Sejarah Pancasila adalah Sejarah Muhammadiyah; Sebuah Tanggapan

Sejarah Pancasila adalah Sejarah Muhammadiyah; Sebuah Tanggapan

Oleh: Musa Maliki. PhD dari Charles Darwin University, Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan, Pengajar UPN Veteran Jakarta, Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menarik mengulas artikel Duta Besar RI untuk Libanon, Hajriyanto Y Thohari yang berjudul “Sejarah Pancasila adalah Sejarah Muhammadiyah” dalam Suara Muhammadiyah (15/7/2020). Judulnya provokatif sebab seolah-olah hanya kontribusi Muhammadiyah, Pancasila ada. Konsekuensinya, Indonesia eksis karena Muhammadiyah.

Menurut Beliau, dari 76 anggota BPUPKI dan 27 anggota PPKI, selalu ada orang-orang Muhammadiyah. Orang-orang besar Muhammadiyah ikut serta khususnya dalam penentuan akhir Pancasila. Terdapat empat tokoh, yaitu Ki Bagus, Sukarno, Kasman, dan Teuku Hassan yang berdiskusi intensif dengan Hatta yang bukan dari Muhammadiyah. Sukarno hanya ikut mendengarkan saja sebab sudah merasa terwakili oleh Ki Bagus, President HB Muhammadiyah.

Suara Lain

Tanggapan pertama atas tulisan tersebut, sebenarnya tidak semua orang Muhammadiyah dan orang Islam secara umum menyetujui keputusan empat tokoh Muhammadiyah di atas. Dalam disertasi Faisal Ismail di McGill University, Kanada, “Islam, politics and ideology in Indonesia: a study of the process of muslim acceptance of the Pancasila” (1995), terlihat jelas pertentangan antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam.

Secara umum, para ilmuwan politik Islam meyakini bahwa tanpa Islam, Indonesia tidak eksis. Adalah sebuah fakta bahwa Indonesia ada karena Islam. Oleh sebab itu, Islam yang lebih layak menjadi dasar negara daripada Pancasila. Kelompok semacam Darul Islam tetap ngotot dan gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila sampai pada level kekerasan. Misalnya, Kahar Muzakkir (Muhammadiyah) menyalahkan kelompok nasionalis sekuler (misalnya, Mohammad Hatta) dalam penghapusan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Dalam tesisnya, Faisal juga menceritakan tentang bagaimana militansi Masyumi memperjuangkan Islam di kancah politik. Beberapa orang Masyumi terus mengatakan bahwa Pancasila itu sementara dan kapan saja bisa diubah. Kelompok ini tidak sekaku Darul Islam yang harus memakai diksi/baju/label/frame “Islam”, tetapi beberapa orang Masyumi yang militant berargumen bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah ulah nasionalis sekuler.

Faisal menjabarkan bahwa dalam konflik antara Darul Islam dan nasionalis sekuler, Masyumi melalui Natsir berusaha menenangkan kelompok Darul Islam dengan memberi solusi politik, yaitu perjuangan melalui partai politik. Natsir (Masyumi) dan Sjamsijah Abbas (Perti) berargumen bahwa Pancasila hasil PPKI tersebut sekuler tanpa adanya sentuhan Islam. Demikian pula Hamka yang berusaha mempersuasi non-Islam agar mengerti argumen kalangan Islam, sebab sepanjang sejarah Nabi Muhammad, sistem pemerintahan Islam berlaku baik terhadap masyarakat non-Islam. Namun golongan non-Islam tetap tak teryakinkan. Darul Islam akhirnya dinyatakan sebagai pemberontak dan Masyumi pun tidak berhasil memasukkan agenda Islam, khususnya tujuh kata tersebut.

Kedua, sebenarnya tidak hanya orang-orang besar Muhammadiyah saja yang menentukan teks Pancasila, tetapi banyak narasi kecil yang ikut andil dalam penentuan teks tersebut. Hanya saja, mereka semua sudah merasa terwakilkan idenya melalui empat tokoh Muhammadiyah. Misalnya, ada orang NU, kelompok kebatinan, Jawa nasionalis, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan seterusnya. Mereka percaya kepada orang Muhammadiyah yang amanah. Mereka merasa aman (Islam) terwakili Muhammadiyah.

Kepercayaan atas keterwakilannya melalui Muhammadiyah membuat tokoh lain tidak masuk dalam badan BPUPKI dan PPKI. Tokoh Islam seperti Natsir, Isa Anshori, dan SM Kartosuwiryo tidak terpilih oleh konteks situasi saat itu. Sama halnya seperti Tan Malaka yang juga tidak diikutkan. Mereka semua masih kurang cair (malleable) dalam memahami konteks aneka ragam bangsa-bangsa di wilayah jajahan Belanda dan Jepang ini. Pancasila adalah takdir bagi semua bangsa-bangsa di dalamnya untuk saling mengenal dan menciptakan perdamaian. Oleh sebab itu, semua terkondisikan memilih orang-orang yang cair, akomodatif, dan moderat.

Hasilnya, teks Pancasila sesuai dengan selera Nusantara, yakni bukan dasar negara yang utuh sekuler dan juga bukan utuh ‘Islam’ (diksi/label). Hasil dari ide orang-orang Muhammadiyah bersama Hatta, Pancasila berisi prinsip-prinsip universal yang secara inherent sudah berakar dalam tubuh bangsa-bangsa Nusantara. Teks Pancasila berisi sekaligus ‘sekuler’ dan Islami, artinya Islam sebagai proses way of life (bukan kata benda/bukan institusi) ditujukan untuk yang sekuler (duniawi) demi tujuan-tujuan yang ukhrawi (‘langitan’). Pancasila tiada duanya, modern versi selera Nusantara.

Fleksibilitas Ajaran Muhammadiyah

Ketiga, cairnya prinsip atau fleksibilitas ajaran Muhammadiyah sudah ada sejak awal berdirinya. Oleh karena itu, mudah bagi orang-orang Muhammadiyah mengakomodasi banyak kepentingan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat misalnya dari adaptasi secara selektif pendidikan modern Eropa oleh Muhammadiyah yang tidak meninggalkan tradisi Islam. Muhammadiyah dekat dengan kelompok Budi Utomo, nasionalis-sekuler, ‘kejawen’, dan yang lain sebagainya, tetapi tetap dalam prinsip-prinsip Kemuhammadiyahan (Islam substantif).

Muhammadiyah melarang kesyirikan, tetapi paham betul peristiwa sekaten di Keraton Jogja. Spirit reformis Muhammadiyah yang terinspirasi dari tokoh reformis di Mesir tidak membuat Ahmad Dahlan membuang tradisi Jawa, khususnya dalam hal pakaian, sopan santun, dan bahasa Jawa. Muhammadiyah juga mengaburkan batas santri-priyayi-kemodernan (Burhani, 2005). Catatan-catatan sejarah semacam inilah yang membuat Muhammadiyah dipercaya untuk mengikat bangsa-bangsa Nusantara dengan konsensus dan komitmen bersama dalam wadah teks Pancasila.

Keempat, artikel Hajriyanto memberi kesadaran pentingnya sejarah bagi generasi Muhammadiyah. Generasi Muhammadiyah perlu meneladani prinsip-prinsip kemuhammadiyahan dalam laku tokoh-tokoh besarnya dalam mengikat komitmen kebangsaan. Mereka mengajarkan kepada kita kepercayaan diri terhadap yang berbeda dari kita dan melindunginya. Tokoh Muhammadiyah tidak hanya toleran saja, tetapi jauh lagi, melindungi dan menghormati kelompok minoritas, khususnya non-Islam.

Laku mereka selaras dengan praktik Piagam Madinah yang utamanya melindungi dan menghormati minoritas. Piagam Madinah lebih pada substansi konsensus dan komitmen bersama dalam membina perdamaian antarkelompok yang berbeda-beda di Madinah. Madinah atau madaniah adalah istilah netral dalam konteks saat itu yang dipahami sebagai kota beradab. Dalam kota yang mempunyai adab, tentunya ada aturan yang jelas diikat bersama sehingga semua perbedaan dapat dipahami kebenarannya bersama. Tidak hanya kebenaran bersama, tetapi juga kebaikan dalam hidup bersama, yakni tidak hanya toleran, tetapi saling menghormati sehingga menampilkan keindahan dalam membangun kota Madinah.

Kesimpulannya, walaupun artikel Hajriyanto seolah-olah Muhammadiyah sentris, tetapi Muhammadiyah yang bagaimana dulu? Muhammadiyah yang penuh percaya diri dan bermental kesetaraan (bukan ketakutan akan ancaman non-Islam), mau melindungi dan menghormati kalangan minoritas, khususnya non-Islam sejak pada awal berdirinya bangsa Indonesia. Muhammadiyah yang bercirikan kemanusiaan yang universal, bukan primordial dan eksklusif. Muhammadiyah yang diberi kepercayaan oleh minoritas untuk memayu hayuning bawana.

Exit mobile version