Tidak banyak yang menyadari bahwa masa keemasan sejarah Arab-Islam 700-1.300 ternyata bukan hanya di bidang politik, militer, ilmu pengetahuan dan peradaban belaka, melainkan termasuk juga di bidang kesenian dan kesusasteraan
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Berbicara tentang kesenian (dalam arti umum) dan seni suara (dalam arti khusus) di dunia Arab pikiran orang akan secara otomatis segera tertuju pada dua maestro yang nyaris menjadi legenda, yaitu Umm Kultsum (Arab: أم كلثوم ) dari Mesir dan Fairuz (Arab: فيروز) dari Lebanon. Dua nama penyanyi legendaris itu bukan hanya termasyhur di dunia Arab, melainkan sampai ke seantero dunia, termasuk Indonesia. Banyak sekali orang Indonesia yang bahkan hapal luar kepala syair dan lagu kedua diva Arab ini, dan mampu menyanyikannya. Tak ayal lagi keduanya banyak memengaruhi musisi gambus atau melayu di Inonesia.
Tapi sebenarnya kesenian Arab jauh lebih luas dari sekedar Ummi Kaltsum dan Fairuz. Abul Faraj Al-Isfahani (اب الفرج الإصفهانى), sarjana besar yang hidup pada tahun 897-967 (masa Abasiyah), menulis perkembangan seni dalam sejarah Arab secara kronologis dan diakronis dalam buku yang berjudul Kitab al-Aghani (كتاب الأغاني) yang terdiri dari 25 (duapuluh lima) jilid. Kitab Al-Aghani, atau kitab nyanyian (The Book of Songs) ini menyerupai sebuah antologi syair, koleksi puisi, nyanyian-nyanyian Arab, foklore, lelucon, dan anekdot yang luar biasa kaya raya dalam rentang waktu berabad-abad sejak masa pra-Islam (Jahiliyah) sampai abad 9. Kitab yang seluruhnya lebih dari 10.000 halaman ini berisi lebih dari lebih 16.000 buah puisi (syair) dan nyanyian Arab (Arabic poetry). Walhasil, buku ini semacam ensiklopedia seni yang menjadi sumber historis kesusasteraan dan kesenian Arab yang tiada tolok bandingnya di dunia ini sampai saat ini.
Saking tebalnya kitab yang konon ditulis selama 50 tahun itu sampai muncul banyak beberapa kitab yang berisi ringkasan dari kitab itu. Satu di antaranya adalah kitab Mukhtaru al-Aghoni (مختار الأغاني) karya Ibnu Mandzur. Ibnu Mandzur (1232-1331) sendiri adalah seorang pakar Leksikografi Arab kelahiran Afrika Utara (sekarang mungkin Tunisi) yang juga dikenal sebagai penulis kamus yang sangat historis dan monumental Lisanu l-Arab yang yang juga berjilid-jilid tebalnya itu. Lisanu al-Arab (bahasa Inggris: The Tangue of the Arab) adalah magnum opus-nya yang tiada tolok bandingnya. Kitab Mukhtaru al-Aghani meskipun sangat tebal sebenarnya hanyalah merupakan ringkasan saja dari Al-Aghani. Ibnu Mandzur memang sangat jagoan dalam meringkas sebuah kitab.
Dengan membaca kitab-kitab itu para peminat antropologi seni akan dapat mengetahui perkembangan yang luar biasa dari kesenian Arab sekaligus gaya dan genre-nya. Philip K. Hitti, seorang pakar besar Amerika keturunan Arab Lebanon, dalam bukunya History of The Arab, sampai perlu menyita dua bab sendiri yang sangat panjang (hampir 100 halaman) dari karyanya itu untuk menggambarkan perkembangan dan kemajuan kesenian Arab-Islam dalam masa-masa keemasan sejarahnya yang luar biasa menakjubkan.
Tidak banyak yang menyadari bahwa masa keemasan sejarah Arab-Islam 700-1.300 ternyata bukan hanya di bidang politik, militer, ilmu pengetahuan dan peradaban belaka, melainkan termasuk juga di bidang kesenian dan kesusasteraan.
Kesenian pada masa itu begitu banyak jenis dan genre-nya, dan juga fungsinya bukan hanya berdimensi hiburan untuk sekedar bersantai atau mengisi waktu luang (leisure), melainkan juga sebagai media untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan pemikiran atau pengalaman yang berdimensi filosofis yang kental. Pasalnya, seperti misalnya, dalam wacana sufisme, karya sastra juga menjadi medium utama pandangan-pandangan tasawuf lengkap dengan madzhab-madzhab atau aliran kesufiannya. Artinya, para sufi seringkali menggunakan karya sastra baik prosa (novel, hikayat, hagiografi) maupun puisi atau syair sebagai medium pengajaran tasawuf.
