Dakwah Profetik: Paradigma dan Skema
Oleh: Muh. Akmal Ahsan
Jika benderang pandangan kita tentang iklim dakwah Islam dewasa ini, aneka ragam warna dakwah telah membentuk jati dirinya masing-masing. Komunitas-komunitas dakwah yang berjibun itu telah pula memanifestasikan Islam dalam warna yang beraneka ragam. Modernisme, pula industrialisasi telah meggeser nilai sosial budaya, demikian pula dengan cara orang bersyiar kini.
Kondisi itu patut disyukuri adanya, meski pula memerlukan banyak kritik. Industrialisasi ini tak sepenuh-penuhnya keburuntungan bagi orientasi dakwah Islam, beberapa kasus justru membebani para pendakwah, khusunya dalam upaya desiminasi ajaran agama Islam. Ditengah kondisi corak yang begitu ragam, diperlukan paradigma dan skema yang lebih filosofis-praksis demi memberi arus utama bagi usaha menyebarkan ajaran Islam. Tulisan ini mencoba mengulas dakwah profetik, dari paradigma, hingga skema.
Kuntowijoyo dan Paradigma Dakwah Profetik
Di Indonesia, nyaris tidak ada perbincangan ihwal profetik yang tidak merabah nama Kuntowijoyo. Tidak megherankan memang, mengingat beliau adalah tokoh utama yang getol menggagas paradigma profetik, khususnya dalam narasi gerakan sosial.
Tetapi, menarik Pak Kunto dalam dialog dakwah Islam mesti memperhatikan hal-hal berikut: pertama, corak intelektualnya yang tak bisa dipisahkan dari ilmu sosial. Maka, tak heran, dari kata hingga “kacamata”, pandangan pak Kunto selalu berdasar dari paradigma ilmu sosial (sosiologi). Kedua ,kontekstualisasi paradigma profetik dalam ruang dakwah masih membutuhkan pengembangan. Ini sebab Pak Kunto berhenti menganalisis situasi masyakat dalam lanscap industrial, beliau hingga wafatnya, belum membicarakan kemungkinan dakwah pada era industrial lanjut dan postindustrial. Ketiga, paradigma profetik layak menjadi pisau analisis untuk melihat irisan dakwah Islam saat ini, meski sekali lagi, membutuhkan asah analisis, biar lebih tajam untuk meneropong fragmentasi kehidupan ummat.
Sebetulnya Kuntowijoyo benderang menjelaskan transisi dari masyarakat pra industrial menuju semi industrial, dari semi industrial menuju era industrial. Dari periodesasi dan karakterisai demikian, barulah kemudian Pak Kunto memberikan ulasan tentang agenda dakwah Islam, pada masa industrial.
Beliau menekankan bahwa industrialisasi itu adalah sebuah keharusan sejarah. Hanya saja, tidak melulu industrialisasi ditempatkan sebagai narasi tunggal dari Barat, kita memiliki narasi industrialiasi dengan ciri khas tersendiri. Dalam hal ini, dakwah Islam di era industrial begini hanya bisa dimungkinkan jika kemudian para pedakwah terintegrasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi dasar dari era industrial.
Karena industrialisasi adalah keharusan sejarah, pula fakta sejarah, maka Islam mesti tampil untuk menyelesaikan masalah konkret, agar kemudian kehadirannya historis, menyejarah. Pada kondisi demikian, bukan berarti hal hal yang bersifat abstrak-filosofis dilupakan dalam wacana dakwah. Karena demikian itulah, Kuntowijoyo menawarkan reinterpetasi makna dari al-Quran, agar kemudian dapat diintegrasikan dengan kehidupan sosial praksis masyarakat.
Reinterpretasi itu, misal, berkaitan tentang makna perang. Jika dahulu perang adalah pertentangan senjata, kini jihad adalah mengubah suprastruktur menjadi kekuatan sosial untuk membela kaum tertindas.
Kini industrialisasi turut terlibat dalam perubahan struktur budaya masyarakat—yang kemudian pula merubah struktur dakwah Islam di masyarakat dan ummat. Jika pada masa sebelumnya, pendakwah direkat-eratkan pada tubuh seorang Kyai di pesantren, kini pendakwah bertransformasi masuk ke dalam komunitas sosial di masyarakat. Jika dahulu pensyiar dikenal lewat simbol peci atau surban, kini pendakwah bisa berwujud youtubers, selebgram, dengan fashion yang modernis. Patutkah ini disyukuri?, dalam konteks tertentu kondisi ini adalah peluang desiminasi ajaran Islam yang terbuka, namun pada ruang lain realita tersebut patut mendapatkan kritik, apakah dakwah yang digagas melalui platform media modern sekarang ini telah terinegrasi dengan masalah konkret di masyarakat?.
Namun betapapun kita turut terlibat dan terintegrasi dengan industrialisasi, jangan menempatkan diri sebagai objek belaka, kini ummat harus diarahkan pada dirinya sebagai subjek. Ummat Islam jangan hanya sibuk mengurusi dampak dari instruialisasi saja. Meski demikian, dampak industrialisai mesti menjadi agenda jangka pendek. Semisal pembelaan terhadap korban terdampak industrialisasi. Misal, korban pembangunan bandara Kulonprogo, Korban perampasan tanah di Urut Sewu, pula lain sebagainya. Para pendakwah mesti berbicara tentang mereka yang tertindas. Hingga kini ideal demikian masih menjadi harapan yang tidak begitu banyak terwujud.
