Oleh: Muh. Akmal Ahsan
Pada 24 Juli silam, sorak sorai mendengung di nyaris segala penjuru dunia, lebih khusus pada kaum muslim yang konon sedang merindukan kejayaan. Perayaan itu berpusat di Turki, di Istanbul khususnya. Negara yang secara geografis menjadi persilangan dua benua: Eropa dan Asia. Sontak perayaan ini turut jua menyorot tokoh utamanya, siapa lagi jika bukan Seyyed Thoyib Erdogan, presiden Republik Turki. Pada saat itu, Hagia sophia yang semula Museum kini dialihfungsikan sebagai masjid kembali, selepas 86 tahun menjadi museum. Yang melekat dalam sebagian ummat Islam adalah Erdogan ialah Muhammad al-Fatih yang baru.
Bagi seorang yang dahaga, kembalinya Hagia Sophia seperti air yang membatalkan kehausan. Tapi apakah memang demikian, apakah tanda dari kemenangan adalah penguasaan atas bangunan? Haghia Sophia dirayakan sebagai kemenangan, kejayaan, kebangkitan. Kejadian yang diartikulasikan dalam pekik semangat, atau jua tangis haru. Tapi ummat tidak boleh lupa, kejayaan tidak semata-mata penguasaan atas bangunan, tapi pendirian Islam dalam wujud pemikiran, pemanusiaan, dan pembebasan.
Dalam catatan Facebook saya beberapa waktu silam, saya tuliskan : “Tetapi setidaknya perayaan ini membuka kembali tabir kita; kita adalah ummat yang latah, kagetan, kampungan dan mudah kagum pada simbol keagamaan. Dan sering lupa pada pemaknaan”. Saya ingin mempertanggungjawabkan argumentasi itu, untuk mengurai benang kusut masalah kita dewasa ini, bahwa sebetulnya kita tidak pernah benar-benar tahu tentang apa yang dikata kemajuan dan apa jua yang disebut kemunduran. Satu-satunya yang kita mau pahami ialah bahwa Hagia Sophia telah kembali, dan kita telah jaya.
Demi itu, catatan ini adalah ulasan tentang apa yang disebut Islam berkemunduran, sebagai evaluasi atas pemikiran kita tentang dogma kemunduran Islam. Saampai saat catatan ini saya tuliskan, saya tak pernah hanyut dalam riak Hagia Sophia itu.
Islam Berkemunduran
Kita tidak pernah benar-benar tahu tentang apa yang disebut Islam berkemajuan sampai kita paham tentang apa jua yang dikata Islam berkemunduran. Apa artinya? Permulaan dari sebuah perbaikan (jika rusak) adalah dengan menguliti masalah yang menggerogoti di dalam. Mengapa Islam mengalami kemunduran?, itu adalah pertanyaan kritis yang evauluatif.
Begini, Azyumardi Azra dalam sebuah kesempatan wawancara menjelaskan sebab-akibat kemunduran Islam: pertama menurutnya, kemunduran Islam adalah akibat dari konflik politik yang terus menerus terjadi diantara kaum muslimin, hal demikian berakibat pada goyahnya stabilitas kepemimpinan. Demikian itu pula menjadikan tubuh Islam mengalami krisis multidimensi, krisis politik, ekonomi, pula ilmu. Kedua, meningkatnya sektarianisme, fanatisme Mazhab yang kemudian membuat para intelektual dan ulama dalam Islam justru lebih sibuk pada konflik internal ketimbang melakukan gerakan gerakan produktif, ketiga, diharamkannya berpikir rasional, filosofis sebab dianggap mereka telah mengenyampingkan ayat al-Qur’an.
Lantas sejak kejatuhan Baghdad sampai kita masuk pada millenium abad 21, apakah segala soal yang memoroti dari dalam itu telah dapat usai dan kita kembali pada islam yang bugar?, saya sendiri beranggapan bahwa masalah belum sepenuhnya terselesaikan, meski telah banyak upaya yang dilakukan oleh ummat. Pertama, dalam soal politik, masalah itu menyeruak-meretas dari tokoh pemimpin dunia muslim, pula partai-partai Islam yang sedang menggengam kekuasaan dibanyak wilayah. Demi itu, agat tepat arah pandang kita menuju Irak atau Suriah, konflik politik negara “Islam” yang justru membatalkan cita-cita kemajuan Islam, sebaliknya justru kian memperjelas belenggu langkah untuk menapaki dunia yang lebih jauh. Jangan tanya soal Indonesia. Di negara ini, agama masih menjadi barang paling meriah untuk dijual dipasaran politik, apalagi dalam pesta-pesta pemilihan.
Kedua, sektarianisme dan fanatisme mazhab tak kunjung pula reda. Negeri-negeri di timur tengah lagi-lagi menjadi sorotan soal itu. Sektarianisme agama telah pula beranak-pinak menjadi sektarianisme sosial, budaya dan politik. Konflik syiah-sunni untuk diskusi itu hingga kini masih menjadi materi yang tidak terbaikan. Sepertinya, ummat Islam masih dilanda kefanatikan, yang memanfisetasi dalam rupa truth claim (klaim kebenaran)dan pula salvation claim (klaim keselamatan). Ujung-ujungnya adalah tudingan bahwa kelompok lain ialah faksi yang salah, tidak benar, pula menyesatkan.
Ketiga, penggunaan akal demi menafsirkan dunia sepertinya masih menjadi tugas rumah dalam tubuh ummat. Ada konflik yang terus-menerus dirawat oleh ummat, perawatnya banyak berasal dari ulama yang gila pengakuan, ditambah nihil kerangka berpikirnya. Akibatnya, akal dikerdilkan, lalu dunia melulu dilihat dari tafsir tekstual al-Qur’an, kehilangan upaya kontekstualisasi dengan era kekinian, kedisinian. Kitab ditempatkan berjarak dari realitas, maka seperti tak terpakai untuk mengubah dunia.
Bila hendak mengamati lebih cermat dan meneliti lebih disiplin, masih banyak hal yang mesti dilakukan demi cita-cita kemajuan Islam. Mari mulai dengan tidak berlebihan merayakan Haghia Sophia itu. Ini tahun 2020, dan bukan 567 tahun yang lalu, tahun 1945, saat pasukan Al-Fatih benar menaklukkan konstantinopel. Di negara modern, penguasaan pada teknologi dan informasi, pula materialisasi karya kemanusiaan jauh lebih berharga daripada “menyembah” bangunan. Saya menduga, perayaan berlebihan itu justru pula ciri kemunduran kita.
Apa yang dapat kita lakukan untuk meraih cita-cita kemajuan?, mari belajar dari inti ajaran Muhammadiyah dan bagaimana perannya di Indonesia pula kancah global saat ini. Integrasi iman, ilmu dan amal, demikian Muhammadiyah menjalankya. Menyatukan ketiga konsep itu sepertinya mudah diucapkan, tapi tidak banyak sebetulnya gerakan dan atau organisasi yang mampu mewujudkannya. Tapi kita memang bisa memulai dari diri kita sendiri. Penghayatan atas keimanan nilai ajaran Islam, pengembangan pengetahuan, materialisasi karya, itulah dasar bagi orientai kemajuan Islam di masa datang.
Muh. Akmal Ahsan, Mahasiswa PAI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.