Oleh: Ki H. Ashad Kusuma Djaya
Salah satu ciri orang bertakwa yang dianugerahi ampunan Allah dan surga yang lebih luas dari langit dan bumi sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an adalah orang yang berinfak di kala lapang maupun sempit. Itu artinya, berinfaq itu tidak menunggu lapang. Dalam kondisi sempit pun orang yang bertakwa itu tetap juga harus berinfaq.
Dengan demikian pada masa Pandemi seperti sekarang ini orang yang bertakwa tetap harus berinfaq. Masa Pandemi ini secara ekonomi menujukkan kondisi yang sempit dengan munculnya tanda-tanda resesi. Ciri umumnya adalah pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi ekonomi melahirkan lingkaran kesempitan hidup masyarakat. Salah satu dampak dari resesi biasanya adalah munculnya pengangguran yang tersebar luas. Meluasnya pengangguran ini tentu mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang artinya konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa pun menjadi berkurang. Akibatnya produksi maupun jasa tak terserap pasar maka bisnis bisa bangkrut. Bisnis yang bangkrut kembali melahirkan pengangguran dan demikian lahirlah lingkaran kesempitan.
Lingkaran kesempitan yang menyertai resesi harus dipotong. Jika lingkaran kesempitan dibiarkan maka akan berujung pada krisis dan memberi jalan tumbuhnya kriminalitas. Demi untuk menyambung hidup maka orang-orang harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang jika tak bisa dipenuhi dengan cara yang legal maka akan melakukan dengan cara ilegal. Cara-cara ilegal itulah yang kemudian menumbuhkan kriminalitas.
Dalam kesempitan hidup akibat resesi mereka-mereka yang tak lagi punya uang untuk konsumsi—terutama konsumsi barang-barang kebutuhan pokok—harus dibantu secara tunai. Tapi bantuan tunai itu adalah tindakan darurat jangka pendek. Bantuan langsung tersebut kemudian harus diikuti dengan kebijakan penciptaan lapangan kerja baru seperti halnya program padat karya dan program peningkatan daya beli masyarakat lainnya.
Dalam masa kesempitan ekonomi ini negara diharapkan mempercepat realisasi pembelanjaan dengan cermat. Percepatan belanja sangat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah yang dilakukan secara cermat akan bisa menjadi pemicu putusnya lingkaran kesempitan dengan tumbuhnya produktifitas di masyarakat.
Gerakan infaq di masyarakat dalam masa sempit seperti sekarang ini juga sangat diharapkan untuk bisa menormalkan kembali roda perekonomian dan mencegah tumbuhnya kriminalitas. Mereka-mereka yang sebelumnya telah menabung sebagai kekayaan pribadi saatnya mengeluarkan tabungannya untuk membantu orang-orang di sekitarnya agar tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang legal.
Infaq di dalam ajaran Islam adalah yang amal salih yang sangat penting. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menunjukkan pentingnya infaq dan demikian pula dalam hadit-hadits Rasulullah SAW. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim disebutkan ada malaikat yang senantiasa berdoa setiap pagi dan sore: “Ya Allah SWT berilah orang yang berinfaq, gantinya. Dan berkata yang lain: “Ya Allah jadikan orang yang menahan infaq, kehancuran”.
Kata infaq berasal dari kata anfaqa-yunfaqu yang artinya membelanjakan atau membiayai. Kata anfaqa sendiri merupakan kata bentukan; asalnya nafaqa-yanfuqu-nafaq(an) yang yang artinya nafada (habis), faniya (hilang/lenyap), berkurang, qalla (sedikit), dzahaba (pergi), kharaja (keluar). Dengan demikian mengutip Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal maka kata al-infaaq secara bahasa bisa berarti infaad (menghabiskan), ifnaa’ (pelenyapan/pemunahan), taqlil (pengurangan), idzhaab (menyingkirkan) atau ikhraaj (pengeluaran).
Pengertian di atas mengantarkan pada pemahaman bahwa syarat infaq adalah adanya perpindahan kepemilikan harta atau istilahnya adalah pembelanjaaan harta. Harta yang dibelanjakan adalah harta yang baik, bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan infaq seperti halnya dituntunkan Allah dalam Qur ‘an Surah al-Baqarah ayat 267. Tujuannya adalah untuk memberi manfaat dengan harta itu bukan justru untuk hal maksiat atau mendatangkan madharat.
Syariah telah memberikan panduan kepada kita dalam berinfaq atau membelanjakan harta. Allah dalam banyak ayat dan Rasul SAW dalam banyak hadis telah memerintahkan kita agar menginfaqkan (membelanjakan) harta yang kita miliki dalam bentuk zakat dan shodaqah. Namun demikian Allah juga memerintahkan agar seseorang membelanjakan harta untuk dirinya sendiri seperti dalam at-Taghabun ayat16 serta untuk menafkahi istri dan keluarga menurut kemampuannya seperti dalam ath-Thalaq ayat 7.
Dalam kajian sosial sekarang ini panduan-panduan di atas memberi pengertian bahwa membelanjakan harta untuk memberi manfaat itu bisa berujud karitas (carity) maupun konsumsi. Karitas adalah bantuan-bantuan untuk meringankan beban hidup mereka yang kekurangan. Sedang konsumsi adalah memanfaatkan harta untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga.
Penjelasan dalam al-Qur’an bagaimana tatacara membelanjakan harta bisa kita temukan pada karakter ’Ibaadurrahmaan, sebagaimana firman Allah SWT: “Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak israaf (foya-foya) dan tidak (pula) iqtaar (kikir); adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”(QS al-Furqan [25]: 67).
Selain itu Allah SWT juga berfirman: “Berikanlah kepada keluarga-keluarga dekat haknya, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS al-Isra’ [17]: 26).
Oleh karena itu secara umum ada dua norma dasar dalam konsumsi, yaitu tidak boros dan berimplikasi pada ketahanan masyarakat. Tidak boros itu artinya apa yang dibeli benar-benar untuk hal yang manfaat. Berimplikasi pada ketahanan masyarakat artinya mendukung sistem sosial yang mampu mengatasi problematika sosial mendasar disekitarnya.
Belanja yang baik harus benar-benar untuk hal yang manfaat, bukan untuk memenuhi hasrat gaya hidup apalagi yang maksiat. Sekarang ini banyak orang belanja karena godaan iklan dan godaan diskon, padahal yang dibeli itu sesungguhnya tak banyak bermanfaat untuk hidupnya. Seseorang bisa belanja berkali-kali untuk barang dengan nilai guna yang sama hanya karena mengikuti trend mode yang diiklankan.
Belanja yang baik juga harus mendukung sistem sosial yang mampu mengatasi problematika sosial mendasar disekitarnya. Problematika sosial yang mendasar itu seperti misalnya kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Jangan sampai kebiasaan belanja kita justru menjadi penyebab ketimpangan karena melanggar larangan Allah dalam al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 7 agar “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas ibnu Malik ra yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari Bani Tamim datang kepada Rasulullah SAW, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah orang yang berharta banyak, beristri dan beranak serta mempunyai pelayan, maka berilah saya petunjuk bagaimana cara yang seharusnya dalam memberi nafkah.”
Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kamu keluarkan zakat harta bendamu bila telah wajib zakat karena sesungguhnya zakat menyucikan hartamu dan dirimu; lalu berilah kaum kerabatmu, dan jangan lupa akan hak orang yang meminta, tetangga, dan orang miskin.”
Pesan Rasulullah di atas salah satu point-nya adalah bahwa dalam harta kita ada hak tetangga. Hal ini menjadi terkait dengan norma konsumsi yang harus berimplikasi pada ketahanan masyarakat. Dalam konteks sekarang salah satu bentuk belanja yang berimplikasi pada ketahanan masyarakat adalah sebagaimana ada pada ajakan “Gerakan Belanja di Warung Tetangga” untuk mengutamakan belanja di warung tetangga sendiri.
Gerakan belanja di warung tetangga dilakukan dengan cara membeli kebutuhan sehari-hari di warung tetangga kita. Juga dengan tidak membeli ke tempat lain selama di warung tetangga kita ada dengan harga yang wajar. Mengutamakan belanja di warung tetangga adalah bagian dari melaksanakan pesan Rasulullah untuk memuliakan tetangga. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya”.
Adapun yang disebut warung kini tak selalu berarti bangunan yang memajang barang-barang dagangan. Sekarang ini pajangan barang dagangan tetangga-tetanga kita bisa muncul melalui grup-grup media sosial. Warung-warung online itu tumbuh melengkapi interaksi ekonomi offline. Dengan demikian ajakan “Gerakan Belanja di Warung Tetangga” itu juga berlaku dalam transaksi ekonomi secara online maupun offline antar sesama warga.
Jika warung online maupun offline tetangga kita hidup maka ketahanan masyarakat di sekitar kita ikut semakin menguat. Keuntungan pada warung tetangga kita nantinya juga akan tersalur untuk iuran di lingkungan kita, infak ke masjid kita, untuk “sambatan” sesama warga kampung kita, dan bentuk interaksi sosial lainnya. Maka jika warung tetangga sedikit lebih mahal niatkan saja itu sebagai infaq untuk membangun ketahanan bersama.