Status Hagia Sophia Memicu Ketegangan Umat Beragama

Status Hagia Sophia Memicu Ketegangan Umat Beragama

Hagia Sophia di Istanbul, Turki (Dok britannica)

Hagia Sophia merupakan bangunan suci milik umat Islam dan Kristen, yang mana keduanya harus saling menghormati dan saling memahami

Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi

Dalam sejarahnya Hagia Sophia merupakan bangunan Katedral dengan nama Megale Ekklesia yang dibangun tahun 325 M. Dan kemudian dibangun ulang sebagai Gereja Basilika pada 415 M. Namun bangunan tersebut diubah menjadi masjid sejak Istanbul ditaklukkan Ottoman Empire. Pada akhirnya, setelah keruntuhan Kesultanan Turki pada 1934 dan lahirnya Turki Modern oleh Mustafa Kemal Ataturk, bangunan tersebut diubah menjadi museum.

Seiring dengan terus bergantinya penguasa, dengan segala kepentingan politiknya, maka berganti pula fungsi Hagia Sophia. Pada Jumat, 24 Juli 2020, ribuan orang dari berbagai penjuru Turki datang ke Istanbul untuk menjadi saksi momen bersejarah shalat Jum’at pertama di Hagia Sophia, setelah tempat tersebut difungsikan kembali sebagai masjid. Pengalih fungsian Hagia Sophia sebagai masjid oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 10 Juli lalu merupakan langkah politik yang dinilai berbahaya. Turki dianggap tidak mempertimbangkan perasaan umat beragama lain selain Islam seperti umat Kristen Ortodoks yang pernah merasa memiliki Hagia Sophia sebagai tempat sucinya.

Dilansir dari kantor berita Rusia, TASS, Konstantin Kucachev, Kepala Komite Urusan Internasional Dewan Federasi Rusia mengungkapkan bahwa keputusan Turki tersebut dapat memicu respon negatif di seluruh dunia Kristen. Gereja Ortodoks Rusia menyesalkan pengalihan fungsi tersebut. Para pejabat pemerintah dan Gereja Ortodoks Rusia menganggap Hagia Sophia menpunyai nilai sakral bagi mereka.

Bagi para penganut Kristen Ortodoks, posisi Hagia Sophia sangat penting, menyangkut harkat dan martabat mereka. Rusia dianggap sebagai pelindung Kristen Ortodoks secara politik dan Yunani menjadi pusat Ortodoks secara ruhani.

Patriarkh Bartolomeus, Uskup Agung Konstantinopel serta pemimpin spiritual bagi 300 juta umat Kristen Ortodoks di dunia menyebutkan bahwa keputusan pengadilan Turki menyebabkan keretakan hingga kerusakan hubungan Timur dan Barat. Hal ini memungkinkan terjadinya disharmonisasi antara Islam dengan Kristen di masa depan.

Lina Mandoni, Menteri Kebudayaan Yunani menyampaikan, keputusan Turki tersebut merupakan provokasi negative bagi dunia beradab. Menurutnya, sikap Erdogan tersebut telah mengembalikan negaranya ke enam abad lampau. Kritik terhadap keputusan Turki juga datang dari AS, Uni Eropa, dan UNESCO. Pada umumnya mereka menyesalkan keputusan Turki dan menganggap pengalihan fungsi Hagia Sophia merusak nilai global dari monumen internasional tersebut.

Sementara itu negara-negara Arab serta yang tergabung dalam OKI pada umumnya memilih sikap netral. Hanya beberapa negara, terutama yang berseteru secara politik dengan Turki merespon negatif seperti Arab Saudi, Mesir, dan sekutu mereka di Teluk.

Walaupun Erdogan mendapat dukungan yang besar dari masyarakat muslim Turki untuk membuka Hagia Sophia sebagai masjid, sejatinya ia sedang menyalakan kembali permusuhan yang telah lama terjadi antara Islam dan Kristen dalam perang Salib.

Bagaimana pun Hagia Sophia tidak dapat dilepaskan dari sejarahnya dari era Kekaisaran Byzantium hingga saat ini. Hagia Sophia merupakan bangunan suci milik umat Islam dan Kristen, yang mana keduanya harus saling menghormati dan saling memahami. Dalam usaha menciptakan perdamaian serta mengakhiri permusuhan, sikap Turki seharusnya menunjukkan kedewasaan, yaitu dengan cara tetap menstatuskan Hagia Sophia sebagai museum. Sebagaimana UNESCO pada tahun 1985 menetapkannya sebagai situs warisan dunia. Kita seluruh umat beragama adalah saudara. Musuh umat beragama adalah setan, iblis dan seluruh pengikutnya.

Diko Ahmad Riza Primadi, reporter Suara Muhammadiyah

Baca juga: Ada Apa dengan Hagia Sophia?

Exit mobile version