Kurban adalah salah satu bentuk ritual yang diajarkan oleh hampir semua agama, dengan pemaknaan, tujuan, dan bentuk pelaksanaan berbeda-beda
Oleh: Fauzan Saleh
Seperti halnya Idul Fitri yang lalu, tampaknya suasana Idul Adha tahun ini tidak akan jauh berbeda: murung, diliputi suasana keprihatinan. Kita belum bisa merayakan Idul Adha secara normal, melaksanakan takbiran keliling, atau menyelenggarakan shalat Idul Adha di lapangan atau masjid dengan jamaah yang besar. Selain itu jika orang ingin berkurban ada ketentuan teknis yang harus dipenuhi dalam penyembelihan binatang kurban, antara lain harus menghindari kerumunan massa, jumlah petugas yang terbatas, dan mematuhi semua protokol kesehatan. Ada juga anjuran agar penyembelihan binatang kurban dilaksanakan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) denga jagal dan teknik yang professional.
Ini semua dimaksudkan agar penyembelihan binatang kurban tidak menjadi sumber penyebaran virus corona yang masih mengganas. Sejalan dengan itu, demi menjaga keselamatan bersama, pemberangkatan jamaah haji Indonesia tahun ini pun ditunda. Mereka yang sudah bertahun-tahun berharap bisa segera berangkat haji terpaksa harus bersabar lagi untuk menunggu kesempatan pada tahun-tahun berikutnya, sampai kondisi benar-benar dirasa aman. Kita belum tahu, kapan pandemi Covid-19 akan berlalu dari ruang kehidupan kita.
Tidak berbeda dengan suasana Idul Fitri yang lalu, ritual Idul Adha tahun ini dianjurkan untuk dilaksanakan dengan mengadakan shalat ied di rumah masing-masing dengan jamaah dari anggota keluarga yang ada. Jika harus dilaksanakan di luar rumah maka jumlah jamaah harus dibatasi dan semuanya harus mematuhi protokol kesehatan secara ketat. Tempat pelaksanaan shalat ied juga harus memiliki sirkulasi udara yang baik. Semua protokol ini harus dipatuhi guna mencegah penularan wabah Covid-19. Khutbah sebagai bagian dari ritual yang tidak boleh ditinggalkan hendaknya disampaikan secara singkat dan padat. Seperti pengalaman saat Idul Fitri yang lalu, tidak sedikit orang membutuhkan contoh naskah khutbah ied. Diharapkan para ustadz, kyai atau ulama’ bersedia berbagi ilmu dengan membagikan naskah khutbah Idul Adha di grup-grup WA yang ada guna memudahkan mereka yang memerlukannya.
Ritual Idul Adha mengandung banyak pesan yang sangat luar biasa penting bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Selain terkait dengan makna ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam dengan kandungan pesan-pesan persatuan, persaudaraan, persamaan hak dan solidaritas sosial, ibadah kurban menjadi bagian yang tak boleh dilewatkan dalam merayakan Idul Adha, khususnya bagi mereka yang memiliki kecukupan harta. Islam, sebagaimana agama-agama dunia lainnya, mengajarkan umatnya untuk berkurban. Kurban adalah salah satu bentuk ritual yang diajarkan oleh hampir semua agama, dengan pemaknaan, tujuan, dan bentuk pelaksanaan berbeda-beda. Menurut Mariasusai Dhavamony (1995), upacara kurban merupakan upacara inti dalam kegiatan keagamaan, dan dalam tradisi agama-agama suku primitif, kurban darah merupakan tindakan religius yang utama. Dengan upacara atau ritual kurban tersebut, manusia religius mewujudkan persembahan pada kekuatan supranatural yang dipercaya sebagai penjaga kosmos untuk memperkuat hubungan dengannya, melalui keikutsertaan dan ambil bagian dalam persembahan yang disucikan. Dengan melaksanakan ritual kurban darah itu, menurut pandangan mereka, diharapkan keselamatan, kedamaian dan keselarasan hidup akan bisa diperoleh.
