Relasi Muhammadiyah, Orang Minang, dan Pasar

Relasi Muhammadiyah, Orang Minang, dan Pasar
Persentuhan pertama antara Muhammadiyah dan orang Minang adalah melalui diri A.R. Soetan Mansur. A.R Sutan Mansur adalah murid sekaligus menantu dari Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) dan ipar dari Buya Hamka

Oleh: Hardiansyah

Lahirnya Muhammadiyah dan penyebarannya tidak bisa dilepaskan dari peran ekonomi yang dimainkan oleh KH Ahmad Dahlan. Sebagai seorang saudagar batik yang memiliki mobilitas dan akses pada pusat-pusat ekonomi, Kiai Dahlan mampu memainkan dua peran sekaligus yaitu sebagai mubaligh dan sebagai pedagang. Hal ini diteruskan oleh generasi-generasi setelahnya dimana perdagangan menjadi salah satu aspek yang tak bisa terpisahkan dari gerak dakwah kader-kader Muhammadiyah awal.

Jika kita mencermati publikasi – publikasi yang diterbitkan oleh Muhammadiyah pada masa lalu, iklan-iklan yang ada dalam publikasi tersebut di dominasi oleh iklan dari produk yang dijual oleh para tokoh Muhammadiyah.

Berbeda dengan saat ini dimana iklan dalam majalah Suara Muhammadiyah. Misalnya di dominasi oleh periklanan amal usaha dan lembaga seperti kampus dan sekolah Muhammadiyah.

Penetrasi yang sukses Muhammadiyah ke tanah Minang melalui jaringan Haji Rasul semakin meneguhkan kesan bahwa Muhamadiyah tidak bisa dipisahkan dari perdagangan dan kehidupan ekonomi.

Etnik Minang selain dikenal sebagai dengan etnik perantau, mereka juga dikenal sebagai ahli perdagangan yang hebat. Dimana diaspora etnik ini ditemukan di pusat-pusat perdagangan dalam wilayah Indonesia bahkan Mancanegara. Diaspora suku melalui kegiatan merantau inilah yang memudahkan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh Sumatera bahkan di luar sumatera.

Salim dan Hardiansyah (2019) mencatat, ketika terjadi kongres Muhammadiyah di Minangkabau tahun 1930, yang dihadiri oleh seluruh pengurus Muhammadiyah di Hindia – Belanda. Ada kesan pulang kampung dirasakan oleh pengurus Muhammadiyah khususnya pengurus Muhammadiyah di Sumatera. Hal ini menandakan bahwa pengurus-pengurus Muhammadiyah tersebut adalah orang-orang Minangkabau yang merantau dan mendirikan Muhammadiyah di perantauan masing-masing.

Orang Minang dan Muhammadiyah

Persentuhan pertama antara Muhammadiyah dan orang Minang adalah melalui diri A.R. Soetan Mansur. A.R Sutan Mansur adalah murid sekaligus menantu dari Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) dan ipar dari Buya Hamka. Sebelum Muhammadiyah masuk ke ranah Minang, Mansur telah menjadi pengurus Muhammadiyah di Pekalongan dan bertemu langsung dengan K.H. Ahmad Dahlan. Sebagai seorang perantau, Buya Mansur selain aktif dalam memimpin Muhammadiyah Pekalongan juga menjadi seorang pedagang kain batik (Rasyid dalam Kayo, 2009 : 25). Beliau pula salah satu tokoh awal pemimpin Muhammadiyah Jawa yang berasal dari Minangkabau. Hal ini dapat terjadi karena kedalaman ilmu Buya Mansur maupun pergaulan sosialnya yang luas di daerah rantau. Profesinya sebagai pedagang batik menunjang mobilitas dan spektrum gerak sosialnya. Berdasarkan keterangan Hamka (1982 : 148) di Pekalongan, beliau berhasil mendirikan perkumpulan pedagang batik para perantau Minang untuk mengkaji Islam yang diberi nama “ Nurul Islam”.

