Manusia harus mengendalikan kehendak jasmani agar sesuai dengan cita-cita ruhaninya. Dalam logika nafsu, tindakan ini terasa seperti menghukum diri sendiri karena nafsu memang selalu menolak untuk dikendalikan
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Dzun-Nun Al-Mishri, “Dzun-Nun dari Mesir” adalah seorang sufi yang cukup masyhur di kalangan para pengkaji sufisme Islam. Tapi, tidak banyak orang yang mengetahui bagaimana perjalan spiritualnya, terutama masa awal pertaubatannya. Kita mungkin tidak mampu meniru kezahidan dan kesufiannya, tetapi kita bisa mengambil hikmah kehidupannya –meski sangat sedikit.
Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkiratul Auliya’ menceritakan. Di masa awal keinsyafannya, Dzun-Nun mencari seorang guru. Oleh seseorang dia ditunjukkan ke suatu tempat. Ia pun pergi ke sana dan menemukan seseorang yang sedang mengikat dirinya sendiri di sebuah pohon sambil berkata, “Wahai tubuhku, bantulah aku mematuhi Allah. Jika tidak, maka aku akan terus mengikatmu seperti ini sampai engkau mati kelaparan.”
Dzun-Nun yang saat itu melihat dan mendengarnya lalu menangis. Rupanya, tangisannya terdengar oleh orang itu, “Siapa yang mengasihi orang yang sedikit rasa malunya dan banyak kejahatannya?”
Dzun pun kemudian bertanya, “Apa yang sesungguhnya terjadi atas dirimu?”
Orang itu menjawab, “Tubuhku ini tidak memberi ketenangan untuk mematuhi Allah. ia ingin bergaul dengan orang-orang lain. Bukankah engkau tahu bahwa sekali engkau bergaul dengan orang lain, hal-hal lain akan mengikutinya. Jika engkau ingin berguru, pergilah ke atas gunung itu, engkau akan menemui orang saleh.”
Maka pergilah Dzun-nun ke gunung yang ditunjukan. Di sana ia jumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam kesendirian. Sebuah kakinya telah putus dan dilemparkan keluar. Cacing-cacing sedang menggerogotinya. Dzun-Nun lalu menghampirinya sambil mengucapkan salam dan bertanya tentang keadaan dirinya.
Si zahid kemudian bercerita, “Suatu hari ketika aku sedang duduk di dalam kesendirian ini, ada seorang wanita kebetulan kesasar ke sini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari tempat ini, terdengarlah olehku sebuah seruan, ‘Setelah mengabdi dan mentaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk mengikuti setan dan mengejar seorang wanita lacur?’
Karena penyesalanku, maka kupotong kaki yang telah melangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan terjadi menimpa diriku. Sekarang, apa yang telah mendorong dirimu untuk menemui orang berdosa seperti aku ini? Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini. Puncak gunung itu terlampau tinggi untuk kudaki. Oleh karena itu, aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.”
Ternyata, di atas gunung itu ada seorang lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di dalam kesendirian di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus mencari makanan kesehariannya sendiri. Si zahid itu kemudian bersumpah tidak akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya.”
Kisah ini memberi hikmah betapa manusia itu harus bisa mengendalikan nafsunya. Secara jasmaniah, manusia itu sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan hewan. Ia butuh makan, minum dan berhubungan dengan lawan jenisnya. Secara psikologis, ia juga ingin dihargai, dipuji, dihormati dan kadang menang sendiri. Kebutuhan kedua ini hampir sama dengan insting binatang yang ingin menguasasi binatang yang lain –meski jauh lebih rumit dari sekedar insting.
Tetapi, di dalam diri manusia juga ada kebutuhan sekaligus kecenderungan berketuhanan (alam lahut). Hanya saja, kecenderungan hewaninya seringkali jauh melampaui kecenderungan ilahiyat-nya. Manusia sering diperbudak jasmaniah dan dorongan nafsu duniawinya.
Karenanya, sudah sepantasnya manusia membatasinya. Salah satu cara yang sering dilakukan oleh para zahid dan sufi adalah dengan “menghukum diri sendiri”. Orang yang biasanya lebih suka makan-makan seharian harus dihukum dengan puasa. Saat seseorang suka menonton televisi dan bermain handphone, terlebih saat adzan berkumandang, harus dihukum dengan melepaskannya dan segera berangkat ke masjid. Bahkan, sesekali tidak bersentuhan dengan smartphone (android).
Lalu, siapa yang akan menghukumnya? Tentu yang bisa melakukan adalah dirinya sendiri. Sebab, dirinyalah yang semestinya lebih tahu bagaimana membatasi dan mengendalikannya. Ali bin Abi Thalib pernah berucap, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. “Barang siapa mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui Tuhannya.” Jadi, jika ada seseorang yang belum bisa mengendalikan dirinya, berarti ia belum tahu siapa dirinya. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, Dosen STIT Pondok Modern Muhamamdiyah Paciran Lamongan, penulis buku-buku motivasi Islam.