Oleh: Nur Hisyam
Kemunculan falsafah di Nusantara, terutama di Malaysia, sering kali dianggap sebagai tinggalan atau propaganda Barat untuk memesongkan dan merusak akidah umat Islam. Falsafah sering saja dimomok-momokkan sebagai satu aliran berbentuk teori dan ideologi kemasyarakatan dari Barat yang memperjuangkan cita-cita masyarakat tertentu dalam membentuk semula masyarakat ideal daripada pelbagai sudut seperti politik, ekonomi, perundangan, pendidikan dan beberapa hal lain sambil mengenepikan ajaran agama Islam itu sendiri.
Hal ini dilihat berlaku akibat kegagalan segelintir pihak untuk mengenali dan memahami apa itu sebenarnya falsafah, apa yang digagaskan dalam falsafah, dan akhir sekali kegagalan mereka untuk memahami sejarah pembentukan sesuatu falsafah.
Kegagalan memahami konsep, struktur dan sejarah falsafah akhirnya akan melahirkan banyak salah paham, dan salah paham ini pula hanya menyebabkan mereka menjadi tak ubahnya sekelompok bebalis dan orang pandir (tidak mau berpikir dan menerima pemikiran orang lain) yang pernah disinggung Prof. Dr Syed Hussein Alatas (Intelektual Masyarakat Membangun [2016]).
Kebenaran, Falsafah Dan Agama
Memahami falsafah, harus bermula dengan konsepnya terlebih dahulu. Perkataan falsafah itu sendiri lahir daripada perkataan Inggris, philosophy yang asalnya merupakan gagasan daripada istilah Yunani yaitu philo (cinta) dan Sophos (hikmah, kebijaksanaan) yang dirumuskan sebagai cinta kepada kebijaksanaan (love of wisdom) atau kepada kebenaran. Maka, secara umum boleh saja falsafah ini dilihat sebagai berpikir.
Walaupun begitu, menurut Abdul Rahman, sekadar berpikir bukanlah berfalsafah namun berfalsafah merujuk kepada satu pemikiran yang kritis dalam membuat pertimbangan baik dan buruk secara cermat, kemampuan berpikir secara universal, yaitu dengan memandang daripada segenap sudut pandang yang tidak hanya khusus dalam sesuatu bidang atau disiplin ilmu dan akhir sekali berpikir secara integral, yaitu secara bersepadu dan lengkap (Wacana Falsafah Ilmu: Analisis Konsep-Konsep Asas Dan Falsafah Pendidikan Negara [2005]).
Jika dilihat daripada konsep dan pengertian falsafah secara ringkas, kita seharusnya tidak mempunyai masalah dengan pertembungan agama dan falsafah. Sebagai seorang hamba Allah, kita pasti yakin bahwa segala ilmu itu datang daripada Allah dan segala kebenaran itu juga milik Allah.
Mencintai ilmu dan kebenaran tidak ubah seperti meyakini kekuasan Allah dan ajaran agama Islam yang suci dan murni. Hal ini kerana jika diperhati semua falsafah atau aliran pemikiran bergerak sebagai satu penawaran ide untuk memahami hakikat manusia, alam dan kehidupan di atas paksi/tiang ilmu dan kebenaran. Berasaskan pada sebuah pertanyaan, ia akan membentuk beberapa seri tanya-jawab yang akhirnya membentuk sebuah kerangka logik untuk menjustifikasi tentang hal yang mendasari segala hal berkaitan kehidupan manusia.
Dengan mendalami falsafah dan menggunakan falsafah dengan cermat akan saja kita menemui kebenaran dalam agama Tuhan tanpa sedikit menolak fungsi agama sebagai panduan dan cara hidup bukan hanya melihat agama sekadar soal ibadah dan kebudayaan berasaskan sunnah saja.
Asas Reformasi Pembawakan Agama
Hamka sendiri pernah mengkritik kelompok tegar demokrasi, liberalisme dan Marxis terutamanya yang memegang kata-kata keramat, “Agama itu candu.” Namun kritikan Hamka merupakan kritikan yang mendasari falsafah, beliau tidak memandang isu permukaan tetapi isu yang mendasari permasalahan.
Kritikan tersebut bukan hanya untuk menegur kelompok tersebut tetapi mendasari persoalan kewujudan kelompok tersebut di Indonesia. Hamka lantas melihat permasalahan itu terjadi akibat ulah satu kelompok yang menggunakan agama untuk kekuasan dan untuk menundukkan masyarakat yang akhirnya melahirkan satu kelompok yang menyanjung tinggi falsafah Barat sehingga meminggirkan agama.
Penemuan Hamka itu bukanlah hal yang luar biasa, melainkan realitas yang masih terjadi sehingga ke hari ini yang boleh kita lihat, di mana agama itu dimanipulasi untuk kepentingan pihak tertentu. Penyatuan falsafah dan agama bukan berniat memasukkan nilai falsafah Barat ke dalam agama, sebaliknya maksudnya ialah mengeluarkan ajaran Islam yang mendap tersembunyi untuk membuktikan bahwa Islam agama yang benar serta membela masyarakat daripada segenap sudut, bukan hanya semata-mata perihal hukum-hakam, perihal ibadah dan kebudayaan sunnah yang sering mendasari pembawakan Islam itu sendiri.
Penyatuan ini merupakan satu bentuk perlawanan yang bersifat profetik dalam melawan penindasan, ketidakadilan, kemiskinan serta beberapa krisis kemanusiaan yang bercabang daripada politik, ekonomi maupun sosial itu sendiri.
Ide menyatukan falsafah dan agama bukan satu perkara baru namun perkara yang sudah sekian lama dibawa oleh tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, K.H Ahmad Dahlan, Syed Syeikh al-Hadi dan Moeslim Abdurrahman. Penyatuan falsafah dan agama tidak lebih tidak kurang merupakan satu seruan untuk mengamalkan ijtihad yang sebenar serta sebagai kaedah menstruktur semula pembawaan Islam sebenar sambil melawan golongan penunggang falsafah dan ideologi Barat serta penunggang agama (mempergunakan agama) yang ingin memenuhi kepentingan pribadi.
Usaha-usaha ini dilihat bagi membanteras pemikiran kononnya Islam yang membawa kemunduran kepada masyarakatnya. Islam yang menindas masyarakatnya, Islam sekadar candu untuk masyarakatnya bagi mengabaikan ketidakadilan di dunia dan sebagainya sambil melawan naratif pemujaan terhadap warisan dan ide Barat seperti pahaman liberal, komunis, sekuler dan beberapa pemahaman lainnya sehingga menjadikan agama hanya sekadar hal ibadah, yang turut dilakukan juga oleh agamawan yang segelintirnya coba memisahkan agama daripada ilmu-ilmu sosial, sains dan ilmu yang bersifat keduniaan.
Menggali Falsafah Dalam Agama
Di saat manusia mampu berpikir dan membebaskan diri daripada belenggu untuk cenderung kepada kehendak pribadi, kekeliruan yang mendakwa-dakwi dan sentimen bersifat pribadi maka ia tidak menghalang kita untuk kembali mengangkat Islam itu agama yang benar. Mempertemukan dan menyatukan agama dan falsafah akan membuka satu jalan yang nyata bahwa Islam itu adalah tawaran kepada segala-galanya. Hal ini pernah diceritakan Hamka,
“Pada suatu hari kawanku bangsa Indonesia yang telah memahami ajaran Karl Marx dan telah menjadi seorang Marxis yang utuh dan kuat, bertukar pikiran dari hati ke hati, yang tiada ditumbuhi hawa nafsu, hanya dalam rasa cinta akan kebenaran. Ku jelaskan pula kepadanya pendapat ini. Setelah tiga kali kami bertemu, terloncatlah dari mulutnya, di hadapan beberapa teman yang lain; ‘Kalau begitu yang Islam, biarlah saya diakui sebagai orang Islam. Saya mau menjadi Islam!’”
Kisah ini membuktikan bahwa hanya dengan jiwa yang mencari kebenaran dengan akal yang sentiasa berpikir dan berfalsafah maka akan bertemu juga kita kepada kebenaran yang kekal, yaitu ajaran daripada Allah yang diturunkan oleh Jibril kepada Muhammad sebelum disebarkan ke seluruh pelosok dunia.
Di saat sesuatu falsafah hanya mampu berdiri untuk sesuatu isu tertentu, Islam telah menjadi sebuah payung besar yang mempunyai pelbagai falsafah di dalamnya. Malangnya, ia jarang sekali ditampilkan ke hadapan, sehingga kita sering saja terpaksa melakukan Islamisasi pengetahuan untuk kita bercerita bahwa Islam dalam itu ada segala-galanya.
Bahkan ada segelintir pihak yang terobsesi dengan ide Bucailleisme cuba membuktikan kebenaran Al-Quran dengan sains sedangkan tanpa mereka sadari segala yang terkandung dalam Al-Quran itu benar dan tidak perlu dibuktikan dengan sains.
Prof. Dr. Kuntowijoyo sebagai contoh telah menggagas pengilmuan Islam sebagai satu proses keilmuan yang bergerak daripada teks Al-Quran menuju konteks sosial dan kehidupan manusia. Dalam menelusuri soal krisis kemanusiaan (humanisme) maupun jauh ingin berceritakan mengenai gerakan wanita (feminisme), dalam ajaran Islam sendiri sudah ada agendanya cuma menanti untuk diceritakan dan dikembangkan dengan metode kemas dan sistematik (Islam sebagai Ilmu [2006]).
Malangnya tidak ramai yang tampil menawarkan hal sebegini kepada masyarakat sehingga masyarakat terpaksa menjiplak falsafah dari Barat yang dilihat lebih kemas dan sistematik dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan lebih mendalam dalam menjustifikasi segala hal yang berlaku pada manusia dan ekologinya manusia itu sendiri.
