suaramuhammadiyah.id. Pandemi covid-19 dapat dikatakan sebagai tantangan bagi agama. Apakah agama dapat dijadikan solusi atau malah menjadi dan penyulut masalah. Bagi ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir jawabannya adalah yang pertama. Agama harus selalu menjadi dan memberikan solusi bagi ummat manusia.
Hal ini dinyatakan oleh Haedar Nashir saat menjadi pembicara kunci dalam Webinar Nasional, Kontribusi Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19, Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, rabu, 15 Juli 2020.
Menurut Haedar, dalam urusan covid-19 ini Muhammadiyah memang tegas. Saat ini angka tenaga medis yang menjadi korban covid-19 cukup tinggi. Sedangkan 79 Rumah Sakit Muhamadiyah terlibat langsung penanganan covid-19, dan 157 rumah sakit yang lain juga berhadapan dengan segala resiko langsung akibat covid -19 ini. Oleh karena itu, Muhammadiyah paham betapa daruratnya keadaan masa sekarang. Betapa berharganya nyawa-nyawa yang harus hilang akibat paparan virus ini.
Bagi Muhammadiyah, menyelamatkan satu nyawa itu sama derajatnya dengan menyelamatkan seluruh kehidupan di dunia. Dengan kata lain, nyawa manusia itu tidak boleh dianggap sebagai angka statistik semata.
“Ketika pandemi ini terjadi, Muhammadiyah telah mengambil posisi untuk menjadi solusi. Agama diturunkan Allah untuk menjadi solusi.” Tutur Haedar.
Untuk itu, Haedar mengingatkan agar memperkaya aspek keberagamaan dengan Bayani, Burhani, dan Irfani. Secara bayani shalat di masjid itu lebih utama. Namun karena alasan penyebaran covid-19, shalat harus dilakukan di rumah. Secara bayani, shalat di rumah itu saat covid-19 sama mulianya dengan shalat di masjid saat normal. Dengan pendekatan burhani atau kontektualisasi ajaran, shalat di rumah saat covid-19 menjadi lebih utama karena dengan menghindari kerumunan (saat shalat jamaah di masjd) kita telah berusaha nyata mecegah menyebarnya kerusakan.
Kalau itu belum cukup, perkaya lagi dengan pedekatan irfani. Dengan pendekatan rasa. “Cobalah berempati dengan nasib para tenaga kesehatan yang berjibaku di garda depan itu, mereka rawan terpapar bahkan banyak pula yang gak bisa pulang ke rumah. Pulang ke peristirahatan terakhir tanpa di antar kerabat. Cobalah berempati pada mereka dan keluarganya. Kalau semakin banyak yang terpapar dan dokter juga semakin banyak yang terpapar, kalau rumah sakit gak mampu lagi menampung?”
Untuk itu Muhammadiyah sudah melakukan berbagai ijtihad dengan tiga pendekatan ini demi menyelamatkan manusia. Mulai shalat, ramadhan di rumah, shalat idul fitri dan iduladha besok juga masih di rumah serta mengkoversi dana kurban untuk sedekah bagi dhuafa lama dan baru akibat pandemi covid-19 ini.
Namun, Haedar mengakui bahwa semua ijtihad yang dasarnya sudah sangat kuat secara hukum Islam itu tidak serta-merta dapat diterima dengan mudah. “Saat kurban besok misalnya, banyak di antara kita yang pasti tidak mantap kalau tidak ada penyembelihan. Karena sejak kecil kita terbiasa dengan hal itu, ada kegembiraan di sana. Ketika dianjurkan dialihkan ke sedekah, tentu tidak mudah.” Tegasnya.
Namun, kalau mau menggugah irfani kita, dengan ikut peduli dengan penderitaan sesama, kita akan tahu bahwa semua ritual agama adalah solusi bagi masalah ummat manusia. Di sini inilah moralitas kita diuji apakah ada jiwa empati dalam semangat keberagamaan kita dalam mengutamakan hal-hal yang penting. Di sinilah moralitas kita diuji.
“Ini juga menyangkut moralitas para elite politik kita. Harusnya tahu untuk mendahulukan hal paling yang penting di antara yang penting, apa perlu melanjutkan pembahasan RUU-HIP yang dapat dikatakan dapat menimbulkan banyak kemudharatan itu dalam masa pandemi yang penuh keprihatinan ini.” (mjr-8)