Potret Kemanusiaan dari Sudut Nusantara di Tengah Pandemi

Potret Kemanusiaan dari Sudut Nusantara di Tengah Pandemi

Sumber Foto: UNHCR

Aceh Utara, Suara Muhammadiyah – Belum genap satu pekan peringatan Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada 20 Juni, pengungsi Rohingnya diketahui terkatung-katung di peraian Seunuddon Aceh Utara. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Amnesty International 99 pengungsi Rohingnya sebagian besar di antaranya  anak-anak dan perempuan telah diselamatkan oleh warga Desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara Kamis (25/6). Hal tersebut membuktikan rasa kemanusiaan yang tinggi meskipun masyarakat lokal tengah menghadapi situasi yang sulit.  

Kapal pembawa pengungsi tersebut telah terlihat sejak Selasa (22/6). Pemerintah sempat menolak untuk memberikan izin lantaran mencegah penyebaran Covid-19. Masyarakat setempat juga nelayan yang mengetahui hal tersebut mendesak agar pemerintah untuk mengizinkan pengungsi Rohingya untuk merapat ke daratan untuk mendapatkan pertolongan, kemudian mengambil inisiatif untuk menyelamatkan pencari suaka tersebut. Setelah diizinkan oleh pemerintah setempat dan dilakukan evakuasi, pencari suaka akan ditempatkan di penampungan imigrasi di Penteut, Lhoksumawe. Sebelumnya telah dilakukan pengecekan kesehatan termasuk rapid test Covid-19, juga perawatan kesehatan bagi mereka yang membutuhkan.

Beberapa waktu terakhir, sejumlah Negara ASEAN diketahui telah menolak untuk memberikan pertolongan kepada pencari suaka Rohingya yang mendekati perairannya. Penolakan tersebut tidak lain disebabkan oleh alasan pencegahan penyebaran Covid-19. Pengungsi Rohingya menghadapi dilemma menghadapi pilihan untuk tetap tinggal di Negara asal mereka bertahan di tengah persekusi militer Myanmar, tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan kondisi yang tidak layak dan overcrowded di kala pandemi, atau menempuh perjalanan penuh risiko dan terombang-ambing di lautan dengan harapan mampu mendapatkan perlindungan. Di Cox Bazar, Bangladesh sendiri kamp pengungsian kurang lebih menampung sejumlah 1 juta pengungsi dengan perkiraan kepadatan 40.000 pengungsi setiap km2 sehingga membuat mereka sangat rentang dalam situasi pandemi.

Direktur Eksekutif Amnesty Inrenational Indonesia Usman Hamid dalam rilisan pers mengungkapkan bahwa yang dilakukan oleh warga Aceh Utara merupakan kabar baik yang menunjukkan rasa solidaritas juga menjunjung tinggi hak asasi manusia pengungsi Rohingya. Dirinya juga mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan setelah menempuh perjalanan yang panjang dan berbahaya. Terlebih, di situasi pandem seperti ini, mampu mendorong pemerintah untuk memberikan perlindungan berupa tempat tinggal dan pemenuhan kebutuhan sementara dan menjadi alasan yang cukup untuk tidak mendorong mereka kembali ke lautan.

“Kita harus ingat, mereka ini adalah kelompok rentan yang diperlakukan secara sadis oleh otoritas di negaranya,” jelas Usman.

Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 sehingga Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk memberikan hak-hak pengungsi seperti yang tertera di dalam konvensi tersebut.  Sebagai Negara transit bagi pengungsi dan pencari suaka yang menunggu untuk ditempatkan di Negara ketiga, Indonesia hingga saat ini merupakan rumah bagi 13 ribu pengungsi yang hidup dalam ketidakpastian waktu tunggu sebelum mereka mendapatkan penempatan di Negara ketiga. Kurang lebih terdapat 7500 pengungsi tidak berada di bawah tanggungan NGO dan tidak memiliki hak bekerja ataupun mendapatkan pendidikan. Sejumlah kelompok pengungsi yang didukung oleh NGO nasional ataupun yang berasal di Negara lain, bahkan berinisiatif untuk mengisi gap kebutuhan yang tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah Indonesia ataupun UNHCR, salah satunya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. (Th)

Exit mobile version