Prof Dr Ahmad Syafii Maarif pernah menulis bagaimana dalam Al-Quran sendiri sudah tegak prinsip persamaan, keadilan, persaudaraan dan toleransi melalui surah-surah dalam Al-Quran (Al-Quran, Realitas Sosial Dan Limbo Sejarah [1985]). Begitu juga KH Ahmad Dahlan yang terkenal dengan teologi Al-Maun. Kalau saja kita perhatikan sosok pikiran ideologi seperti komunisme, sosialisme, liberalisme, nasionalisme, bahkan kapitalisme sendiri ada rujukannya di dalam Al-Quran dan hadis.
Ini bermakna bahwa Islam sendiri sudah cukup menjadi panduan hidup dan sudah mempunyai gagasan yang bersifat sederhana dan tidak melampau dalam mengimbangi kehidupan manusia seperti istilah yang sering digunapakai Marxis, yaitu borjuis-proletariat.
Islam itu sifatnya di tengah-tengah tidak meminggirkan proletariat dan tidak meminggirkan borjuis. Masing-masing ada fungsi masing-masing dan hak tersendiri yang perlu berlangsung dalam memenuhi perjalanan kehidupan sebuah sistem organisasi masyarakat dan ekonomi.
Oleh karena itu, kita hari ini perlu menggali falsafah dalam agama bagi menampilkan tawaran Islam yang sebetulnya kepada masyarakat. Bagaimana Islam itu lebih sosialis, lebih humanis dan lebih adil dalam mengimbangi entitas dalam sebuah ekonomi berbanding komunis maupun neoliberal itu sendiri.
Kita harus sadar bahwa isme-isme yang lahir daripada falsafah hanyalah satu nama yang memayungi nilai-nilai melawan, nilai-nilai perjuangan, nilai-nilai kemanusian dan nilai-nilai idea semata-mata. Nilai-nilai ini pula ada saja dalam ajaran Islam makanya tidak ada masalah untuk menyatukan dan mencari nilai falsafah serta nilai isme di dalam agama itu sendiri.
Malangnya, apa yang terjadi adalah sebelah pihak dikuasai falsafah Barat sehingga meminggirkan agama, dan sebelah pihak lagi taksub kepada ajaran Islam yang dangkal sehingga dengan mudah menolak kepentingan falsafah dalam merangka sebuah sistem masyarakat yang baik.
Keadaan inilah yang dilihat menyebabkan mereka yang berhempas pulas memikir dan coba menampilkan kondisi Islam yang tidak saja menegak berhubung kepada Tuhan bahkan melintang hubungannya kepada manusia dan seisi alam terpaksa tampil dengan pembawakan nama Islam yang berbeda seperti Islam Sosialis, Islam Transformatif maupun Islam Progresif dan paling terbaru Islam Rahmatan Lil Alamin. Ini disebabkan Islam sedia ada itu sudah dikuasai mereka yang terkena penyakit zaman seperti dikisahkan Hamka yang pernah dikatakan terlalu memandang tinggi agama dan tidak memijak ke bumi kenyataannya mengenai Islam sedangkan umat Islam sendiri bermasalah. Jawab Hamka, “Itu adalah penyakit zaman dan bukanlah penyakit agama” (Islam: Revolusi Ideologi & Keadilan Sosial [2006]).
Yang terkena penyakit akhir zaman inilah yang memudahkan agama mengikut keperluannya dan menyempitkan agama bagi membuktikan bahwa dia saja benar, sehingga dengan mudah menuduh orang lain sesat, wahabi, kafir dan liberal tanpa memahami apa itu sendiri makna gelaran yang diberi, apa yang menjadi punca gerakan yang mereka benci itu muncul. Boleh saja diperkirakan bahwa mereka terkena penyakit zaman ini sudah didiagnos oleh Prof. Dr. Syed Hussein Alatas dengan nama yang cukup istimewa yaitu bebalis dan pak pandir.
Kesimpulan
Pembawakan falsafah bukanlah hal yang jijik atau harus diasingkan. Saat mencari kebenaran itu dijadikan kiblat utama dalam mengenali dan mendalami falsafah maka diakhirnya bertemu jua kita dengan Islam. Falsafah kalau ditelusuri adalah ibarat pecahan daripada seri-seri hakikat hasil pemikiran manusia dan hanya akan bersatu dengan siri-siri yang lain di bawah gagasan pengilmuan Islam. Hal ini karena Islam itu sendiri realitas yang sebenar yang selaras dengan segala ilmu dan bicara yang mengungkap persoalan realitas.
Di saat kita menafikan sisi perbincangan falsafah sama saja kita menafikan kebenaran dalam agama yang membincangkan tentang manusia dan hal sekelilingnya. Moga saja kita mampu berpikir dan berfalsafah dalam mencari kebenaran dan tidak lagi ridha menjadi bebalis dan orang pandir yang menanti wahyu daripada Tuhan tanpa sebarang usaha berpikir atau bekerja.
Nur Hisyam, Fellow penulis Lestari Hikmah, lembaga pemikiran dan pengkajian Islam yang berbasis di Ipoh, Perak, Malaysia.