Revolusi adalah sesuatu yang harus dipelajari. Kepada siapa anak muda harus belajar revolusi? Kepada perdebatan para pakar? Atau Kepada hujan yang memakmurkan bumi?
Oleh: Ki H Ashad Kusuma Djaya
Anak-anak muda negeri ini sekarang sangat akrab dengan istilah revolusi. Para pakar banyak berbicara tentang pentingnya anak muda memahami revolusi. Pemerintah pun menyiapkan mereka menghadapi revolusi. Bahkan guru-guru mereka mengajarkan revolusi. Namun jangan pernah berharap anak-anak muda itu menjadi revolusioner dengan segala ajaran tentang revolusi yang mereka terima itu.
Anak-anak muda itu tak pernah diberitahu bahwa yang dikenalkan kepada mereka sebagai revolusi industri 4.0 sesungguhnya adalah revolusi instrumental. Yaitu revolusi perkakas yang meletakkan kesadaran manusia ada di bawah kungkungan mesin atau teknologi. Bahasa ”mbuletnya” wacana revolusi seperti itu meletakkan supra struktur dalam dominasi struktur. Budaya, sistem hukum, pemikiran, bahkan juga etika dan moral kemanusian, sebagai supra struktur, diproduksi sekedar untuk tujuan industri sebagai struktur.
Revolusi instrumental menghadapkan manusia dengan mesin. Pada mulanya mesin-mesin diciptakan manusia untuk membantu meringankan pekerjaan manusia. Namun lambat laun mesin-mesin itu menjadi pesaing manusia. Anak-anak muda disodori pelajaran revolusi hanya untuk berkompetisi dengan mesin. Tanpa sadar mereka kehilangan kesadaran kemanusiannya karena mengukur hidupnya sebanding dengan benda-benda bernama mesin itu.
Anak muda yang kehilangan kesadaran kemanusiannya lupa akan posisinya sebagai khalifatullah fil ’ardh. Lupa akan makna nama-nama benda yang diajarkan Allah pada Adam. Mereka tidak mampu membaca dialektika kehidupan alam. Salah satu pelajaran dialektika alam ada pada hujan sebagaimana firman Allah: ”… dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya.” (QS. Al-Jatsiyah: 5).
Belajar Kepada Hujan
Prof Dr Hamka dalam tafsir-nya tentang ayat tersebut mengatakan bahwa soal hujan yang membawa rezeki, soal hidup dan matinya bumi, artinya soal ketandusan dan kesuburan, bergantung kepada hujan atau air, soal perkisaran-perkisaran angin, atau perubahan cuaca. Alangkah besar-besar dan alangkah tinggi-tingginya soal itu. Dan untuk mengetahui dan memecahkan soal-soal itu adalah tugas akal.
Hujan mengajarkan revolusi untuk melahirkan kehidupan. Karena itu wahai kaum muda, belajarlah revolusi pada hujan! Dia adalah bukti dari kekuatan alam mengumpulkan segala angan dari lautan dan daratan. Titik-titik air mengumpul menjadi awan, pada titik jenuh lalu menjadi hujan yang menjamin berlangsungnya kehidupan.
Meski adakalanya hujan itu turun disertai badai sebagaimana suatu bentuk revolusi perang kemerdekaan yang memakan banyak korban. Tetapi ingatlah wahai kaum muda yang revolusiner, apapun bentuk hujan itu pada akhirnya yang tercipta adalah kemakmuran bumi. Demikianlah hujan mengajarkan revolusi yang menghidupkan.
Berubahnya titik air menjadi uap adalah revolusi spiritualitas. Reorientasi kejiwaan yang mengubah fakta-fakta yang dilihat menjadi spiritualitas yang menggelorakan semangat memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Di negeri ini revolusi spiritualitas kerakyatan adalah manifestasi jiwa Pancasila dari Ketuhanan Yang maha Esa hingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Revolusi Pendidikan
Mengumpulnya titik-titik air menjadi awan adalah revolusi pendidikan. Revolusi pendidikan ini dimulai dengan merubah paradigma pendidikan. Pendidikan bukan lagi dirancang untuk melahirkan tukang dan buruh. Pendidikan harus dirancang untuk melahirkan manusia-manusia yang berintegritas, dengan ciri: jujur, memegang amanah, selalu berpikir positif, pantang menyerah, dan mampu berkolaborasi atau gotong royong.
Ikhtiar mencapai kondensasi adalah revolusi teknologi. Kondensasi dari pendidikan adalah mampu melahirkan revolusi teknologi yang berbasis pada penguatan kemampuan rakyat. Jangan sampai pengembangan teknologi hanya akan menjadi monopoli atau penguatan pemodal besar untuk mengeruk keuntungan. Salah satu wujudnya adalah mendorong penelitian teknologi-teknologi terapan untuk rakyat terutama dengan memikirkan energi alternatif yang mudah diakses, dipraktikkan, dan serta dikembangkan oleh rakyat.
Kemakmuran Rakyat
Hujan yang memakmurkan adalah adalah revolusi pengelolaan sumber daya alam. Gagasan utamanya sesuai semangat “….Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Revolusi ini dimulai dengan pembuatan perangkat perundangan yang mengembalikan seluruh harta kekayaan alam untuk sepenuhnya digunakan bagi kemakmuran rakyat. Revolusi ini pastilah akan mendapat penentangan dari para komparador pengkhianat bangsa. Tetapi rakyat yang sadar akan wujud penjajahan baru akan mampu menyingkirkan para pengkhianat itu dan dengan kekuatan gotong royong akan mampu mendatangkan kemakmuran.
Ki H Ashad Kusuma Djaya, Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta