Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang moderat atau wasathiyyah. Wasathiyyah Islam bahkan menjadi arus utama dan gerakan yang meluas di Indonesia saat ini. Pihak luar pun makin apresiasi terhadap gerakan moderat Islam dan moderasi Islam di tengah berbagai kecenderungan ekstrem (tatarruf, ghuluw) dalam beragama maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Karakter dan sifat wasathiyyah itu memiliki rujukan kuat pada apa yang disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 143 sebagai “ummatan wasatha” yaitu umat pilihan atau umat tengahan.
Moderasi atau wasathiyyah sangat selaras dengan konsep keadilan dalam Islam, yang berarti memilih posisi di tengah antara titik-titik ekstremitas. Moderasi sering digunakan secara bergantian dengan istilah “rata-rata,” “inti,” “standar,”. Kebalikan dari wasathiyyah adalah tatarruf atau “ghuluw” yang menunjukkan “kecenderungan ke arah pinggiran”, “ekstrem”, “radikal”, dan “berlebihan”. Dalam penggunaan bahasa Arab, wasathiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadits: “Nabi saw adalah yang terbaik (awsat) dari keturunan Quraisy”. Tawasuth bukan berarti tanpa prinsip, tetapi berprinsip yang luwes dalam cara dan kaya dalam pesan keislaman.
Menurut Wahbah al-Zuhaylī, wasathiyyah berarti moderasi dan keseimbangan (i’tidāl) di dalam keyakinan, moralitas juga karakter, dalam cara memperlakukan orang lain dan dalam menerapkan sistem tatanan sosial-politik dan pemerintahan. Sebaliknya ekstremisme (tatarruf), yang dari sudut pandang Islam, berlaku kepada siapa pun yang melampaui batas dan tata cara syariah, pedoman dan ajaran, juga siapa pun yang melanggar batas-batas moderasi, pandangan mayoritas (ra’y al-jamā’ah), serta orang yang bertindak dengan cara tertentu yang biasanya dianggap aneh.
Muhammadiyah dalam pandangan Azyumardi Azra, kendati secara teologis atau ideologis memiliki akar pada Salafisme atau Salafiyah, tetapi watak atau sifatnya tengahan atau moderat yang disebutnya sebagai bercorak Salafiyyah Wasithiyyah (Republika, 13 Oktober 2005). Karena itu, kendati sering diposisikan berada dalam matarantai gerakan pembaruan Islam di dunia muslim yang bertajuk utama ar-ruju’ ila al-Qur’an wa As-Sunnah, Muhammadiyah tidak terlalu kental bercorak gerakan Timur. Gerakan al-ruju’ ila al-Qur’an wa As-Sunnah harus disertai pemahaman Islam yang mendalam, luas, dan komprehensif sesuai pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Jangan menggunakan cara pandang dan pengalaman sendiri-sendiri, lebih-lebih dengan rujukan literatur yang terbatas.
Karenanya pimpinan, mubaligh, kader, dan anggota Muhammadiyah ketika berkhutbah, berceramah, memberi pengajian, serta berpikir dan bertindak niscaya mengedepankan sikap wasathiyyah atau kemoderatan. Bacalah pemikiran-pemikiran resmi Muhammadiyah termasuk manhaj Tarjih secara mendalam agar menjadi pedoman dalam berdakwah dan kehidupan sehari-hari. Dalam berpakaian menutup aurat pun tidak perlu eksrem atau berlebihan seperti cadar dan sejenisnya, ikuti apa yang menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah, agar tetap tengahan dan tidak menimbulkan kesulitan dalam kehidupan di ruang publik yang menuntut kenormalan. Prinsip kemudahan yang dibenarkan Islam penting untuk dikembangkan.
Dalam berkhutbah dan bertabligh hendaknya para mubaligh Muhammadiyah bersikap wasathiyyah dan tidak ekstrem. Kenapa harus garang disertai suara meledak-ledak dalam menyampaikan pesan Islam. Perhatikan kondisi dan situasi setempat. Perkaya pemahaman keislaman dengan bayani, burhani, dan irfani agar tidak hitam-putih dan merasa paling benar sendiri. Kedepankan hikmah, edukasi, dan dialogis dalam menyeru kepada jalan Allah sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs An-Nahl: 125). (hns)
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2020