Khutbah Jum’at Kedaulatan Diri Era Teknologi
Oleh: Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani
اْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيْدًا أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلهَ إِلاَّاللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Marilah kita panjatkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga kita dapat menjalani kehidupan ini dengan penuh keridhaan-Nya. Shalawat dan salam tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat serta pengikutnya.
Orang Islam pada hakikatnya adalah orang yang meyakinkan dirinya untuk tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT, maka setiap muslim berusaha mencurahkan segenap potensi jasmani dan ruhani untuk melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya. Ini artinya, setiap bentuk peribadatan yang dilakukan adalah demi memperoleh kualitas ibadah terbaik agar dapat menggapai keridhaan Allah SWT.
Bentuk kemerdekaan diri dari berbagai pengaruh dan kepentingan selain Allah SWT merupakan penghambaan yang totalitas sehingga satu-satunya yang dijadikan tempat bergantung dari berbagai masalah adalah Dia Dzat Yang Kuasa. Pembebasan diri dari beragam bentuk pemberhalaan baik berhala materi maupun non materi, hakikatnya adalah kedaulatan diri seorang muslim dalam menguasai aspek potensi jasmani dan ruhani dirinya untuk diabdikan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa.
Melihat dari firman Allah SWT di dalam Q.S. al-Anfal ayat 72 di bawah ini yaitu dikenal adanya konsep āmanū, hājarū, wajāhadū, āwau, dan wanaṣarū dalam membangkitkan dan membentuk kedaulatan diri:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Keberimanan seorang muslim sebenarnya terletak dari kualitas iman dan perilaku yang tercermin dalam kehidupannya. Sebagai seorang ‘abdun (hamba) yang tugas pokoknya mengabdi kepada Allah SWT maka itulah sebagai bentuk membangkitkan kedaulatan diri yang dalam konsep Q.S. al-Anfal ayat 72 dimulai dari mekanisme keimanan, hijrah, jihad (bersungguh-sungguh), dan bersikap sosial yang luhur.
Pertama keimanan (āmanū), kedaulatan diri seorang muslim harus dimulai dari suatu keyakinan kepada Allah SWT. Dalam hal apapun maka keyakinan kepada Allah SWT tetap menjadi prioritas untuk dijadikan pedoman dan tujuan akhir bagi sukses dan tidaknya suatu hidup seseorang.
Jiwa keimanan yang berdaulat seperti inilah menjadikan seorang muslim dapat berperilaku independen dan terbebas dari segala pengaruh negatif yang membuat hidupnya tidak dipenuhi dengan ridha Allah SWT. Dasar dan substansi awal bagi berdaulatnya diri seorang muslim adalah dengan meniadakan segala bentuk berhala-berhala lain yang membuat hidupnya selalu bergantung kepadanya dan bahkan mengorbankan jiwa raganya. Apalagi segala bentuk berhala tersebut adakalanya bersifat materi seperti kekayaan harta, kekuasaan, dan lain-lain, kemudian bisa juga bersifat non materi seperti kesombongan, dan sifat-sifat tercela lainnya pada diri sendiri.
Jama’ah Sholat Jum’at yang Berbahagia
Kedua proses hijrah (hājarū), setelah adanya suatu keyakinan kepada Allah SWT dalam diri seorang muslim, maka proses dan usaha untuk selalu berhijrah (berpindah) dari segala sesuatu yang negatif menuju positif menjadi tindakan selanjutnya untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Karena setiap pribadi manusia tentunya memiliki potensi untuk terpengaruh persoalan-persoalan negatif di luar dirinya, namun sikap seorang yang beriman adalah proses pada dirinya yang selalu berusaha untuk menuju pada tempat yang positif meskipun sebelumnya pernah mendiami tempat yang negatif. Sebagaimana jika kita teliti makna qalbun dalam hadits berikut:
إِنَّ اللَّهَ لاَيَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ (رواه مسلم)
Hadits tersebut menyiratkan bahwa Allah SWT sengaja menggunakan qalbun untuk menilai baik tidaknya seorang hamba. Ini bisa dianalogikan bahwa orang yang terlihat ibadahnya baik dari sudut pandang manusia bisa jadi belum tentu baik di hadapan Allah SWT, karena yang mengetahui hati seorang hamba tersebut dalam melaksanakan ibadah hanyalah Allah SWT, apakah ia beribadah tulus kepada Allah SWT atau hanya sekedar dianggap sholeh di hadapan manusia atau hanya untuk mengejar kepentingan duniawi. Dan bisa jadi sebaliknya ketika seseorang berbuat buruk perspektif manusia bisa jadi di hadapan Allah SWT berbeda. Maka yang terpenting menilai seseorang merupakan hak prerogatif Allah SWT dengan mengutamakan persoalan hati (qalbun) inilah Allah SWT mengetahui keadaan sebenarnya seorang hamba apakah ia benar-benar baik atau pun buruk.
Jama’ah Sholat Jum’at yang Berbahagia
Ketiga bersungguh-sungguh (wajāhadū), keyakinan dan proses menuju sesuatu yang positif (hijrah) tidak akan ada artinya manakala sikap keseriusan atau kesungguhan tidak dimiliki. Kesungguhan dari hati (niat) menjadi penentu bagi keberhasilan seseorang dalam menguasai dirinya untuk mengabdi kepada Allah SWT (kedaulatan diri).
Keempat bersosial kemasyarakatan (āwau, dan wanaṣarū), inilah menjadi bagian akhir seseorang dipandang berdaulat terhadap dirinya sendiri yaitu berperilaku sosial. Suatu keimanan, usaha menuju sebagai orang yang baik (hijrah), dan kesungguhan akan terbukti dengan adanya perilaku sosial dan kemasyarakatan yang luhur. Maka jika diteliti secara terbalik, seseorang yang memiliki kualitas keimanan yang teguh, hati yang suci untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik di hadapan Allah SWT bahkan meskipun harus terjerembab terlebih dahulu dalam keburukan, serta kesungguhan yang tulus dari hati, yang demikian ini akan memunculkan sikap luhur yang nampak dalam perilaku sosial kemasyarakatannya. Oleh karena itu kedaulatan diri yang ditunjukkan akan menghasilkan suatu pribadi dengan integritas tinggi kepada Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
بَارَكَ اللَّهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتُهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
Khutbah Kedua
اْلحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلهَ إِلاَّاللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
اْلحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِميْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ والْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ فَيَاقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْئَلُكَ عِلْمًا نَفِعًا وَرِزْقًا وَاسِعًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani, Dosen PAI Universitas Muhammadiyah Gresik & Anggota Majelis Tabligh PDM Gresik