelas content/isi informasinya, ditambah adanya perbedaan kebijakan antara stake holder di daerah baik di tingkat kabupaten, kotamadya maupun propinsi, alhasil terjadi kebingungan berjamaah di tingkat akar rumput (baca: rakyat) dan hal ini mendorong munculnya tafsir komunikasi yang berbeda-beda, kadang disesuaikan dengan kebutuhan individu maupun kelompok masing-masing, mana yang menguntungkan maka tafsir itu yang dipakai. Tafsir ‘new norma life’ akhirnya menjadi liar, ada yang menganggap ‘sudah normal’, ‘hidup dengan gaya baru’, ‘abnormal yang dianggap normal’, ‘bekerja dengan cara berbeda’ dan berbagai tafsir lainnya. Mana yang benar? Tentunya semua benar menurut tafsir masing-masing, sesuai tingkat pengetahuan dan perkembangan otak individu masing-masing. Di sinilah mungkin Reisa dianggap mampu menambah kemampuan pemerintah dalam menyampaikan komunikasinya ke rakyat, membantu Pak Yuri, selain mungkin karena alisnya yang mirip Galgadot akan menarik rakyat kembali mendengarkan informasi pemerintah dan komunikasinya sampai ke publik. Cantik, dokter, cerdas dan komunikatif, begitu harapannya, semoga.
Beban Kesehatan Masyarakat Indonesia
Pandemi ini memang membebani semua negara, termasuk Indonesia. Menurut Oganisasi Kesehatan Dunia (WHO), bahwa beban kesehatan (health burden) masyarakat Indonesia yang berupa penyakit menular, adalah jumlah penderita penyakit TBC di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India, dengan tingkah kematian per tahun 67.000 orang. Kasus DBD di Indonesia pun tertinggi di dunia.
Namun, perlu diingat Covid-19 merupakan penyakit baru, yang kita belum banyak tahu seluruh dampaknya. Penyakit ini amat menular dan mematikan, terutama bagi mereka yang memiliki penyakit komorbid, seperti hipertensi, jantung dan diabetes. Sejumlah riset terbaru menunjukkan Covid-19 bisa meningkatkan risiko serangan stroke, termasuk pada anak muda yang sebelumnya sehat (Journal Neurosurgery, 4 Juni 2020).
Norma Baru, Bukan Normal Baru
Pandai-pandailah mengambil hikmah, kata pepatah. Hikmah, yang menurut definisi Nabi Muhammad SAW adalah “kebenaran di luar kenabian”. Sebetulnya, hikmah pun bersumber pada Kebenaran Tunggal yang ditebarkan oleh Allah SWT ke setiap sudut bumi, namun ditangkap oleh para bijak-bestari dan kemudian dirumuskan dengan bahasa khusus. Konsekuensi logisnya adalah bahwa, hikmah mustahil bertentangan dengan Kitab Suci karena berasal dari sumber sama Kebenaran Tunggal yang ditangkap serta dikomunikasikan dengan bahasa yang berbeda, dua sisi kebenaran dari satu wajah kebenaran ! (Ibrahim, 2012). Melalui Kitab Suci Tuhan berfirman: “Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepada kalian dan mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui” (QS Al Nisa [4]: 113).
Lagi, kata pepatah: “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Namun, berguru pada pengalaman orang lain juga tidak kalah baik. Maka, agar tidak ditertawakan oleh
fihak pegadaian yang tagline-nyamenyelesaikan masalah tanpa masalah, maka tidak ada salahnya berguru pada bangsa lain seperti negara adidaya Amerika Serikat. Masalah kesehatan harus diselesaikan dengan cara kesehatan, bukan dengan cara lain seperti misalnya politik. Presiden Donald Trump gagal mengendalikan pandemi Covid-19 karena dengan cara politik, Chinese Virus. Berbeda dengan pendahulunya Presiden Barack Obama, masalah wabah Ebola dengan cepat selesai karena menyelesaikannya dengan cara kesehatan. Presiden Ronald Reagan dikenang rakyatnya sebagai Komunikator Agung karena lihai melakukan komunikasi dengan rakyat sehingga rakyat tidak salah persepsi ! Kita butuh komunikator ulung di era millenial ini, dimana informasi membanjiri otak kita sejak bangun tidur sampai tidur lagi, dari toilet sampai tempat bekerja, dari pasar sampai kampus.
Menurut cerita, seorang pemimpin pasukan VOC bermaksud menghormati seorang pangeran Madura. Untuk itu, dipegangnya tangan sang permaisuri dan diciumnya. Sang pangeran marah.Ia mencabut kerisnya, menusuk Belanda itu dan terjadilah bertahun-tahun perang VOC dengan penduduk Madura, sehingga ribuan korban jatuh. Kita tidak tahu apakah cerita itu benar atau tidak, tetapi sering kita bertengkar hanya karena pesan kita diartikan lain oleh orang yang kita ajak bicara. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut primary breakdown in communication atau kegagalan komunikasi primer. Sedangkan terjadinya gangguan hubungan manusiawi yang timbul dari akibat salah pengertian itu disebut dengan secondary breakdown atau kegagalan komunikasi sekunder (Rakhmat, 1991).
Ibaratnya, jangan sampai kita seperti kuda lepas dari pingitan, kita jangan sampai terjebak euforia (gembira berlebihan, sebenarnya istilah ini merupakan salah satu gejala gangguan jiwa – Mania) memasuki era normal baru atau “new normal”. Pola hidup lama kita terbukti gagal menghadapi pandemi Covid-19. Ini artinya kita semua harus mengubah pola hidup baru dengan norma baru, bukan normal baru.
Norma baru ini harus dijalankan mulai dari level individu dan keluarga, layanan kesehatan, hingga pemerintahan. Di level individu, jika sebelumnya cuci tangan hanya dilakukan sebelum makan, kini cuci tangan dengan sabun dan air mengalir harus dilakukan sesering mungkin, pakai masker di tempat umum dan di tempat kerja serta senantiasa menjaga jarak minimal satu meter. Situasinya tak akan kembali seperti sebelum ada Covid-19. Norma baru mesti dipegang saat kita mulai beraktivitas. Di level pemerintahan, kesehatan masyarakat harus jadi prioritas dengan pendekatan berbasis bukti ilmiah, bukan Ekonomi saja, tapi Kesehatan. Jika norma baru tidak dilakukan akan meningkatkan risiko pandemi Covid-19 gelombang kedua yang menghantui hampir semua negara di dunia yang diperkirakan terjadi bulan Oktober/November 2020, dan ini mengakibatkan pembiayaan kesehatan akan menghabiskan anggaran negara, kebangkrutan merupakan keniscayaan, seperti yang dialami Venezuela, Ekuador dan Haiti.
Mencegah timbulnya penyakit lebih baik daripada mengobati, maka protokol kesehatan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, memasuki fase transisi meninggalkan jaman NOW (Neng Omah Wae, di rumah saja). Bahwa status kesehatan seseorang ditentukan oleh 1) faktor keturunan (10 %); 2) faktor pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas, Rumah Sakit (10 %); 3) faktor lingkungan, seperti bencana alam, banjir, gempa bumi (25 %) dan 4) faktor perilaku (55 %). Maka, pola pikir sehat (healthy mindset) akan menghasilkan gaya hidup sehat (healthy lifestyle).
Last but not least, maka:
Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab akan menjadi kata-kata;
Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab akan menjadi perbuatan;
Berhati-hatilah dengan perbuatanmu, sebab akan menjadi kebiasaan;
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab akan menjadi watak;
Dan berhati-hatilah dengan watakmu, sebab akan menentukan nasibmu!
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak dan Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta