Oleh: M. Arif Darmawan
Digitalisasi dan modernisasi yang hadir di hadapan kita hari ini adalah sebuah keniscayaan yang sukar untuk ditolak. Apa yang hari ini kita nikmati adalah sebuah penemuan yang terus disempurnakan oleh generasi ke generasi. Zaman terus bergerak maju dan mengalami banyak perubahan kemudian membawa kita pada sebuah peradaban baru.
Perubahan yang terjadi hari ini tidak hanya mempengaruhi tatanan kehidupan sosial, lebih jauh dari itu juga membawa pengaruh untuk iklim demokrasi di Indonesia. Dulu sebelum adanya media sosial, untuk bisa menjangkau para pemangku kepentingan kita harus melalui banyak mekanisme yang sangat menyulitkan.
Misalnya, kita ingin menyampaikan opini melalui media cetak. Tentu untuk bisa dimuat juga harus melalui banyak cek dan koreksi. Media tentu tak bisa semena-mena menaikan sebuah isu melalui medianya karena ada tanggungjawab besar di balik tiap aktivitas jurnalistiknya.
Media sosial sebagai satu dari sekian banyak bentuk media baru, sudah menjelma menjadi medium yang berhasil mampu mendekatkan warga negara dengan para pejabat di dalam sistem pemerintahannya.
Media sosial melalui serangkaian fitur yang dimilikinya justru berhasil mewujudkan keberlangsungan komunikasi dua arah dengan sangat efektif dan efisien. Kehadirannya dapat menembus batas ruang dan waktu, mampu menyampaikan banyak opini kepada siapa saja dan di mana saja. Hal menarik lainnya dari media sosial adalah ia mampu menghilangkan hierarki ataupun status sosial masing-masing orang. Semuanya menjadi sama dan setara.
Berkat kemampuannya menghapus hierarki itu, media sosial kemudian menjelma menjadi semacam panggung yang bebas untuk menyuarakan apa saja. Untuk hal paling dasar dari media sosial adalah seperti pengganti buku harian yang dipakai untuk menuliskan cerita kita dan dengan siapa kita akan membaginya. Bedanya media sosial bisa mendukungnya dengan foto atau video.
Dalam aktivitas perekonomian, media sosial juga sering dilibatkan. Misalnya, untuk media branding perusahaan hingga media pendukung aktivitas promosi maupun penjualan. Perannya di sini bukan untuk menggantikan media konvensional. Melainkan untuk mengintegrasikan semua aktifitas promosi perusahaan mulai dari lini direct selling hingga soft selling.
Akhirnya media sosial akan memposisikan dirinya sesuai dengan pengalaman penggunanya. Seperti beberapa yang diuraikan sebelumnya bahwa ia sudah melampaui fungsi utamanya sebagai sekadar tempat berbagi cerita. Lebih jauh, media sosial seolah hadir sebagai sebuah ladang yang subur dengan segala keanekaragaman hayati di dalamnya.
Dengan segala potensi dan kelebihannya, media sosial lalu menjadi pusat perhatian. Sudah menjadi sifat alamiah manusia, ketika melihat sesuatu yang baru dan memukau maka akan timbul rasa ingin tau hingga kemauan untuk menggali isi di dalamnya. Baik menggali dari segi informasi hingga menggali fungsi dan manfaat yang bisa dinikmati.
Selain para pelaku usaha yang berhasil menggali dan menemukan manfaat media sosial untuk membantu memasarkan produk, hal serupa juga terjadi pada para pelaku kegiatan politik hari ini.
Hari ini media sosial juga dilibatkan dalam kehidupan demokrasi kita. Mulai dari pemerintah hingga oknum politisi, menyuguhkan pola baru dalam cara mereka menarik perhatian publik. Bukan tanpa alasan mengapa mereka turut melibatkan media sosial dalam kehidupan demokrasi melainkan karena cara menyebarkan pesannya lebih cepat dan cukup efektif.
Tiap kelompok atau partisipan dalam aktivitas demokrasi pasti mempunyai kepentingan. Bahkan, tak jarang melalui media sosial apa yang menjadi kepentingan ‘bersama’ itu mereka hembuskan berulang kali dengan rapi dan masif.