Lawatan dua kali Haji Rasul ke tanah Jawa pada tahun 1917 dan 1925 menimbulkam kesan yang cukup mendalam bagi dirinya. Dalam lawatannya yang pertama, Haji Rasul bertemu dengan Tjokroaminoto yang mengajaknya bergabung dengan Sarekat Islam namun dengan halus ditolaknya. Di Yogya ia bertemu langsung dengan K.H. Ahmad Dahlan dsan bertukar pikiran dengannya. Lawatan kedua beliau melihat langsung sepak terjang gerak sosial dan pendidikan Muhammadiyah di Pekalongan tersebut. Tedapat perbedaan antara pengamalan beragama di Minangkabau pada masa itu dengan pengamalan islam di Jawa khususnya Muhammadiyah. Menurut keterangan Aisyah Rasyid ( Dalam Kayo, 2009 : 25) Islam di Minangkabau pada masa itu terbatas pada pengetahuan dan perdebatan fiqh dan teologis namun kering dalam pengamalan dalam gerakan nyata, sedangkan di tanah Jawa, dinamika Islam seperti di Minangkabau minim terjadi namun mampu mewujud dalam gerakan amal secara bersama-sama.

Pergolakan agama di Minangkabau tersebut menurut catatan B.J.O Schrieke (1973) bermula dari gesekan kaum paderi dan adat saat inilah – menurutnya- muncul kebangkitan kaum intelektual Minangkabau yang terus berlanjut hingga ke masa setelahnya.

Hal inilah yang mungkin direnungkan pula oleh Haji Rasul pasca lawatannya dari Jawa. Selain itu, beliau membutuhkan sarana lainnya setelah secara pribadi dia di serang oleh orang-orang komunis yang mampu menginfiltrasi Sumatera Thawalib melalui Datuk Batuah, mantan muridnya sendiri. Segera saja beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di Sunagi Batang dimana perkumpulan bernama “Sendi Aman” pada tahun 1925 diubah menjadi cabang Muhammadiyah yang pertama di tanah Sumatera.

Dari jaringan para murid Haji Rasul inilah kemudian Muhammadiyah berdiri seperti cendawan di musim hujan. Menyusul kemudian Muhammadiyah muncul di Padang Panjang pada tanggal 2 juni 1926, Simabur Tanah Datar 27 Juli 1927, Bukit tinggi 20 juli 1928, Kurai taji 25 oktober 1929, Kubang  25 Desemmber 1929. Setelah Muhammadiyah tersebar sangat banyak dan cepat di Minangkabau, maka berdirilah Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau (Kayo, 1991 : 6).

Munculnya Muhammadiyah di Minangkabau menjadi titik episentrum baru penyebaran Muhammadiyah di seluruh Indonesia melalui jaringan kekeluargaan, guru – murid hingga jaringan perdagangan. HAMKA yang sering melawat ke beberapa daerah pun ikut serta dalam membina Muhammadiyah sepeti di Tebing Tinggi Deli, Makassar, Medan, Bengkalis, Pagar Alam dan negeri lainnya (Hamka, 1974 : 19).

Apalagi negeri Minangkabau mendapatkan kepercayaan besar menjadi tuan rumah Kongres Muhammadiyah di tahun 1930. Faktor ini pula yang mendorong semakin giatnya para dai Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Sumatera. Anggota delegasi dalam kongres tersebut masih didominasi oleh orang Minang perantauan seperti  Ilyas St Perpatih yang datang dari Lebong, Abdul Wahid ER yang menjadi perwakilan dari Pagar Alam dan lain sebagainya.

Muhamadiyah sangat beruntung mendapatkan bantuan dari para pedagang yang umumnya pengecer kecil. Bantuan itu dalam bentuk sumbangan dana maupun sumbangan tenaga dan pikiran untuk mengembangkan Muhammadiyah. Banyak pula dari mereka adalah guru – guru agama yang dengan merantau dan perdagangan akhirnya mendirikan dan menyebarkan Muhammadiyah. Tiga pusat munculnya pedagang sekaligus guru agama ini adalah Maninjau, Padang Panjag dan Bukit Tinggi.

Sedangkan hal – hal yang membuat penyebaran Muhammadiyah sangat cepat di Minangkabau adalah pertama, keberadaan inti yang efektif dalam kepemimpinan bersama dengan sumber muballigh yang berdedikasi, pedagang muslim dan kelompok muslim modernis ditempat asalnya. Kedua, berbeda dengan di jawa dimana pertumbuhan Muhammadiyah dibarengi dengan tumbuhnya sekolah model barat. Di Minangkabau hal itu kurang berlaku.

Perluasan penyebaran sekolah agama yang menutup peran sekolah barat membuat Muhammadiyah memiliki guru – guru agama yang melimpah dan mumpuni, sehingga mereka menjadi penggerak sekolah – sekolah agama yang didirikan oleh muhammadiyah sendiri seperti dinijah dan wustha. Ketiga, kekosogan gerakan politik di Minangkabau pasca pemberontakan komunis. Muhammadiyah datang disaat yang tepat dimana mengisi kekosongan kekuasaan dalam masyarakat. (Alfian, 2010 : 281-284).

Muhammadiyah, Orang Minang dan Pasar

Bagi masyarakat Minang, adat dan agama tak bisa dipisahkan. Seorang Minangkabau tidak ingin dikatakan sebagai seorang yang tak beradat dan di sisi lain tak ingin disebut orang yang tak beragama (islam).Orang Minang dan kebiasaannya menyebabkan mereka lebih cepat dalam menimba ajaran-ajaran baru dalam dunia Islam.

Setiap ajaran baru yang muncul segera menyebar luas dan biasanya akan timbul gesekan yang kuat seperti Haji Miskin dan kawan-kawannya pulang dari Mekkah dengan membawa ajaran baru yang kemudian meluas menjadi gerakan paderi. Namun terkait dengan penyebaran Muhammadiyah di Minangkabau berbeda. Dalam kasus-kasus sebelumnya, dinamika yang ditimbulkan oleh hal baru tersebut berlangsung di dalam wlilayah Minangkabau dan tidak begitu berimplikasi dengan dunia luar.

Namun berkaitan dengan Muhammadiyah, justru bukan hanya menjadi sesuatu organisasi baru yang menyebar dengan cepat di wilayah Minangkabau, namun mereka pun membawanya keluar dengan mendirikan Muhammadiyah di daerah rantau masing-masing.

Selain Muhammadiyah, peran etnik Minang dalam penyebaran Islam di daerah rantau adalah ikut menyebarkan ajaran tasawuf seperti tarekat Syattariyah dan Naqsabandiyah. Serta menyebarkan organisasi PERTI yang berlandaskan pada fiqh mazhab Syafii (Salim dan Hardiansyah, 2019 : 80 – 81)

Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Minangkabau melakukan perantauan. Seperti faktor adat dan budaya, faktor pendidikan, faktor politik maupun faktor geografis dan keadaan alam. Merantau telah ditanamkan sejak mereka kecil dan tinggal di Surau. Surau mengajarkan pada mereka bersilat, ilmu agama maupun kegiatan ekonomi. Jika dirasa cukup usia, maka laki – laki Minang akan merantau. Mereka akan pulang untuk menikah lalu memboyong kembali keluarga / istri mereka ke tempat perantauan.

Secara umum yang kita jumpai adalah domisili etnik Minangkabau di perantauan tidak jauh dari pasar dan pusat ekonomi lainnya. Dengan sesama etnik Minangkabau lainnya, mereka mendirikan perkumpulan-perkumpulan yang bersifat kedaerahan maupun yang bersifat keagamaan. Seperti contoh kasus di Bengkulu, beberapa ikatan Mubaligh justru didominasi oleh etnik Minangkabau.

Di Rejang Lebong, salahsatu kabupaten di Bengkulu, tokoh agama yang muncul banyak bergelar “buya” daripada “Kiai”. Seperti Buya Mukhtar Yatim dan Buya M Yatim Sutan Besar, salah satu murid dari haji Rasul dan ayah dari Prof. Badri Yatim.

Selain fenomena di atas, umum kita temui masjid-masjid Muhammadiyah di tengah pasar yang dikelola oleh orang-orang dari etnik Minang. Mereka mendirikan masjid dan cabang Muhammadiyah, mendirikan pula sekolah-sekolah di sekitarnya serta aktivitas-aktivitas keagamaan lainnya. Masjid Muhamadiyah di tengah pasar ini sangat dinamis.

Stereotype masyarakat Minang yang dianggap sangat berhemat dalam masalah ekonomi, terbantahkan oleh banyaknya infak dan sedekah yang masuk ke masjid dan kegiatan sosial lainnya. Posisi masjid Muhammadiyah ini biasanya terbagi menjadi dua.

Pertama, masjid yang didirikan di antara toko – toko yang dikelola oleh etnik minangkabau dan yang kedua adalah masjid yang didirikan oleh mereka di tengah-tengah kediaman mereka dan masih di dalam kawasan pasar ataupun pinggiran pasar.

Selain itu biasanya masyarakat Minang dalam perantauan memiliki mushola tersendiri sebagai mushola suku ataupun mushola berdasarkan kedaerahan mereka seperti Mushola Malalo, Mushola Pariaman dan lain sebagainya.

Walaupun seolah ekslusif, namun mushola-mushola ini selalu membuka kegiatan ibadah untuk siapa saja. Hanya saja pengelola dan pengurus mushola adalah anggota suku atau anggota organisasi ikatan kedaerahan tersebut. Banyak pula warga Muhammadiyah dari etnik Minang yang menjadi pengurus mushola-mushola ini.

Jika didominasi oleh anggota Muhammadiyah maka gaya ritual ibadah menyerupai Muhammadiyah seperti sholat tarawih dan witir 11 rakaat. Dengan ceramah agama sebelum sholat tarawih dilaksanakan. Namun jika tidak, maka biasanya akan ada rapat kepengurusan untuk menentukan fiqh – fiqh yang berkaitan dengan ibadah di mushola tersebut.

Karena tinggal dan berusaha di pasar-pasar maupun pusat ekonomi, maka pedagang – pedagang Minang ini secara otomatis adalah saingan bisnis dari orang – orang Tionghoa. Studi Susiyanto (2020) menunjukkan bahwa kemampuan etnik Minang dalam berdagang dengan spirit yang kuat dan manajemen yang baik menjadi sebuah modal besar dalam menyaingi bisnis etnik Tionghoa.

Kemampuan etnik Minang dalam mempengaruhi orang lain tidak hanya membantu dalam perdagangan saja, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan sosial seperti meminta sumbangan pembangunan masjid, sumbangan untuk anak Yatim  dan kegiatan sosial lainnya yang memang membutuhkan kemampuan dalam meyakini orang lain (Susiyanto, 2020 : 130 – 131).

Etnik Minang, Muhammadiyah dan pasar seperti tiga entitas yang tak dapat dipisahkan. Masing-masing seolah mewakili entitas adat, agama dan perekonomian. Pasar sesuai dengan keterangan Geertz (1982 : 51) adalah sebuah jaringan dimana lembaga-lembaga sosial islam tumbuh di Indonesia, sejak masa lalu dan juga masa kini. Dan salah satu lembaga sosial tersebut adalah Muhammadiyah yang sejak dari lahirnya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas perdagangan para tokoh-tokohnya.

Hardiansyah, Penulis buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu dan penikmat sejarah

Exit mobile version