Bagi para guru sufi hanya karya sastralah yang mampu mewadahi ajaran-ajaran dan paham kesufiannya. Sebab, para guru sufi sering mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin tasawufnya melalui bahasa-bahasa yang simbolik, alegoris, dan sarat dengan metafora-metafora untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman kerohaniannya yang sangat esoterik itu. Dalam konteks dan perspektif ini maka lahirlah kitab-kitab seperti Laila Majnun, Mantiqu al-Thair (Musyawarah Burung) karya Fariduddin Attar, Al-Tawasin karya Al-Hallaj, Syajaratu al-Kaun karya Ibnu Arabi, dan lain-lainnya. Demikian juga dengan kesenian-kesenian lainnya seperti tari-tarian sufi atau Darwisy.
Seni musik: Nyanyian Arab
Umm Kultsum yang lahir 1898 konon dengan nama Fāṭima ʾIbrāhīm es-Sayyid el-Beltāǧī dan meninggal 3 Februari 1975 adalah penyanyi, penulis lagu dan juga aktris film yang bukan hanya kebanggaan Mesir, melainkan juga dunia Arab. Saking bangganya bangsa Arab dengan Umm Kultsum sampai dia mendapatkan julukan Sang Bintang dari Timur (كوكب الشرق, “Star of the East”). Mesir yang juga dijuluki Negeri Piramida tidak hanya bangga dengan piramida di Kawasan Giza itu, melainkan juga piramida yang berwujud Umm Kultsum.
Tak heran jika orang Mesir sampai memberikan gelar kepadanya sebagai, jangan kaget, “Piramid Keempat Mesir” (“Egypt’s fourth pyramid”). Mesir menjadi negara Arab yang paling menonjol karena memiliki empat hal: piramida yang menjadi salah satu keajaiban dunia, Spink Agung Giza (bahasa Arab: أبو الهول , Abū al Hūl, bahasa Inggris: The Terrifying One), empat orang penerima hadiah Nobel, dan Umm Kultsum, alias sang “Suara Mesir” (The voice of Egypt). Sepeninggal Umm Kultsum kesenian dan lagu-lagu Arab Mesir tidak lagi khas Arab tradisional, melainkan semakin dipengaruhi kesenian modern atau Barat.
Diva atau primadona penyanyi Arab yang satu lagi adalah Fairuz. Jika Mesir memiliki Umm Kultsum maka Lebanon mempunyai Fairuz. Keduanya laksana dua sayap “burung” yang membawa terbang kesenian klasik Arab membubung tinggi di jagad kesenian dunia. Pada tahun 1997, Billboard stated “even after five decades at the top, (Fairuz) remains the supreme Diva of Lebanon”. In 1999, The New York Times menggambarkannya sebagai “a living icon without equal”. Tak heran jika Fairuz menerima anugerah Order of Merit, Lebanon), dan juga the National Order of the Cedar. Pada tahun 2008, BBC menggambarkan dirinya sebagai penyanyi legendaris dan diva Arab terbesar di kala hidup (the legendary Lebanese singer and greatest living Arab diva). Sebuah artikel di The New York Times (2006) menjulukinya A Diva Brightens a Dark Time in Beirut.
Pokoknya, Fairuz merupakan penyanyi yang lagu-lagunya paling banyak didengar orang di hampir semua media audio dan audiovisual di Lebanon, Arab Levant dan Dunia Arab secara keseluruhan sampai hari ini. Di televisi, radio, restoran, kafe, hotel, dan resepsi-resepsi lagunya tetap diperdengarkan. Benar-benar sebuah legenda yang terus hidup! Betapa banyak penyanyi Arab yang mengidolakannya bisa menjadi seperti dirinya. Saking begitu bangganya dunia Arab, khususnya Lebanon, seorang penulis terkenal Fawwaz Trabulsi, melukiskannya secara dramatis dalam sebuah bukunya sebagai The Theater of the stranger, the Treasure and the Miracle (فيروز و الرحابنة: مسرح الغريب و الكنز و الاعجوبة (.
Bagi warga Muhammadiyah, nama Fairuz yang itu juga memiliki kenangan tersendiri. Pasalnya, lagu Sang Surya yang digubah oleh Djarnawi Hadikusumo itu banyak kesamaannya dengan salah satu lagu Fairuz yang sangat terkenal yang berjudul Aatini al Nay ( اعطني الناي ). Lagu ini dinyanyikan secara luas dalam acara-acara organisasi Muhammadiyah yang sifatnya resmi maupun tidak resmi.
Kedua penyanyi legendaris Arab ini, Umm Kaltsum dan Fairuz, menjadi tonggak perkembangan kesenian Arab klasik. Pasca keduanya kini kesenian Arab meski berkembang pesat tetapi semakin jauh meninggalkan genre kesenian klasik. Fenomena ini tampak dan terasa sekali dalam perkembangan kesenian di Lebanon yang semakin modern.
