JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan agenda yang sangat penting dalam percaturan kepemimpinan di tingkat daerah maupun nasional. Selain itu, terselenggaranya pasta demokrasi di daerah tersebut bertujuan untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat bagi pasangan calon yang sedang berkompetisi. Tentang siapa yang nantinya berhak dan pantas menjadi kepada daerah sesuai dengan pilihan rakyat.
Namun dalam kondisi pandemi, penyelenggaraan pilkada justru dapat menghadirkan malapetaka. Belum adanya titik terang tentang penanganan Covid-19 di Indonesia membuat pelaksanaan pilkada berisiko tinggi membahayakan nyawa masyarakat.
Dalam sebuah acara Sarasehan Kebangsaan yang bertemakan “Pilkada di Tengah Corona, Mengapa Harus Ditunda?”, Din Syamsuddin menyampaikan bahwa penyelenggaraan pilkada harus ditunda sampai kondisi benar-benar aman dari wabah Covid-19. Banyak lembaga dan tokoh perorangan meminta kepada pemerintah agar pilkada yang akan berlangsung pada 9 Desember ditunda. “Penundaan ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan nyawa manusia, karena misi negara dan pemerintah adalah melindungi segenap rakyatnya,” ujar Ketua Umum DN PIM tersebut pada Kamis (24/9).
Marsudi Syuhud, Ketua PBNU meminta DPR menunda penyelenggaraan pilkada dan mengalokasikan biaya pesta demokrasi tersebut untuk penguatan jejaring sosial masyarakat di tengah pandemi. “Para ulama meminta penyelenggaraan pilkada ditunda demi kemaslahatan umat dan bangsa,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Busyro Muqoddas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia mengatakan bahwa, ada dua alasan kuat tentang mengapa pilkada harus ditunda. Pertama, melindungi keselamatan jiwa manusia. Kedua, ditundanya pilkada dapat dimanfaatkan untuk merevisi undang-undang pilkada yang dinilai memiliki banyak sekali masalah.
Djohermansyah Djohan, Pakar Otonomi Daerah mengungkapkan bahwa ketidakmauan pemerintah menunda penyelenggaraan pilkada dikarenakan beberapa kepentingan. Pertama, kepentingan petahana agar bisa menang dengan mudah. Kedua, kepentingan parpol pengusung, adanya uang mahar serta persiapan untuk menyongsong pemilu 2024. Ketiga, kepentingan para pejabat yang bermaksud untuk menggolkan jagoannya. Keempat, kepentingan bisnis. Dan terakhir, kepentingan pemilih untuk mencari sembako dan uang.
Djohan menambahkan, jika pilkada tetap harus dilakukan pada 9 Desember 2020, ia memberikan jalan tengah dengan memaksimalkan pemungutan suara melalui DPRD. “Tahapan pemungutan suara melalui DPRD harus dilakukan dengan pengawasan ketat yang melibatkan aparat penegak hukum termasuk KPK,” jelasnya. (diko)