Dalam tradisi agama-agama primitif, kurban darah selalu menjadi ritual untuk menangkal kemurkaan Tuhan. Semua bentuk bencana, malapetaka, pagebluk dan kesulitan ekonomi selalu dikaitkan dengan kemurkaan Tuhan dan harus ditebus dengan menumpahkan darah manusia. Maka manusia harus rela mempersembahkan nyawa salah seorang anggota suku untuk meredam kemurkaan Tuhan tersebut sehingga diperoleh keselamatan dan terbebas dari mara bahaya. Ternyata praktik mengurbankan manusia sebagai “tumbal” sudah dikenal luas di kalangan bangsa-bangsa di dunia di masa lalu, seperti bangsa Aztek, Jepang, Mesir, Yunani dan Romawi kuno. Namun belakangan muncul pendapat bahwa pengorbanan manusia bukan semata-mata untuk “menenangkan” kemurkaan Tuhan tetapi untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Hal itu cukup jelas seperti duraikan oleh Risa Herdahita Putri dalam artikelnya berjudul “Ritual Pengorbanan Manusia,” dalam https://historia.id/kuno/articles/ritual-pengorbanan-manusia.
Berdasarkan berbagai sumber yang jadi rujukannya, Risa Herdahita Putri menyimpulkan bahwa pengurbanan jiwa manusia itu hanya untuk menjastifikasi kesewenang-wenangan pihak penguasa. Tidak heran jika sebagian peneliti beranggapan bahwa ritual persembahan manusia yang dibungkus dalam kemasan keagamaan merupakan bagian dari rancangan yang lebih jahat untuk kepentingan politik penguasa. Risa merujuk pada sebuah laporan penelitian dalam jurnal Nature (April 2016) yang ditulis oleh Joseph Watts, psikolog dan mahasiswa doktoral di bidang evolusi kebudayaan dari University of Auckland, Selandia Baru. Joseph Watts bersama timnya menemukan bukti yang cukup kuat bahwa para pemimpin pada bangsa-bangsa primitif tersebut sering menggunakan upacara persembahan sebagai jalan untuk memperkuat pengaruhnya atas rakyat yang mereka pimpin. Mereka melakukannya dengan mengambil peran sebagai perantara atau medium antara manusia dengan Yang Mahakuasa, lalu menyatakan diri sebagai penerjemah dari keinginan sang Dewata. Ini mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan legitimasi atas semua tindakan brutal dalam menjalankan kekuasaan mereka. Dengan cara seperti itu sebenarnya mereka hanya ingin membangun kewibawaan subyektif dengan menimbulkan rasa takut bagi mereka yang berniat menentang kekuasaannya.
Sejalan dengan pandangan di atas, dalam kajian sosiologi (Durkheim) dan psikologi (Freud) cukup jelas bagaimana agama sering dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Menurut Durkheim, agama muncul dan mendapatkan legitimasi melalui suatu momentum yang disebut collective effervescence. Istilah itu sendiri menunjuk pada suasana kehidupan sosial ketika sekelompok individu yang tergabung dalam suatu masyarakat sedang berkumpul untuk melaksanakan ritual keagamaan. Dalam suasana seperti itu akan muncul rasa persatuan dan kebersamaan secara efektif sehingga terciptalah suatu “elektrisitas sosio-psikologis” yang mampu mengantarkan anggota kelompok itu pada kegembiraan emosional koletktif yang tinggi. Kekuatan ekstra-individual sekaligus bersifat impersonal yang merupakan elemen inti dari agama itu akan mengantarkan anggota kelompok pada dimensi baru dari kehidupan mereka, melampaui keseharian mereka.
Menurut Durkheim, keyakinan agama bisa dibangun dari suasana yang tercipta melalui interaksi intensif di antara individu anggota kelompok seperti itu. Tampaknya realitas sosiologis seperti itulah yang menjadi landasan konseptual interpretasi-sosiologis Emile Durkheim tentang agama. Dia menegaskan bahwa Tuhan yang disembah oleh suatu masyarakat adalah wujud khayali yang secara tak sadar dibentuk sendiri oleh mereka. Di sinilah keinginan mengontrol kehidupan individu anggota kelompok dijalankan oleh penguasa dengan mengatasnamakan kewenangan yang dia peroleh dari Tuhan. Tindakan sewenang-wenang, kejam, dan brutal pun tidak jarang digunakan untuk meneguhkan kekuasaan sang pemimpin-penguasa, atas nama kesakralan agama yang telah dimanipulasi. Maka menentang keinginan sang penguasa akan dianggap sama dengan menentang kehendak Tuhan, dan oleh karenanya harus ditindas dan disingkirkan. Perlu diingat bahwa Durkheim membangun teorinya tersebut berdasarkan penelitiannya pada perilaku keagamaan masyarakat Aborigin di pedalaman Australia, pada awal abad ke-20.
Dalam artikel yang dikutip oleh Risa di atas juga disebutkan bahwa di Mesir Kuno dan China banyak ditemukan budak dikubur hidup-hidup bersama majikan mereka yang telah mati lebih dahulu. Sebagai budak mereka harus tetap setia melayani tuan mereka sampai di alam baka. Demikian asumsi yang dibangun. Namun pada hakekatnya, di situ terselip suatu kepentingan dari sang penguasa baru agar ia bisa membersihkan semua elemen yang berasal dari pemimpin yang digantikan agar tidak menjadi ancaman bagi kekuasaan yang dia dapatkan. Sang pemimpin baru berkeinginan agar loyalitas penuh rakyat terhadap dirinya tidak terganggu oleh sisa-sisa kekuatan lama. Persaingan di antara pewaris kekuasaan sudah sangat lazim terjadi dalam sejarah dinasti masa lalu. Itulah sebabnya, mengapa ketika sang penguasa baru muncul maka ia akan segera melakukan “pembersihan” terhadap sisa-sisa kekuatan yang berasal dari penguasa sebelumnya. Sekali lagi, berkurban dengan mempersembahkan nyawa manusia atas nama agama itu tidak lepas dari kepentingan politik para penguasa.
Al-Qur’an berulang kali menyebut kekejaman Fir’aun terhadap umat Nabi Musa dengan memerintahkan membunuh anak-anak lelaki dan membiarkan hidup anak-anak perempuan. Itu semua dilakukan demi mengukuhkan hegemoni Fir’aun dengan menyingkirkan semua potensi yang akan menjadi ancaman atas kelangsungan kekuasaannya. Untuk itu, Fir’aun pun tidak segan-segan mengklaim dirinya sebagai Tuhan yang sangat berkuasa, mampu membuat manusia hidup atau mati sesuai titahnya, dan mengaku bisa menciptakan sendiri taman surga dengan mengalirkan sungai-sungai di sekitar istananya.
Seperti telah disebutkan di muka, salah satu pelajaran penting dalam merayakan Idul Adha ialah ajaran tentang semangat berkurban. Dalam al-Qur’an, ajaran berkurban itu telah dicontohkan sendiri oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Isma’il, ‘alaihimassalam. Kehadiran Nabi Ibrahim dan putranya yang memerankan pelaksanaan ritual kurban sebenarnya merupakan antitesa dari tradisi berkurban yang terdapat pada hampir semua agama di dunia. Di sini Islam ingin menegaskan tentang makna kurban yang sebenarnya, dengan mendekonstruksi pemahaman manusia tentang sifat-sifat Allah dan hakekat kemanusiaan. Dalam ajaran agama-agama primitif, Tuhan sering digambarkan sebagai sosok yang pemurka, mengancam ketenangan hidup manusia di dunia jika kehendaknya tidak dipenuhi, dan sebagai sosok yang haus darah.
Karena itulah manusia setiap saat harus menyediakan berbagai sesaji dan kurban untuk dipersembahkan kepada Tuhan guna menyenangkan hatinya agar dia tidak murka dan tidak mengancam keselamatan manusia. Sebagai sosok yang haus darah, tidak jarang sesembahan yang harus disediakan ialah gadis-gadis remaja yang cantik menawan dan “masih suci,” atau jejaka yang gagah dan tampan. Anak-anak manusia itu harus dijadikan korban atau tumbal dengan menumpahkan darahnya atau diambil jantungnya agar masyarakat dapat terselamatkan dari keganasan murka Tuhan. Inilah tradisi yang sering kita saksikan dalam berbagai ajaran agama-agama kuno. Islam datang untuk merombak gambaran yang menyesatkan tentang Tuhan tersebut. Oleh karena itu, ajaran Islam tentang kurban merupakan dekonstruksi atau perombakan yang bersifat revolusioner terhadap tujuan dan tradisi berkurban serta pandangan tentang Tuhan.
Dalam surat al-Shaffat ayat 101-107 digambarkan dengan jelas bagaimana Nabi Ibrahim telah memerankan dirinya sebagai seorang tokoh yang mampu melaksanakan perintah Tuhan yang amat berat, sebab beliau diminta untuk menyembelih anaknya sendiri. Hati siapa yang tega menyakiti, apalagi menyembelih anak sendiri? Tentu tugas ini terlalu amat berat dirasakan oleh Nabi Ibrahim. Namun karena perintah itu datang dari Allah SWT maka seberat apa pun Nabi Ibrahim tidak mungkin bisa mengelak, walaupun untuk melaksanakan peritah itu ia harus minta pertimbangan dari anaknya sendiri. Dan ternyata Ismail, sang putra kesayangan itu pun, dengan ikhlas bersedia menerima nasib yang telah menjadi ketentuan Ilahi tersebut. Namun Allah maha rahman dan maha rahim, maha pengasih dan maha penyayang.
Allah maha suci dari segala sifat yang mencerminkan angkara murka dan haus darah seperti digambarkan dalam agama-agama primitif. Allah hanya menghendaki kepatuhan dan ketaatan hamba-Nya dalam menjalankan perintah. Maka ketika ketaatan dan kepatuhan itu telah diwujudkan dengan tulus, Allah pun segera menunjukkan keagungan dan kasih sayang-Nya dengan menggantikan sang Kurban, Ismail, dengan sembelihan yang besar. Nabi Ismail pun selamat dari pembantaian. Allah maha suci, Allah bukan sosok pemurka yang haus darah. Bahkan Allah maha kaya. Dia tidak membutuhkan daging atau darah. Yang diminta oleh Allah adalah ketaqwaan, kepatuhan dan ketaatan untuk menjalankan perintah-Nya semata. Di sinilah Allah menegaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 37 berikut ini:
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ
Dalam ayat ini jelas sekali ditegaskan bahwa pengorbanan berupa binatang sembelihan itu bukan untuk kesenangan Tuhan, tetapi merupakan sembelihan yang memberi manfaat bagi manusia. Manusialah yang lebih membutuhkan daging dari binatang sembelihan itu untuk memenuhi kebutuhan gizi dan memperbaiki nutrisi mereka. Sedangkan pada kesediaan manusia untuk menjalankan perintah itulah ketaqwaan dibangun, yaitu berupa kepatuhan pada tatanan sosial berdasarkan aturan-aturan Ilahiyah. Setiap individu warga masyarakat tentu memiliki kemampuan untuk berperan demi kebaikan hidup bersama. Karena itulah, semangat berkurban seperti tercermin dari makna peringatan Idul Adha itu pada hakekatnya merupakan ajaran yang dikehendaki oleh agama agar orang tidak hanya mementingkan diri sendiri dan kurang peduli dengan kondisi masyarakat sekelilingnya.