Episentrum kesenian Arab
Lebanon rupanya menjadi lahan subur bukan hanya bagi lahirnya pemikir-pemikir dan ilmuwa-ilmuwan Arab dengan reputasi internasional, melainkan juga bagi perkembangan kesenian di dunia Arab. Berbagai cabang kesenian baik yang klasik sampai yang modern, dari seni lukis sampai seni rupa, dari teater sampai film, semuanya tumbuh berkembang di Lebanon. Agenda-agenda kesenian dan kebudayaan, festival-festival kesenian dan kebudayaan silih berganti digelar, konser-konser kesenian tiada berhenti, apalagi begitu menginjak musim panas (summber). Apalagi Lebanon di samping memiliki Gedung-gedung kesenian modern, juga memiliki teater-teater kuno peninggalan zaman Bysantium yang selalu difungsikan sebagai ajang konser-konser musik dan teater.
Tak heran jika Lebanon melahirkan begitu banyak penyanyi, musisi, dan pekerja-pekerja seni yang sangat berbakat. Saking banyaknya penyanyi, biduanita dan artis dari Lebanon sampai-sampai dikatakan jika ada sepuluh artis dan penyanyi Arab maka tujuh di antaranya adalah dari Lebanon.
Apalagi ditunjang dengan kegemaran orang Lebanon akan dunia hiburan dan bemerlap pesta yang nota bene faktanya sisi human interest seperti ini menjadi modal utama bagi kesuksesan di bidang seni pertunjukkan. Apalagi Lebanon juga memiliki tingkat kebebasan yang lebih tinggi daripada negara-negara Arab lainnya, utamanya kebebasdan berekspresi. Lebanon malah boleh dikatakan sebagai negara Arab yang paling tinggi kebebasannya, untuk tidak mengatakan sebagai yang paling bebas dan liberal.
Belum lagi factor banyaknya media cetak dan elektronik di Lebanon, baik koran, majalah, radio, televisi, dan online yang dimiliki Lebanon. Negara yang hanya berpenduduk enam juta termasuk pengungsi Suriah dan Palestina (1,3 juta) ini memiliki puluhan stasiun televisi yang sebagian besar menayangkan program-program hiburan atau entertainment. Satu di antaranya adalah stasiun Televisi Al-Aghani, yang penamaannya mungkin diilhami oleh kitab Al-Aghani karya Al-Isfahani tersebut di atas. TV Al-Aghani ini, seperti halnya TV Arabica, siang malam tiada henti menayangkan nyanyian Arab sepanjang 24 jam. Banyak dan beragamnya media inilah yang menjadikan agenda-agenda kesenian dan kebudayaan senantiasa mendapatkan media publikasi yang hebat.
Di samping itu juga ada faktor tingginya apresiasi kesenian dari berbagai lembaga-lembaga dan institusi kemasyarakatan, termasuk juga individu-individu berpengaruh lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya penganugerahan seni (award) yang diberikan kepada para pelopor dan pegiat seni sebagai penghargaan atas jasa-jasa dan karya-karya mereka. Pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh kesenian rutin diberikan oleh berbagai lembaga, seperti universitas, kementerian, dan lembaga-lembaga nongoverment (NGO) lainnya. Saya sempat menghadiri malam penganugerahan pelopor seni kepada Nidhal Asyraf, seorang tokoh kesenian Lebanon di bidang teater dan syair, yang diberikan oleh Lebanese American University (LAU) pada Mei 2019. Demikian juga dengan infrastruktur kesenian seperti gedung theater, gedung kesenian, dan stasiun televisi yang bergerak di bidang hiburan: Lebanon sangatlah kaya dan mementingkannya!
Tak heran Lebanon, negeri yang paling sering mengalami gejolak politik dan peperangan ini, tetap saja menjadi epicentrum dan center of excellence kesenian di dunia Arab. Lebanon tetap menjadi memiliki paling banyak artis, seniman dan penyanyi. Kalau pembaca mendengar nama-nama penyanyi Arab seperti Najwa Karam, Nancy Ajram, Haifa Wehbe, Nawal Al Zoghbi, Maya Diab, Myriam Fares Nadine Saab, Nancy Afiouny, dan sederet lagi penyanyi-penyanyi terkenal lainnya yang jumlahnya sampai ratusan. Singkatnya, Lebanon adalah gudangnya!
Bahkan artis-artis penyanyi dan seniman-seniman dari negara Arab lainnya merasa perlu tampil di audiens Lebanon sebelum ditahbiskan sebagai artis dan seniman Arab sejati. Pokoknya, kalau menyangkut artis atau penyanyi Lebanon pastilah juaranya. Mungkin orang Lebanon memang memiliki bakat seni yang sangat besar. Mungkin pembaca belum tahu bahwa penyanyi dunia Sakhira, atau yang lebih senior lagi Paul Anka, adalah keturunan Lebanon. ‘Ala kulli hal, sampai di sini dulu catatan singkat dan sketsa tentang antropologi kesenian orang Arab.
Hajriyanto Y. Thohari, Dubes RI untuk Lebanon