Majelis Tarjih dan Tajdid
Dalam ushul fikih, tarjih merupakan proses analisis untuk menetapkan suatu hukum dengan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih tepat analogi dan lebih kuat maslahatnya. Di Muhammadiyah, tarjih mengalami perluasan makna. Tidak sekadar kuat-menguatkan dalil atau pilih-memilih antara pendapat yang sudah ada, tarjih identik dengan ijtihad itu sendiri.
Ijtihad yang dilakukan tidak hanya merespons permasalahan hukum syar’i, tetapi juga berbagai permasalahan yang dilihat dari sudut pandang Islam secara lebih luas. Adapun kegiatan ketarjihan adalah serangkaian aktivitas intelektual dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam.
Majelis Tarjih merupakan lembaga ijtihad jama’i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetisi ushuliyyah dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing. Aktivitas intelektual yang menjadi domain tugas Majelis Tarjih dilakukan dengan mengikuti seperangkat panduan manhaj tarjih, (Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 2018).
Sejarah Majelis Tarjih
Majelis Tarjih lahir pada 1927 dalam Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan atas usulan KH Mas Mansur. Menurutnya, Muhammadiyah perlu mengadakan majelis khusus yang membahas masalah keagamaan, serta memberi penjelasan dan wawasan bagi masyarakat di tengah banyaknya persoalan khilafiyah. Muhammadiyah tidak boleh mewarisi perpecahan akibat urusan khilafiyah dan perselisihan furu’ yang tidak produktif untuk kemajuan. Fenomena ini dilihat KH Mas Mansur banyak terjadi di kalangan umat Islam (Jawa Timur) ketika itu.
Majelis Tarjih lahir untuk merespons konteks sosio keagamaan umat Islam serta tuntutan untuk persatuan umat Islam di Hindia Belanda. Saat itu, umat Islam mengalami gejala pemikiran sempit, fanatik berlebihan terhadap mazhab tertentu, sulit menerima perbedaan, bahkan cenderung mudah untuk saling mengkafir-kafirkan sesama muslim. Semangat lahirnya Majelis Tarjih adalah untuk mewujudkan persatuan umat Islam yang berbeda pandangan, paham, dan mazhab.
Menindaklanjuti usulan KH Mas Mansur dalam Kongres Pekalongan tersebut, forum membentuk sebuah komisi yang terdiri dari KH Mas Mansur (Surabaya), Buya AR Sutan Mansur (Sumatera Barat), KH Mochtar (Yogyakarta), KH Abdul Mukti (Kudus), Kartosudarmo (Betawi), Muhammad Kusni (Yogyakarta), dan Muhammad Yunus Anis (Yogyakarta). Komisi ini ditugaskan untuk mempersiapkan Qaidah Majelis Tarjih guna disampaikan dan dibahas kembali dalam kongres berikutnya.
Tahun 1928, Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta membahas hasil rumusan komisi yang dibentuk setahun yang lalu. Setelah dibahas, forum menerima dan mengesahkan Qaidah Tarjih yang disusun oleh tim tersebut, forum kongres juga membentuk struktur Majelis Tarjih. KH Mas Mansur diangkat sebagai ketua, KRH Hadjid sebagai wakil ketua, KH Aslam Zainuddin dan KH Jazari Hisyam diangkat sebagai sekretaris dan wakil sekretaris, dengan anggota antara lain KH Ahmad Baidawi, KH Hanad, KH Washil dan KH Fadhil. (Muhammad Ridha Basri)
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Suara Muhammadiyah nomor 22 tahun 2019