Ada pepatah jawa, kebo nusu gudel. Kerbau menyusu pada anak kerbau. Orang tua belajar pada anak. Ini menyiratkan tidak selamanya orang tua itu lebih tahu segala hal. Mungkin ada yang sesuatu luput dimengerti oleh orang tua. Namun yang luput itu lebih dipahami oleh anak.
Oleh: Musthofa W Hasyim
Menurut cara pandang lama, pendidikan itu prosesnya searah. Dari yang lebih tua ke yang lebih muda. Jika terjadi proses sebaliknya distigma sebagai sesuatu yang tidak normal. Orang Jawa dulu bilang; kebo nusu gudel atau gudel menyusui kebo. Tidak wajar dan tidak elok. Tapi ada hal penting yang dapat mematahkan logika dan cara pandang pendidikan model lama itu.
Pertama, pendidikan itu berlangsung dan berproses seumur hidup. Artinya berproses dalam waktu yang cukup lama. Kedua pendidikan itu bukan sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, bahkan progresif. Ketiga proses pendidikan yang dinamis dan progresif itu tidak hanya berlangsung logis, tetapi juga berlangsung secara dialektis dan transformatif.
Selama proses menjalani hidup itu semua orang yang ingin maju dan berubah melakukan upaya (1) peneguhan dan pencerahan nilai-nilai,(2) mengumpulkan ilmu dan pengetahuan khususnya ilmu dan pengetahuan yang strategis bagi masa depannya, (3) mengasah keterampilan hidup, khususnya keterampilan menyelesaikan masalah dalam hidupnya dengan berbasis ilmu, pengetahuan, dan teknologi yang relevan dengan masalah yang dihadapi, (4) menabung dan mengakumulasi serta memahami dan memaknai pengalaman-pengalaman hidupnya (5) meninggalkan jejak dan sengaja mewariskan jejak hidupnya berupa ekspresi spiritual (jejak keberagamaannya), ekspresi intelektual (jejak keilmuan dan keahliannya), ekspresi kemanusiaan (jejak amal sosialnya) dan ekspresi estetik ( jejak kecerdasan budayanya).
Dengan memahami spektrum permasalahan pendidikan yang seluas itu, dengan mekanisme dan metabolisme nilai, ilmu, ketrampilan yang berlangsung secara psikologis, sosiologis, antropologis, dan spiritual ketika pelaku pendidikan berinteraksi, berinterelaasi dan bernegosiasi serta bertransaksi antar sesamanya, maka proses pertukaran tempat badan posisi antara si pendidik dengan si terdidik menjadi mungkin terjadi.
Yang terjadi bukan sekadar guru atau di pendidik memberi pelajaran dan pendidikan kepada murid, tetapi sangat mungkin yang terjadi adalah belajar bersama, saling mempelajari dan saling memberi pelajaran dan pendidikan. Pendidikan bersifat partisipatoris ini yang memungkinkan dunia pendidikan akan terus dinamis, progresif, dan bermakna bagi masa depan masyarakat dan bagi manusia pada umumnya.
Hampir tidak ada lagi dominasi (dalam arti negatif) guru atau pendidik atas murid karena pendidikan berlangsung secara terbuka dan transparan. Posisi guru, menurut bahasa LSM tempo dulu, adalah sebagai fasilitator, dinamisator, inspirator sekaligus motivator bagi murid-muridnya. Dalam praktek, bisa jadi sang murid berubah posisi dan fungsi sebagai inspirator dan motivator bagi guru-gurunya.
Gambaran proses pendidikan yang seperti itu, dalam kasus yang amat mikro dan sederhana pernah saya alami di masa muda. Pertama, ketika Ayah saya mempraktekkan pendidikan ala militer (menekankan disiplin kaku), dicampur pendidikan model pesantren (menekankan kebebasan dalam mengakumulasi ilmu dan pengetahuan dipandu kitab kuning) yang membuat saya dan saudara saya menderita kalau pas ada di dalam rumah. Kesadaran psikologis, sosiologis, apalagi historis antropologis sama sekali tidak dijadikan pertimbangan oleh Ayah dalam mendidik anak anaknya.
Untung saya disekolahkan di sekolah guru, guru agama lagi, yang khazanah keilmuan sangat kaya dan menggairahkan, dengan risiko begitu banyak mata pelajaran yang harus dipelajari. Saya dikenalkan dan mengenal ilmu jiwa umum, ilmu jiwa perkembangan, ilmu jiwa pendidikan dalam praktek (didaktik metodik), sejarah pendidikan Nusantara dan sejarah pendidikan dunia.
Juga ditambah ilmu sejarah nasional, sejarah dunia, sosiologi, antropologi, ekonomi, perbandingan agama, seabrek ilmu alat dalam ilmu agama ( bahasa Arab dari khat, imla’, nahwu, shorof, mahfudlot sampai balaghoh.
