Kebanyakan manusia akan merasa bahagia saat menerima suatu hadiah atau pemberian dari orang lain. Namun, kebahagiaan saat memberi itu jauh lebih membuat kita bahagia
Bahagia Saat Memberi
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Dalam Kitab Asbabun Nuzul karya ulama Mesir, Fathi Fauzi Abd Al-Mu’thi, diceritakan. Suatu hari Hasan dan Husain jatuh sakit dan setelah sekian lama keduanya belum sembuh, Rasulullah datang menjenguk dan mendoakannya. Menghadapi suasana seperti itu, Rasulullah menyarankan kepada Ali r.a. dan Fatimah Az-Zahra untuk bernazar. Yaitu, jika keduanya sembuh mereka akan berpuasa selama 3 hari berturut-turut.
Allah mendengar do’a Rasulullah dan kedua orang tua mereka. Beberapa hari kemudian, atas ijin-Nya kedua puteranya sembuh. Sayyidina Ali dan Fatimah pun mulai menjalankan puasanya.
Saat itu di rumah Ali memiliki 3 sha’ (kantong kecil) gandum. Hari pertama, Fidhdhah, budak Fatimah, menggunakan 1 sha gandum untuk dibuat roti. Saat menunggu adzan Maghrib datanglah seseorang yang mengaku kelaparan mengetuk pintu rumah. Ali segera memberikan roti yang dibuat Fidhdhah kepada orang itu.
Pada malam itu, kedua suami istri itu hanya berbuka puasa dengan meneguk air saja. Esok harinya Fidhdhah menggunakan 1 sha gandum lagi untuk membuat roti. Kembali kejadian berulang, saat keduanya sedang menunggu adzan Maghrib, datanglah seorang anak yang mengaku yatim dan belum makan sehari semalam. Ali dan Fathimah spontan memberikan roti yang dibuat Fidhdhah kepadanya. Keduanya berbuka puasa kembali dengan banyak minum.
Pada hari ketiga, Fidhdhah menggunakan sisa gandum untuk membuat roti kembali. Begitulah Allah berkehendak, menjelang Maghrib datanglah seseorang yang mengaku tawanan perang dan belum makan. Ali dan Fathimah segera memberikan roti yang baru selesai dibuat kepadanya. Rasa lapar mendera mereka, selama tiga hari mereka hanya berbuka dengan air putih. Mereka menyadari semua ini adalah ujian dari Allah.
Fidhdhah yang melihat keadaan itu kemudian melapor kepada Rasulullah. Pada saat menjenguk, beliau trenyuh melihat tubuh mereka yang lemas lunglai tidak berdaya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang sekitarnya untuk mengambil beberapa potong makanan di rumahnya.
Saat Rasulullah beristirahat di kamar, tiba-tiba Jibril datang membawa wahyu, “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, (QS 76 – Al Insaan : 7-12)
Kita tentu terkesan dengan pribadi Ali yang pemurah. Hal ini sekaligus bukti betapa dalam diri manusia itu ada jiwa rabbani. Ia akan merasa bahagia ketika berhasil meniru dan mewujudkan sifat Tuhan Yang Rahman-Rahim kepada sesamanya. Dan kita juga meyakini bahwa Allah sangat mencintai manusia yang menyebarkan dan memberikan kasih sayang-Nya melalui tangannya. Karenanya, Allah merekam suara hati keluarga Ali dalam Al-Quran.
Sikap memberi tidak hanya dimiliki oleh orang kaya. Memberi berakar dan bermula dari hati dan merupakan sikap mental. Sang pemberi selalu merasa bahagia dan bermakna hidupnya manakala mampu membahagiakan orang lain dengan apa yang ia miliki. Perhatian, senyuman, apresiasi, pengahargaan, tepuk tangan dan pujian juga pemberian kepada sesama. Bermula dari sikap hati memberi yang melimpah inilah seseorang akan ringan tangan menolong sesama atau membantu dengan hartanya ketika melihat saudaranya yang membutuhkan.
Hingga di sini, menarik apa yang disampaikan Abdullah bin Mas’ud ra., sebagaimana dikutip Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin V, “Kemiskinan dan kekayaan adalah dua kendaraan. Aku tidak peduli mana di antara keduanya yang aku naiki. Jika kemiskinan, maka sesungguhnya di dalamnya ada kesabaran. Dan jika kekayaan, maka di dalamnya ada kemurahan.” Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, Wakil Ketua PD Muhammadiyah Sumenep