Judul : Pemikiran Usul Fikih Al-Gazzali (450-505/1058-1111)
Penulis : Syamsul Anwar
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, 2015
Tebal & ukuran : vii+328 hlm & 15,5 x 23 cm
Selalu haus untuk mengetahui hakikat kebenaran segala sesuatu. Saat itu, klaim kebenaran dikuasai oleh para teolog, kaum batiniah, para filosof, dan kaum sufi. Dia mengkaji kebenaran menurut empat kelompok yang saling berseteru tersebut. Sang hujjatul Islam ini cukup berjasa dalam merumuskan ilmu kalam dan mantiq yang membentengi agama dari pengaruh filsafat Aristotelian yang tidak mengakui adanya Tuhan. Al-Gazzali mengkritik pemikiran Ibnu Rusydi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina yang dinilai terlalu jauh mengadopsi filsafat (sains) Yunani. Begitulah Imam Al-Gazzali sebagai ulama Asy’ariyah, teolog, filosof, fakih, sufi, ahli politik yang pemikirannya terus dikaji sampai hari ini.
Buku yang ditulis Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini mengkaji aspek yang belum banyak diungkap tentang Al-Gazzali, yaitu usul fikih. Terdapat empat tema pokok kajian usul fikih menurut Al-Gazzali: hukum, sumber hukum, metode penemuan hukum, dan pelaku penemuan hukum atau mujtahid dan aktivitas ijtihad (hlm 116). Al-Gazzali memiliki perhatian pada upaya memadukan penalaran hukum Islam antara sistem bayani yang berangkat dari teks wahyu dan sistem burhani yang berlandaskan nalar independen manusia. Ia menjembatani antara sistem pengetahuan bayani dan burhani, mengintegrasikan antara tasawuf (yang berorientasi irfani) dan fikih.
Penggunaan ilmu logika dalam teori induksi kajian hukum Islam muncul pertama kali dalam karya Al-Gazzali, yang disempurnakan oleh ulama setelahnya. Al-Gazzali juga berperan dalam introduksi maqasid asy-syari’ah, memadukan wahyu dan akal (yang meliputi rasio dan pengalaman empiris) melalui penciptaan teori tujuan hukum (hlm 274). Bahwa suatu hukum itu mengandung maslahat, dan kemaslahatan itu harus selaras dengan ketentuan umum syariah. Teori tujuan hukum ini memberi landasan bagi pengembangan metode penemuan hukum dan metode penelitian hukum Islam.
Struktur jiwa manusia terdiri dari: akal teoritis dan akal praktis, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang berbeda. Ilmu hukum dan ilmu etika berada di wilayah pengetahuan praktis. Dalam pengetahuan praktis ini, akal dapat mengetahui nilai-nilai universal, seperti jujur itu baik dan dusta itu buruk. Pengetahuan universal ini membutuhkan perwujudan aktual dalam bentuk perilaku partikular agar nilai tersebut bermakna. Untuk itu, diperlukan wahyu guna memberi perincian terhadap perwujudan tingkah laku yang berangkat dari nilai. Wahyu berfungsi memberi konfirmasi terhadap penemuan nilai universal oleh akal dan memberi informasi mengenai perkecualian yang tidak ditemukan oleh akal (hlm 287-288).
Buku ini juga membahas teori otentifikasi warta (hadis, khabar, atsar) dalam pandangan Al-Gazzali. Terdapat dua kecenderungan, (1) aliran tradisionalis yang lebih mementingkan kritik sanad (silsilah para perawi dari sumber pertama), dan (2) aliran rasionalis yang mementingkan substansi matan (kandungan isi). Kedua aliran ini memiliki kriteria tersendiri, sehingga kualitas kesahihah hadis menjadi berbeda. Bagi kalangan tradisionalis, misalnya, ada kriteria: rawi ‘adil dan dhabit, sanad muttasil, tidak ada syadz dan illat. Bagi kalangan rasionalis, misalnya, ada kriteria: matan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis masyhur, perilaku sahabat. Al-Gazzali termasuk dalam aliran tradisionalis namun lebih ketat dalam beberapa kriteria, semisal menerima hadis yang disampaikan dengan tiga cara: as-sima’i (pendengaran langsung), al-qiraah (pembacaan di depan guru), dan al-ijazah (otoritasi), padahal proses tahamu wa al-ada’ dapat dilakukan dengan banyak cara (menurut Nurun Najwah, ada delapan cara). Karena persyaratannya yang ketat, Al-Gazzali lebih dekat dengan aliran rasionalis. (muhammad ridha basri)