Santri dan Abangan

Santri dan Abangan

Santriwati SD Muhmmadiyah Bodon sedang membaca Al-Quran (Dok Rifki)

Oleh: Abduh Hisyam
(Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kebumen)

Di Jawa dikenal tiga macam varian keberagamaan masyarakat, yaitu: abangan, santri, dan priyayi. Ketiga istilah ini sudah ada sejak lama dan bahkan istilah abangan dan santri telah ditulis dalam sebuah risalah oleh seorang peneiti Belanda pada tahun 1800-an. Di dalam risalah kuno itu disebutkan bahwa kaum santri adalah kaum putihan –mungkin karena sering mengenakan busana putih—sedangkan kaum abangan karena sering menggunakan simbol-simbol berwarna merah. Namun yang membuat istilah “abangan dan santri” terkenal dan menjadi pembicaraan dunia keilmuan adalah seorang sarjana antropologi bernama Clifford Geertz (1926-2006) yang meneliti kehidupan sosial keagamaan masyarakat Jawa dengan mengambil Mojokuto sebagai subyek penelitiannya. Hasil penelitiannya dibukukan dengan tajuk “The Religion of Java.” Walau buku itu hasil dari penelitian di tahun 50-an, namun hingga kini kategori santri-abangan tetap valid digunakan untuk membaca fenomena sosial keagamaan masyarakat Jawa.

Abangan adalah orang yang tidak menjalankan peribadatan yang diwajibkan menurut syariat seperti salat, puasa, zakat, haji. Kaum abangan ritual keagamaan berdasarkan tradisi lokal. Mereka menganggap praktek slametan sebagai ritual keagamaan. Mata pencaharian kaum abangan kebanyakan adalah bertani. Di bidang politk aspirasi kaum abangan adalah kepada PKI. Kaum santri adalah orang Islam yang menjalankan ajaran-ajaran Islam, berpegang secara murni kepada kitab suci dan sunnah Nabi. Pelbagai praktek keagamaan yang tidak berdasarkan kitab suci dan sunnah nabi manurut kaum santri adalah keliru. Kebanyakan kaum santri adalah pedagang, dan aspirasi politik mereka adalah kepada Masyumi atau NU. Kaum priyayi adalah kelompok yang dihormati di masyarakat Jawa, kebiasaan mereka adalah menghabiskan waktu dengan nembang atau menyanyikan macapat serta memelihara burung perkutut. Mereka bukan kaum yang ketat menjalankan ritual agama, dan kebanyakan adalah kaum pegawai kantor-kantor pemerintahan. Mereka berafiliasi kepada PNI.

Pada Pemilihan Umum tahun 1955, PKI memperoleh suara lebih banyak dari gabungan NU dan PNI. Ini menunjukkan bahwa kaum abangan adalah mayoritas di Mojokuto. Masyumi yang merupakan representasi santri modernis mendulang suara paling kecil.

Banyak pengeritik memandang Geertz keliru memasukkan Priyayi sebagai varian keagamaan orang Jawa, karena priyayi adalah status sosial yang tak terkait dengan praktek keagamaan. Priyayi adalah kategori duniawi. Seorang priyayi bisa pula adalah seorang santri, seperti KH Ahmad Dahlan, atau bukan santri seperti R. Tirto Adisoerjo atau Ki Hajar Dewantroro. Pula, kaum abangan yang disebut Geertz dalam The Religion of Java sesungguhnya adalah orang-orang Islam, dan praktek ritual yang namanya slametan sebagian memiliki akar dalam tradisi Islam.

Walau banyak kritik, namun kategorisasi abangan-santri banyak membantu siapa pun yang ingin meneliti masyarakat Jawa. Kategorisasi itu, walau banyak kekurangannnya, namun ketika dietapkan untuk menganalisa masyarakat lain pun tetap relevan, bahkan sangat pas. Akibatnya varian abangan-santri semakin menguat. Bahkan masyarakat Jawa sendiri menjadi lebih tahu mengenai dirinya setelah membaca karya Geertz tesebut.

Kritik yang paling mengena ditujukan kepada Geertz adalah pada saat mengatakan bahwa model kehdupan priyayi akan menjadi impian banyak generasi muda Jawa, sehingga kelak dari tiga varian masyarakat Jawa, priyayi akan mengalami pembengkakan. Geertz melupakan aspek pendidikan. Dengan pendidikan masyarakat Jawa banyak yang kemudian menjadi santri. Kaum abangan dan priyayi tidak sedikit berubah menjadi santri, dan ini adalah dampak dari pendidikan, terutama akibat kebijakan menteri pendidikan Bahder DJohan dari kabinet M. Natsir, seorang tokoh Masyumi. Kebijakannya adalah memasukkan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah yang dikelola negara.

Upacara slametan yang dulu dipandang sakral oleh kaum abangan, kini telah banyak mengalami islamisasi. Wayangan dan pertunjukan gamelan pada saat slametan kini banyak diganti dengan pembacaan Yasin dan tahlil serta ceramah keagamaan dari ustaz atau kyai, walau tidak sedikit yang diganti dengan hiburan dangdut koplo. Slametan yang tadinya adalah sarana mengikat kohesifitas sosial di mana masing-masing anggota masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain dalam laku rewang atau sinoman, kini sudah hampir lenyap, diganti dengan Event Organiser yang mengatur segalanya dari tempat, hiasan, hidangan, hiburan, hingga buah tangan. Keterlibatan seluruh anggota masyarakat dalam sebuah perhelatan yang diadakan seorang warga telah sirna. Padahal keterlibatan semua orang dalam sebuah perhelatan mencairkan sekat-sekat yang ada di antara warga desa dan menghangatkan hubungan antar mereka.

Kini Mojokuto berubah menjadi sebuah kota modern. Banyaknya kursus bahasa Inggris yang tumbuh di sana membuat banyak pendatang yang berinvestasi, dan membuat banyaknya usaha penginapan, rumah makan, café, mini market, rental komputer untuk para pelajar yang belajar bahasa Inggris. Masyarakat Jawa yang hendak mempertahankan tadisinya semisal wayangan dan slametan kini tersisih. Himpitan ekonomi menjadi alasan utama yang membuat warga Mojokuto banyak yang menjual tanahnya dan pindah ke tempat lain.

Sejak terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi no.7/PUU-XIV/2016 tentang kepercayaan lokal, masyarakat Mojokuto kini punya keberanian untuk melaksanakan praktek-praktek kejawen atau memeluk agama lokal yang dulu mereka yakini seperti Sapto Darmo, Pangestu, Subud, dan lain-lain. Tentu saja mereka adalah kaum abangan yang selama ini berusaha kuat untuk tidak terpengaruh oleh arus besar Islamisasi. Di tengah kuatnya arus modernisasi, seberapa kuat kaum abangan ini memegang teguh ajaran lama?Setelah setengah abad lebih Clifford Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa di Mojokuto, seorang peneliti muda Universitas Indonesia Amanah Nurish menapak-tilasi Geertz, dan melihat bahwa perubahan besar telah terjadi. Modernisasi, konstelasi politik, urbanisasi, dan banyaknya kaum pendatang merupakan gelombang perubahan yang mengubah warna dan corak masyarakat Mojokuto. Kelak akankah tidak ada lagi varian santri dan abangan? Akan sangat bijak jika para pembaca menengok buku karya Amanah Nurish, “Agama Jawa: Setengah Abad Pasca Clifford Geertz,” Yogyakarta: LKiS, 2019.

Exit mobile version