Nafas dari dakwah tidak lain adalah spirit pembebebasan, pemanusiaan dan penghambaan pada Tuhan. Bukankah demikian itu cara berdakwah Nabi yang sebenar-benarnya?.
Skema Dakwah Profetik
Kita telah sampai pada bagian pembahasan mengenai kemungkinan skema realisasi dakwah profetik dengan dasar pandangan sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Skema dari gagasan dakwah Profetik adalah upaya bergerak dari suprastruktur menuju infrastruktur, maka dengannya, dibutuhkan kesadaran total akan kemungkinan pergerakan dakwah ini, kesadaran yang utama dibutuhkan adalah kesadaran filosofis-abstrak, yang bermakna kesadaran teologis, lainnya adalah kesadaran strategis dan taktis. Prinsipnya, para pendakwah mesti memahami Islam secara mendalam, namun menggelarnya dalam hidangan yang konkret, bisa diaktualisasikan.Catatan ini pula adalah pengembangan paradigma dakwah profetik sebagaimana digagas oleh pak Kunto.
Pertama, tujuan dakwah profetik tidak lain sebagai langkah agama dan agamawan untuk membebaskan, memanusikan dan memberi dasar spiritual kepada ummat. Seperti fundamen yang diberikan Kuntowijoyo: spiriti agama adalah liberasi, humanisasi dan transendensi. Jalan strategis yang dapat dilalui oleh agenda ini adalah melihat Islam sebagai tidak saja susunan ritual-formal-individualistik belaka, tetapi pula merasuk dalam kultur budaya, kehidupan manusia.
Dakwah Islam dalam ketiga pilar prinsipil diatas itulah yang kemudian mendorong pendakwah tidak saja mensyiarkan agama yang ahistoris, yakni agama yang asbtrak belaka, subtansi dakwah adalah pernyataan keberpihakan Islam kepada kaum tertindas, yang darinya metode dakwah tidak lisan belaka, tetapi upaya untuk mengorganisir rakyat untuk melawan, pula melalui advokasi yang damai.
Kedua,media yang dipakai, khsuusnya diarus industrial ini ialah media yang terintegrasi dengan teknologi. Pendakwah harus memiliki keterampilan untuk mendesiminasi idenya melalui platform media modern. Tentu, tidak mempertimbangkan estetika belaka, konten yang kemudian dituangkan adalah susunan isi yang logis, etis, dan estetis. Perlu diketahui, integritas seorang Dai dalam hal ini teruji ketika dalam pergumulannya dengan media ia masih mempertahankan dasar pemikiran dan kejujurannya. Maka seorang Dai modern adalah pensyiar yang penjelasannya rasional, dan jujur (tidak hoax).
Ketiga, metode dakwah yang dipakai adalah metode yang terbuka dan dialogis, pula kritis. Mengajak, tapi tak menggertak. Dakwah yang berdasar kepada problematika kehidupan masyarakat. Dalam dakwah, pensyiar mesti terbiasa berbicara dengan data emprik, faktual dan aktual.
Keempat, materi dakwah yang disampaikan ialah produk dari wahyu, dan akal . Wahyu adalah sumber ilmu, akal berperan memberi justifikasi rasiional atas wahyu. Di era modern dan industrial ini, mayarakat pada umumnya membutuhkan ajaran agama yang rasional, maka hidangkanlah dakwah dengan hidangan yang masuk akal, biar ummat mengkonsumsinya dengan sehat.
Agenda Dakwah Islam: Membangun Spirit Rahmattallilalamiin
Bagian akhir ulasan ini adalah agenda dakwah dan pendakwah Islam di masa datang. Perlu diketahui, ajaran agama ini tidak saja adalah konsumsi segelintir ummat, melainkan sekalian ummat, dan bahkan manusia-masyarakat pada umumnya. Maka dakwah semata-mata adalah realisasi dari rahmattallilalamin, menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Agenda ini hanya bisa dilakukan dengan terus berupaya “berekspansi” ke dalam seluruh struktur kehidupan masyarakat. Islam mesti merasuk di jantung para petani, pengusaha, politikus, intelektual, pula elemen lainnya. Maka tugas dakwah kini bukan saja kewajiban Kyiai belaka, melainkan amanah yang diemban pada setiap diri seorang muslim. Pada konteks ini, perlu dipahami bahwa makna ekspansi bukan definisi simbolik-sloganistik belaka.
Di hari-hari depan, ummat Islam mesti “mengendalikan” dunia dengan menjadi subjek utama dalam peradaban dewasa ini. Maka harapan bersama bahwa kelak para teknokrat, politisi, pebisinis pula lain sebagainya adalah para muslim yang membawa spirit dakwah kemanapun perginya.
Perlu pula diperhatikan, bahwa kehadiran agama dan agamawan (dai) adalah air yang membatalkan dahaga spiritual, membangkitkan semangat kemanusiaan, dan memastikan bahwa ummat dan masyarakat terbebas dari belenggu kemiskinan, pembodohan dan ketertindasan. Seorang muslim, jangan terpisah dari realitas sosial, kehidupan sosial dan fakta sosial.
Muh. Akmal Ahsan, Mahasiswa Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta.