Memulai Berbuat Baik Dengan Prasangka Baik

Memulai Berbuat Baik Dengan Prasangka Baik

Memulai Berbuat Baik Dengan Prasangka Baik

Oleh: Ki H Ashad Kusuma Djaya

Ada suatu kisah yang populer tentang penghargaan pada orang lain dan pentingnya prasangka baik. Suatu ketika seorang perempuan mendapat panggilan ke kantor pusat perusahaannya untuk wawancara promosi jabatan untuk posisi manajer di kantor pusat. Ia mengajak suami dan anaknya yang masih SD ke kantor pusat itu.

Sesampai di kantor pusat waktu wawancara masih kurang satu jam lagi sehingga mereka memutuskan untuk menuju kantin kantor perusahaan itu. Selesai makan perempuan itu dengan sengaja membuang tisu bekasnya secara sembarangan. Suaminya pun hendak memungut tisu bekas itu tetapi dilarang sama sang istri. Itu karena perempuan itu melihat ada kakek tua yang memunguti sampah di sekitar kantin itu.

Benar, kakek tua itu pun menghampiri dan memungut tisu itu lalu membuangnya di bak sampah. Seperti disengaja perempuan itu membuang lagi tisu bekas di depan sang kakek. Kakek itu pun memungut sampah tersebut dan kembali memasukkannya ke bak sampah. Tidak tampak rasa kesal di muka kakek tua itu. Namun begitu ia tetap menegur perempuan itu meski sambil tersenyum, “Apakah ibu tidak melihat bak sampah di pojok itu? Seharusnya ibu membuang sampah di sana.”

Sang perempuan tidak menggubris teguran itu justru balik bertanya, “Bukankah kamu pemungut sampah? Jalani saja tugasmu memungut sampah!” Kakek tua tetap tidak marah menghadapi sikap perempuan itu, ia justru menyapa dengan ramah perempuan itu dengan mengatakan, “Sepertinya sebelum ini saya tidak pernah melihat ibu di kantor ini. Apa ibu tamu perusahaan ini?” Dengan wajah sombong perempuan itu menjawab, “Saya adalah calon manajer baru di kantor ini!”

Tiba-tiba perempuan itu sambil menunjuk kepada sang kakek ia berkata pada anaknya: “Nak, kamu lihat dia, kalau kamu tidak sekolah yang benar maka masa depanmu hanya akan jadi seperti kakek tua ini. Kerjanya hanya memunguti sampah dan jika orang tak membuang sampah maka dia tak punya pekerjaan!”

Penjaga kantin seperti kaget mendengar omongan perempuan itu buru-buru menghampiri sang kakek tua lalu mengatakan, “Maaf pak presdir, seharusnya kami yang membersihkan sampah itu.” Ia tampak merasa bersalah, lalu menengok pada perempuan itu dan berkata, “Nyoya belum kenal presiden direktur perusahaan ini? Beliaulah orangnya!” Seketika perempuan itu seperti hampir pingsan.

Sang kakek tersenyum dan berkata pada perempuan itu, “Terima kasih telah datang memenuhi undangan saya di kantor pusat ini. Tapi saya rasa Anda memang cukup di kantor cabang saja dan pertemuan nanti saya batalkan. Kantor pusat ini hanya menerima orang yang mau menghargai dan mendengarkan pendapat orang lain. Silahkan hubungi sekertaris saya untuk ganti biaya akomodasi ke sini!”

Lalu kakek tua itu menghampiri dan kemudian berjongkok memegang pundak sang anak sambil berkata, “Nak, jika kamu ingin menjadi orang yang sukses maka belajarlah menghargai dan mau mendengar pendapat baik dari orang lain meski secara penampilan yang menyampaikan itu terlihat hina. Untuk itu mulailah dari belajar berprasangka baik!”

Memang sikap yang benar dalam pergaulan sesama manusia haruslah didasarkan, dan didahului, oleh sikap positif, yaitu husnuzhan (prasangka baik). Dalam agama sikap negatif yang sebaliknya, yaitu su’uzhan (prasangka buruk), termasuk perbuatan dosa. Lebih-lebih lagi, jika prasangka buruk dilakukan kepada sesama orang yang beriman, sungguh Allah melarangnya sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok)…” (QS. Al-Hujurat [49]: 11).

Salah satu sikap orang beriman ialah mendahulukan baik sangka kepada sesama. Sebaliknya, sebagian dari prasangka sendiri adalah kejahatan (dosa), karena tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu saling memata-matai dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat [49]:12).

Terhadap ayat tersebut Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat Umar Ibn Khattab r.a. bahwa ia pernah berkata, “Jangan sekali-kali kamu mempunyai prasangka terhadap suatu kalimat yang keluar dari lisan saudaramu yang mukmin melainkan hanya kebaikan belaka, sedangkan kamu masih mempunyai jalan untuk memahaminya dengan pemahaman yang baik.”

Ibnu Katsir juga mengutip hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu mempunyai prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka yang buruk itu adalah berita yang paling dusta; janganlah kamu saling memata-matai, janganlah kamu saling mencari kesalahan, janganlah kamu saling menjatuhkan, janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling membenci, dan janganlah kamu saling berbuat makar, tetapi jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Karena itu jika seseorang benar beriman maka ia akan menjauhi prasangka buruk. Lagi pula prasangka tidak akan membawa seseorang kepada kebenaran. Allah berfirman: “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus [10]: 36)

Karena itu setiap orang harus mampu menilai sesamanya secara adil, dengan memberikan kepadanya apa yang menjadi haknya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]: 90)

Allah mengingatkan jangan sampai kebencian terhadap suatu kaum mendorong  untuk berlaku tidak adil. Rasa keadilan adalah sikap jiwa yang paling diridai Allah, karena rasa keadilan itu paling mendekati realisasi pandangan hidup yang bertakwa kepada-Nya. Allah berfirman: “..Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 8)

Ketidakadilan dalam berpikir bisa melahirkan kepicikan. Pada dasarnya kepicikan lahir dari prasangka buruk yang mendorong seseorang berlaku tidak adil. Hanya karena bukan dari kelompoknya seseorang yang bukan termasuk golongan zalim pun tak pernah diterima pendapatnya tanpa pernah melakukan tabayyun (cross-check). Padahal orang beriman ketika berhadapan dengan golongan zalim pun diperintahkan Allah untuk melakukan tabayyun sebelum menerima atau menolak pendapatnya.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka tabayyun-lah, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Hujurat [49]: 6)

Dengan demikian hendaklah memulai perbuatan baik dengan prasangka baik. Perlu diingat bahwa prasangka baik itu sangat baik. Kebaikan prasangka menentukan kualitas perbuatan baik. Hendaklah orang baik memulai perbuatan baik dengan prasangka baik.

Berprasangka baik bukan berarti menerima semua pendapat yang dikemukakan orang. Tetapi yang disebut berprasangka baik dilakukan dengan melihat semua pendapat secara adil sehingga tahu suatu pendapat itu mengandung manfaat atau madharat. Orang yang melihat berbagai pendapat dengan tidak adil pasti dimulai dari prasangka buruk dan karenanya kualitas perbuatan baiknya pun tidak terlalu baik.

Kisah Hasan al-Basri, seorang ulama besar tabi’in, bisa menggambarkan buruknya berprasangka buruk. Suatu hari Hasan al-Basri melihat tiga orang di pinggir Sungai Dajlah, di antaranya perempuan. Di samping mereka terdapat sebotol arak. Hasan al-Basri pun berkata dalam hati, “Alangkah buruknya orang itu. Lebih bagus dia itu bersikap seperti saya.” Tentu yang dimaksud ialah tidak bersama perempuan dan minuman keras.

Tiba-tiba Hasan al-Basri melihat sebuah perahu tenggelam. Pemuda yang berada di pinggir sungai tadi langsung terjun karena melihat penumpang perahu itu tenggelam. Pemuda itu berhasil menolong enam dari tujuh penumpang perahu itu. Setelah naik ke darat, pemuda itu menoleh kepada Hasan Basri dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, demi Allah, silakan engkau selamatkan seorang lagi yang belum bisa saya selamatkan. Engkau hanya diminta untuk menyelamatkan satu orang, sedangkan saya sudah berhasil menolong enam orang.”

Hasan al-Basri terdiam dan gagal menyelamatkan seorang penumpang perahu. Entah karena ketakberaniannya atau karena kelambanannya. Laki-laki itu berkata lagi kepada Hasan al-Basri, “Perempuan di sebelah saya ini adalah ibu saya, sedangkan botol ini hanya air putih.” Hasan al-Basri pun hanya bisa terdiam mendengar itu.

Karena merasa salah sangka, dia berkata dengan penuh penyesalan, “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah berhasil menyelamatkan enam orang yang tenggelam, selamatkan pula saya dari tenggelam kebanggaan dan kesombongan.” Hasan al-Basri menyadari kekeliruannya telah berprasangka buruk. Semoga kita pun dijauhkan dari prasangka buruk yang menenggelamkan jiwa kita dengan kebanggaan dan kesombongan.

Ki H Ashad Kusuma Djaya, Wakil Ketua PDM Kota Yogyakarta

Exit mobile version