Politisi itu memposisikan dirinya sebagai public affair yang tanpa disadari mereka turut memaksa publik bahwa apapun yang mereka bicarakan dan apapun yang menjadi kepentingannya juga mewakili kepentingan semua orang. Padahal belum tentu selalu berlaku demikian.
Kita sudah akrab dengan istilah buzzer bagi mereka yang ditugaskan untuk menggiring opini dan membentuk persepsi publik terhadap suatu peristiwa. Mereka juga dibayar selayaknya seorang profesional. Bagi yang awam mungkin mengangap buzzer ini sepele.
Tapi nyatanya kehadiran mereka di tengah jutaan pengguna media sosial dapat membawa dampak yang besar. Demi kepentingan kelompok tertentu hingga isu sensistif adalah beberapa materi dasar yang sering mereka gaungkan secara masal di jagat dunia maya.
Terlalu banyak sisi positif media sosial yang terlanjur dieksploitasi. Hingga yang terjadi malah kontraproduktif dengan tujuan awal para penemunya menciptakan media sosial. Media sosial memang maya. Namun segala aktivitas di dalamnya mampu mempengaruhi kehidupan sosio kultural di sekitar kita.
Salah satu penyebabnya yaitu karena yang banyaknya pengguna dan media sosial sudah kita libatkan dalam banyak hal di keseharian kita. Media sosial yang sudah seperti representasi sikap satu orang kemudian dimanfaatkan para buzzer itu. Entah bagaimana cara kerjanya namun buzzer ini bisa menyebar banyak akun. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah menyuarakan sebuah isu sesuai keinginan mereka.
Seolah-olah sebuah peristiwa itu adalah hal penting yang harus diketahui publik. Terlihat riuh banyak akun saling mengunggah, saling membagikan dan meneruskan unggahan, hingga saling berbalas komentar. Padahal yang membicarakan isunya itu ya mereka sendiri. Dengan harapan, mereka bisa mendapat perhatian banyak orang dan dapat mempengaruhi sudut pandang maupun mempengaruhi penilaian mereka terhadap sebuah isu.
Tentu baik dan buruk atau benar dan salah itu perkara relatif. Namun para buzzer membiaskan semua makna benar dan salah itu. Seperti halnya orang mengatakan bisa karena biasa. Hal itu berlaku juga pada bagaimana buzzer itu bekerja. Mereka harus cerdik mengangkat dan memilih isu, rapi dalam menyusun narasi, dan cepat dalam menyebarkan informasi.
Perkara isu atau informasi yang mereka sebarluaskan itu tidak benar, nyatanya berkat keriuhan yang mereka ciptakan itu mampu mempengaruhi persepsi publik. Lebih jauh dari itu mereka mampu turut mempengaruhi kehidupan sosio kultural masyarakat.
Berkat media sosial dan kuasa media lainnya, ruang berbicara dan menyampaikan pendapat kita hari ini memang teramat sangat luas dan terbuka. Hingga alam pikiran kita mampu disetir oleh pesan-pesan dari media itu sendiri. Adanya hoax yang tersebar luas lalu beberapa orang atau kelompok mempercayainya kemudian terjadi perpecahan dengan yang kontra terhadapnya adalah bukti kekuatan media sosial mampu menciptakan polarisasi.
Kecenderungan yang terjadi adalah di dalam media sosial isu yang sedang ramai dibicarakan ditambah lagi bumbu-bumbu buzzer seolah menciptakan pakem. Misalnya, ada kelompok A dan kelompok B yang sedang berseteru.
Kemudian kita posisikan diri sendiri netral lalu mengkritik si A dengan objektif. Bukannya kritik didengar kemudian ditanggapi, tetapi yang sering terjadi adalah yang kita kritik malah menjustufikasi bahwa kita adalah bagian dari kelompok lawannya, yaitu si B. Begitupun berlaku sebaliknya ketika kita mengkritik si B.
Pola-pola komunikasi seperti itulah yang saat ini sedang terjadi. Benar ini sudah zaman modern dan keterbukaan kita dalam berpendapat dijamin undang-undang. Tetapi yang kita temui hanyalah ironi. Ketika kita menyuarakan pendapat dan bertentangan dengan banyak orang juga pakem yang mereka buat maka argumen yang mereka bangun kemudian keluar konteks. Pendapat kita dipatahkan dengan sepele hanya karena kita melawan pakem mereka.