Memilih Kebaikan Hari Akhir

Memilih Kebaikan Hari Akhir

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk

Ibnu Abi Hatim menceritakan dari al-Hakam bin Abban, dari ‘Ikrimah, yang bersum­ber dari ‘Ibnu ‘Abbas,bahwa ada seorang kaya mempunyai pohon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah tetangganya yang fakir dan banyak anak. Setiap kali pemilik kurma itu memetik buahnya, ia memetiknya dari rumah tetangganya itu. Apabila ada kurma yang jatuh dan dipungut oleh anak orang fakir yang yatim itu, ia segera turun dan merampasnya dari tangan mereka. Bahkan, yang sudah masuk mulut pun dipaksanya keluar.

Orang fakir itu lalu mengadukan masalahnya kepada Nabi SAW. Kemudian Rasulu­l­lah menemui pemilik kurma itu, “Berikanlah kepadaku pohon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah si fulan itu. Sebagai gantinya, kamu akan mendapat pohon kurma yang lebih baik di surga.” Si pemilik pohon kurma berkata: “Hanya begitukah tawaranmu? Aku mempunyai banyak pohon kurma, dan pohon kurma yang diminta itu adalah yang paling baik buahnya”. Lalu si pemilik pohon kurma itu pun pergi.

Pembicaraan si pemilik pohon kurma dengan Nabi SAW itu rupanya terdengar oleh Abu Ad-Dahda’ al-Anshari. Ia langsung menghadap Rasulullah SAW, “Seandainya pohon itu menjadi milikku, apakah tawaran itu juga berlaku bagiku?” Rasulullah menjawab, “Ya.”

Maka pergilah ia menemui pemilik pohon kurma. Kata si pemilik pohon kurma, “Apa­kah engkau tahu bahwa Muhammad menjanjikan pohon kurma di surga sebagai ganti po­hon kurma yang mayangnya menjulur ke rumah tetanggaku itu? Aku telah mencatat tawar­an beliau. Aku banyak mempunyai pohon kurma, tetapi tidak ada yang selebat itu”.

Abu Ad-Dahda’ lalubertanya, “Apakah engkau mau menjualnya?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali apabila ada orang yang sanggup memenuhi keinginanku. Tetapi, pasti tidak akan ada yang sanggup”. Abu Ad-Dahda’ bertanya lagi, “Berapa yang engkau inginkan?” Ia berkata, “Aku ingin empat puluh pohon kurma sebagai penggantinya.

Abu Ad-Dahda’ terdiam sejenak dan berkata, “Engkau minta yang bukan-bukan. Tapi baiklah, aku berikan empat puluh pohon kurma padamu, dan aku minta saksi jika engkau benar-benar mau menukarnya”. Ia pun memanggil sahabat-sahabatnya untuk menyaksikan penukaran itu. 

Si dermawan itu menghadap Rasulullah, “Ya Rasulullah, pohon kurma itu telah men­ja­di milikku. Aku akan menyerahkannya kepadamu.” Berangkatlah Rasulullah menemui pemilik rumah yang fakir itu dan bersabda, “Ambillah pohon kurma itu untukmu.”

Dari kejadian yang mengharukan ini turunlah QS. Al-Lail yang membedakan kedudukan orang bakhil de­ngan orang dermawan. Yang membedakan antara orang yang percaya kebaikan di Hari Akhir dan orang yang tidak percaya tentangnya; dan antara orang yang akan mendapat kemudahan di Hari Akhir karena kebaikannya di dunia dan mereka memperoleh kesulitan di Akhirat karena kebahilannya.

Jika dikembalikan kepada diri kita sebagai seorang muslim yang sudah menyatakan beriman kepada Hari Akhir, maka sudah sepatutnyalah kita mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi doa “sapu jagat”, “Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah..,” sudah sangat sering disenandungkan. Doa yang paling sering kita ba­ca ini menyiratkan betapa kebaikan itu bukan hanya di dunia, tapi juga akhirat. Namun, entah mengapa kita hanya fokus dan seringkali “terjebak” pada kenyaman hidup di dunia saja.

Kisah dan ayat ini juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk meraih kebaikan di Hari Akhir juga mesti diawali dari kebaikan di dunia. Kebaikan, dalam hal ini, berarti mengeluarkan sesuatu dari yang kita miliki untuk orang lain secara tulus (ikhlas) dan memberi manfaat bagi yang menerimanya. Jika kebaikan ini menjadi sifat seorang pemimpin, lalu diwujudkan dalam kebijakan politiknya, pasti rakyat akan mencintainya. Rakyat akan membela dan rela berkorban untuk pemimpinnya, karena yakin bahwa yang akan dilakukan adalah untuk kebaikan masyarakat banyak. Dan, inilah jalan menuju surga, puncak kebaikan di Hari Akhir. Tidak sebaliknya, menggadaikan kepentingan rakyat banyak untuk kepentingan dirinya dan sekelompok orang sekelilingnya sehingga rakyat sengsara karenanya. Wallahu a’lamu.

Bahrus Surur-Iyunk, Dosen STIT Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan Jatim.

Exit mobile version