Semangat berkurban mengharuskan kita untuk bersungguh-sungguh dan serius dalam menjalankan perintah Allah. Di dalam syari’at Islam binatang yang kita jadikan kurban harus dipilih yang terbaik, sehat, tidak cacat, sesuai dengan kriteria dan persyaratan lainnya, bukan asal-asalan. Ketentuan ini merupakan cerminan dari bentuk keikhlasan dan kesungguhan kita dalam menerima perintah-perintah Allah. Jika tidak maka akan sia-sialah pengorbanan kita dan tidak akan diterima oleh Allah. Hal ini ditegaskan di dalam al-Qur’an saat mengisahkan dua orang anak Adam yang diperintahkan untuk berkorban. Yang satu menerima perintah itu dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh dengan memilih harta yang terbaik untuk dikorbankan dalam rangka memenuhi perintah Allah. Sementara itu anak yang lainnya justru memilih harta yang sudah hampir rusak atau basi dan sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Maka hanya pengorbanan yang sungguh-sungguh dan ikhlaslah yang diterima oleh Allah. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 27-29, yang artinya:
“Dan bacakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka berita tentang kedua anak Adam ketika keduanya berkurban. Maka diterimalah kurban dari salah satunya, sedangkan kurban dari anak yang lain tidak diterima. Maka berkatalah anak yang tak diterima kurbannya: ‘Akan kubunuh kau.’ Menjawablah saudaranya: ‘Sebenarnya Allah hanya menerima pengurbanan orang yang bertaqwa. Jika engkau mau menggerakkan tanganmu untuk membunuhku maka aku tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Aku hanya takut pada Allah, Tuhan sekalian alam. Aku hanya ingin engkau kembali dengan membawa dosaku dan dosamu dan engkau akan menjadi penghuni neraka, sebagai pembalasan bagi orang-orang yang dhalim.“
Kepekaan dan kepedulian sosial akan tumbuh dan memberi manfaat pada kehidupan manusia jika semangat berkurban dapat ditanamkan pada setiap warga masyarakat itu sendiri. Lembaga-lembaga keagamaan dalam masyarakat, seperti masjid, madrasah, organisasi sosial-keagamaan, pengajian, majelis taklim, lembaga dakwah, dan seterusnya, tidak mungkin bisa tumbuh dan berkembang jika tidak ada orang-orang yang bersedia berkorban dengan waktu, tenaga, pikiran dan hartanya untuk kemaslahatan umat yang lebih luas. Demikianlah, orang tidak mungkin bersedia mewakafkan sebagian tanah atau harta miliknya untuk kepentingan agama jika dia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, atau hanya melihat kebutuhan diri sendiri dan anak turunnya saja. Padahal agama akan berkembang menjadi anutan dan pilar tatanan sosial yang bermanfaat dan membawa kesejahteraan jika lembaga-lembaga keagamaan terus dibangun dan dikembangkan dengan kesediaan berkorban dari setiap Muslim dalam masyarakat itu. Bahkan bangsa yang besar ini pun tidak mungkin bisa tegak berdiri memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya tanpa pengorbanan jiwa raga dan harta benda para pahlawan dan pejuang pendahulu kita.
Terakhir, nasehat bijak dalam pelaksanaan ibadah kurban ini perlu kita perhatikan. Ritual kurban dalam ajaran Islam adalah sarana untuk mendekatkan diri pada Allah. Jika orang sudah berniat untuk berkurban maka ia harus memilih binatang yang terbaik, normal, besar, gemuk, dan mahal. Setelah itu berikanlah binatang kurban itu dengan ikhlas, rendah hati, penuh rasa kasih sayang. Jauhkan diri dari sikap riya’, sum’ah, dan takabbur. Jangan jadikan binatang kurban sebagai sarana untuk pamer kekayaan dan kedermawanan. Berkurbanlah dengan hati ikhlas, bukan dengan gengsi. Berkurban untuk meraih ketakwaan, bukan mengumbar kecongkaan. Daging dan darah itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi hanya ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Fauzan Saleh, Guru Besar Filsafat Agama IAIN Kediri dan Ketua PDM Kediri Jawa Timur
Baca juga: Tuntunan Iduladha di masa Covid-19: Shalat Id di Rumah dan Utamakan Sedekah