Ilmu fiqih sampai Ushul fiqh, terjemahan, ilmu tafsir. Ilmu Kalam, ilmu akhlak. Hadits dan musthalah hadits misalnya), untuk melengkapi ketrampilan mengajar dikenalkan ilmu musik atau teori musik dengan praktek bermusik, ketrampilan menggambar dan teori melukis, bahasa, sastra, dan praktek membuat karya sastra, ditambah olahraga, Pramuka dan keorganisasian pelajar.
Dengan bekal ilmu guru agama sebanyak itu saya menjadi punya keberanian dan keinginan untuk memberi tahu bahwa proses pendidikan yang diberikan Ayah kepada anak anaknya perlu direvisi.
Tentu saya punya siasat jitu untuk ini. Sebagai anak saya ingin ‘mendidik’ orang tua agar mau mengubah cara mendidik anak anaknya. Setelah saya berfikir agak lama saya menemukan pintu perubahan atau potensi perubahan itu pada diri Ayah. Yaitu kesukaan Ayah membaca. Membaca buku dan koran. Menurut cerita paman saya, sehabis mengambil uang pensiun tentaranya, Ayah sering menyuruh paman membeli buku tertentu di kota, di kota Yogyakarta.
Buku seperti itu, di kota kecamatan seperti Kotagede tidak ada. Saya ketularan sifat Ayah ini. Saya suka menabung, mengorbankan uang jajan untuk membeli buku. Jadi koleksi buku tentang pendidikan dan ilmu jiwa saya lumayan banyak.
Suatu malam saya sengaja belajar dan membaca buku-buku tentang pendidikan dan ilmu jiwa ini di ruang tamu. Ketika malam semakin malam saya mengantuk dan sengaja pura-pura lupa membawa buku-buku itu ke dalam kamar tidur. Lewat tengah malam saya terbangun, mengintip ruang tamu, kulihat ayah membaca buku-buku itu.
Biasanya Ayah kalau malam kan mengaji atau membaca kitab kuning. Saya merasa agak berdosa juga karena bersiasat agar Ayah membaca buku atau kitab putih tentang pendidikan atau ilmu jiwa, dan ayah lupa mengaji dan membaca kitab kuning. Ketika hal ini berkali-kali saya lakukan, akhirnya Ayah tahu kalau aku meninggalkan buku ini di ruang tamu agar dia baca. Tetapi Ayah diam saja dan tidak menegur saya.
Rupanya Ayah bisa menikmati bacaan segar tentang pendidikan dan ilmu jiwa. Implikasinya, dalam mendidik adik-adik saya Ayah berubah. Ayah menjadi lebih ramah dan lembut. Ketika mengajari adik saya membaca Al Quran, Ayah menyembunyikan tongkat rotan yang dulu sering untuk menggebrak meja kalau bacaan saya ngaco, kadang dulu rotan itu mampir di kepala bagian terkeras.
Selamatlah adik saya dari pendidikan gaya militer. Ayah diam diam tidak malu belajar tentang ilmu pendidikan dan ilmu jiwa kepada anaknya, walau secara tidak langsung, lewat membaca buku anaknya.
Siasat semacam ini pernah juga saya terapkanp di kelas lima atau enam sekolah guru agama saya. Dan siasat ini saya terapkan kepada guru bahasa Indonesia yang juga mengajar sastra. Karena saya waktu itu dikenal aktif dan masuk dalam komunitas sastra Malioboro itu, maka pak Guru itu memandang saya punya kompetensi dalam menjelaskan soal perkembangan sastra Indonesia mutakhir.
Apalagi saya di Shopping Center sempat membeli diikat buku sastra Angkatan 45 dan Angkatan 66. Buku itu saya perlihatkan kepada pak Guru. Pak Guru memeriksa buku itu beberapa hari, lalu buku itu dikembalikan, diberi tanda.”Mus, yang saya beri tanda ini tolong ditulis di papan tulis agar dicatat teman-temanmu.” “Siap, Pak”. Saya pun membersihkan papan tulis, mengambil kapur dan menulis teks yang diberi tanda itu.
Teman-teman itu menyalin. Kulirik, Pak Guru itu juga menyalin apa yang saya tulis di papan tulis. Saya pun bisa bergaya menjadi guru sastra, dengan murid utama guru bahasa dan sastra saya itu sendiri. Mungkin sekarang tidak terbayangkan kalau di tahun 1970an sudah ada Guru yang ‘liberal’ seperti beliau.
Beliau ini yang kemudian membolehkan saya pentas membaca puisi WS Rendra berjudul Khotbah di acara hari besar Islam, dan membolehkan grup teater Pemuda Muhammdiyah mementaskan drama humor kolosal berjudul Jaka Tarub karya Akhudiat saat sekolah mengadakan hari besar keagamaan yang lain. Bersedia mengenalkan karya sastra dan karya teater mutakhir dengan cara ‘liberal” seperti itu hanya bisa dilakukan oleh seorang guru yang memiliki kecerdasan budaya dan mengalami pencerahan budaya
Jadi, intinya, banyak yang mungkin dilakukan di dunia pendidikan kita. Apalagi, nanti setelah Coronavirus pergi, dan kita sungguh akan memasuki zaman baru. Termasuk zaman baru dalam pendidikan kita.
Mustofa W Hasyim, Budayawan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta