Cerpen: Affan Safani Adham
SETELAH lama belajar dan mencoba, Amran kini jadi penulis sukses yang benar-benar mulai dari nol. Tulisannya berhasil menembus koran, majalah dan media online.
“Amran sudah mahir menulis sekarang,” kata Sauki.
“Ini berkat saya sering ngobrol dengan penulis terkenal itu,” jawabnya. “Dia pula yang membantu memperbaiki tulisanku agar lebih baik.”
Dalam latihan menulis selama ini, Amran membiasakan diri diselingi dengan dialog antartokoh.
“Kalimat dialog itu juga harus disesuaikan dengan karakter usia dan topik pembicaraan tokoh,” begitu kata pak Hamzah yang selalu diingatnya sampai sekarang.
Usai buat naskah cerpen Amran lantas temui penulis terkenal itu untuk minta diteliti ulang agar lebih baik. Dengan begitu, Amran bisa langsung mengetahui kelebihan dan kekurangan tulisannya.
“Bikinlah kerangka cerita itu sesuai dengan kebiasaan dan gaya kita sendiri,” saran pak Hamzah.
“Kalau ingin menulis sebuah cerpen tentang persahabatan dengan seseorang bagaimana?”
“Kita harus mencatat dulu apa saja yang ingin diceritakan.”
Amran hanya terdiam saja mendengar penjelasan dari pak Hamzah.
“Dari kerangka sederhana dan acak itu kita tinggal susun dalam bentuk cerita,” lanjut pak Hamzah.
Untuk tahap permulaan, Amran menuliskan cerita berdasarkan ingatan yang ada dalam pikiran, lalu mengacu pada kerangka karangan agar lebih menarik.
*
KEGIATAN menulis, kata Amran, sangat berguna. “Terutama dalam mendokumentasikan sesuatu,” terang Amran pada Sophia.
“Apa saja itu?” tanya Sophia.
“Bisa kisah hidup kita, kisah spesial yang kita anggap perlu dikenang selamanya hingga peristiwa sejarah,” ungkap Amran.
Mendengar apa yang disampaikan Amran, ada keinginan yang kuat dalam diri Sophia untuk menjadi seorang penulis. Ada gairah yang menggebu-gebu untuk menulis. Gairah ini yang akan mengantarkannya pada semangat: saya pasti bisa!
“Apa untuk jadi penulis kita harus rajin membaca?” tanya Sophia.
“Kita harus benar-benar mengerti dan memahami jika ingin menjadi seorang penulis,” kata Amran.
“Oh, kalau ingin bisa menulis kita harus banyak membaca?”
Pada Sophia, Amran menjelaskan, “Mulailah dengan membaca sesuatu yang mudah dimengerti dan sesuaikan dengan jenis tulisan apa yang ingin kita tekuni. Itu yang perlu kamu catat.”
Banyak orang yang mengeluh, ia sudah banyak membaca, tapi tidak juga bisa menulis. Ada juga yang mengatakan, ia paling pandai bercerita lisan kepada temannya, namun amat sulit menuangkan ke dalam bentuk tulisan.
“Semakin sering mencoba menulis dengan gaya seperti apapun, kita akan semakin terbiasa dan menguasai teknik menulis,” begitu yang dikatakan Amran pada Sophia.
*
SERINGKALI ide dan inspirasi itu datang pada waktu yang tidak terduga. Dan kalau kita tidak mencatatnya, bisa jadi kita akan lupa.
“Hal itu belum tentu akan datang lagi,” kata Amran, yang menyarankan Sophia untuk membiasakan membawa buku kecil ke manapun pergi.
“Lainnya apa bisa?” tanya Sophia.
“Bisa juga ide yang datang tiba-tiba itu dicatat melalui ponsel dulu dan kemudian direkap ulang ke dalam buku saat kita sudah sempat.”
Kepada Sophia, Amran juga menjelaskan kapan waktunya saat yang tepat untuk menuliskan kembali ide itu ke dalam bentuk tulisan yang utuh.
Entah mengapa, pagi ini Sophia bercita-cita menjadi seorang penulis, meski tidak jago dalam merangkai atau meracik kata menjadi komplit, penempatan subjek atau objek, bahasa baku, bahkan bahasa anak muda yang menjadi tren.
“Semua tulisan ini akan kutulis dengan kata-kataku sendiri tanpa memikirkan alur akan menjadi sebuah tulisan yang menarik,” batin Sophia.
Terlintas ada kata optimis. Mungkin kata yang tepat mewakili curhatan Sophia di awal kalimat sampai terakhir kata ini. Optimis akan dipublikasikan dan bahkan optimis menjadi sebuah buku. Kata-kata dibenaknya sudah mengantri untuk ditulis sebagai bahan tulisan.
*
PULUHAN kata mungkin sudah dihapusnya karena dirasakan tidak sesuai untuk dijadikan tulisan. “Bahkan seorang penulis sekalipun akan melakukan hal yang sama,” batinnya.
Kini, Sophia pun bingung memulai dari mana intisari dari tulisannya itu.