Islamofobia Kesiangan
Oleh: Muh. Akmal Ahsan
Catatan ini dituliskan pasca beberapa waktu lalu, Malmo, Ibu Kota Swedia berkecamuk, kerusuhan demonstran akibat kemarahan atas pembakaran al-Qur’an. Ummat muslim, yang sebagiannya merupakan imigran turut pula mengamuk. Mereka membakar ban, melempari polisi, pula bentuk kekerasan lainnya. Sebetulnya, tidak banyak yang menyangka bahwa benturan ini akan pecah, sebab Swedia, seperti yang ditunjukkannnya dalam beberapa dekade sebelumnnya telah dengan lapang membuka diri untuk membantu imigran muslim dari luar negara tersebut.
Tak jauh warna dengan konflik sentimentil di Swedia, Oslo Norwegia juga bergolak. Sebabnya hampir sama, penisataan pada al-Quran. Pada kasus ini, dilaporkan seorang demonstaran perempuan meludahi, pula merobek al-Qur’an. Publik mengutuk kejadian ini, jamak pihak melihat bahwa kejadian ini adalah buah pahit dari Islamofobia yang telah ditanam beberawa warsa terakhir.
Duduk Perkara Islamofobia
Lazimnya, dalam banyak literatur kontemporer, pangkal dari kemunculan Islamofobia adalah tragedi world trade center (WTC) pada 11 September 2011 silam. Sejak saat itu, New York telah menjadi suluh api, yang menjalar, menebar. Eropa jua menyambut gagasan itu, lalu menyeruaklah di hampir segala penjuru daerah di sana: Inggris, Belanda, Polandia, Swedia, Polandia, dan negeri-negeri lainnya.
Sebetulnya sebagai sebuah fenomena, ketakutan berlebihan atas menyeruaknya Islam di peradaban bukan lagi kejadian faktual baru. Sebelumnya, para narator yang menggiring narasi kebencian pada Islam dikenal sebagai orientalis. Islamofobia sebagai sebuah frasa baru kemudian diperkenalkan di dasawarsa terakhir dan lalu kemudian menjadi kultur bahasa di belantika politik AS, kemudian menebar dinyaris segala penjuru dunia.
Dalam College Dictionary (2001), Phobia dimaknai sebagai sebuah perasaan takut yang tidak berdasar, ketakutan yang tidak masuk akal atas sebuah obyek, aktivitas dan atau situasi khusus yang mendorong seseorang untuk keluar atau menjauh dari situasi itu. Dapat ditebak pemaknaannya dalam frasa “islamofobia”, paling tidak untuk mengatakan bahwa Islamofobia ialah rasa takut yang berlebihan, juga tidak masuk akal pada Islam dan muslim.
Disulut perbedaan teologis, konflik politik, ekonomi dan sosial budaya, Islamofobia dikemas poltikus, ekonom, hingga masyarakat biasa di akar rumput. Sulit untuk mengatakan ahwa fenomena ini adalah fakta yang begitu saja terjadi, sebaliknya patut diyakini bahwa fenomena yang menggejala kuat ini adalah produksi yang disengaja dan tetap akan terus terjadi.
Bagaimana Islamofobia berjalan? Paling tidak perjalannya diamati dalam dua laku/sikap: pertama, melalui jalur insititusional dimana ia diproduksi oleh struktur kelembagaan, bisa mungkin melalui partai politik, lembaga agama, dan bahkan lembaga kepolisian sekalipun. Atas dalih keamanan nasional maupun internasional, islam dan Muslim tertuduh sebagai perusuh, penebar teror, Nazi baru, komunis kontemporer, dan opini semacam yang dilekat-letakkan di dalam tubuh ummat Islam.
Kedua, Islamofobia bekerja masif di level individual. Wujudnya ialah perlakuan diskriminatif terhadap seorang muslim, cap radikal-esktrem, intoleran, pmbunh pula lain sebagainya. Tak tanggung-tanggung, diskriminasi individu muslim sering jua mernagseng dalam dunia kerja, dialektika politik hingga diskusi antar tetangga.
Mengapa Isalomofobia demikian licin menggelinding di permukaan? Imam Shamsi ali menjelaskannya dalam empat faktor: hegemoni media yang demikian marak, politisasi agama yang terus diproduksi para politisi pula partai politik, ketidaktahuan publik atas konsepsi keislaman yang hakiki, dan upaya global untuk mengkerdilkan Islam yang secara faktual memang sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan di kancah global.
Produksi kebencian pada Islam terus dilahirkan, oleh para produsen dan naratornya, Islam ditempatkan sebagai ideologi dan agama yang inferior, yang kemudian mengancam ideologi dominan, pula dalam komunitas dominan. Di negara seperti Polandia, kebencian terhadap Islam yang minoritas acapkali timbul sebagai upaya mempertahankan agama yang mayoritas; mereka terbiasa dalam suasana kultur keagamaan yang homogen, sehingga sangat rumit untuk membuka diri terhadap ideologi dan agama yang lain.
Islamofobia Kesiangan
Sepertinya ada banyak dari tokoh dunia, pun isntitusi kelembagaan di dunia, Eropa khususnya yang telat bangun demi melihat dunia lebih pagi, cerah, benderang. Akibatnya, pernyataan-pernyataan dan sikap yang diberikan acapkali adalah ulasan yang sudah basi juga sebetul-betulnya tidak segar, apalagi dalam dunia yang serba terbuka, pula demokrasi yang dijunjung tinggi di era modern dewasa ini.
Seharusnya dunia global yang memubuka peluang interaksi terbuka seidealnya juga membuka keran pemikiran pada realitas keberadaan Islam dan Muslim. Sikap tertutup pada ajaran Islam juga eksistensi muslim justru merupakan ciri dari kegagalan kita untuk membangun peradaban dunia yang adil, berakal budi, dan lepas dari diskriminasi.
Jika akal kemudian menjadi lokomotif utama peradaban kini, seidealnya pengetahuan menjadi pangkal dari pemahaman. Maknanya ialah bawah semakin seseorang tahu sesuatu, kian terbuka pula peluang untuk memahami orang/pihak lain, demikian maka yang tampil adalah sikap toleransi dan interaksi harmonis.
Maka, segala pihak dan seluruh elemen sosial di dunia ini mesti bangun dari tidur yang terlampau nyenyak, mencuci muka, menenangkan pikiran, untuk dikemudian waku membuka mata secara benderang demi melihat Islam sebagai eksistensi yang nyata, komunitas yang harus diakui keberedaannya, juga dihargai perannnya. Sikap itu bukan hanya untuk para politisi dan lembaga politik dunia, melainkan hingga akar rumput, masyarakat bawah yang sejauh ini mengalami hegemoni pemikiran dan penggiringan opini yang begitu marak.
Islamofobia adalah hegemoni kesiangan di abad modern, dan membangunkan publik dari tidur yang terlampau nenyak ini tidak lain dengan tetap terus menghadirkan Islam sebagai kekuatan sosial yang damai, adil dan rahmat bagi segalanya.