Memahami Dan Mewujudkan Kebenaran
Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir
Orang beriman harus meyakini kebenaran. Apalagi menyangkut kebenaran agama yang sumbernya dari Allah dan Rasul-Nya. Jangan ragu dengan kebenaran agama. Allah berfirman yang artinya, “Kebenaran itu (wahai Muhammad) adalah datangnya dari Tuhan-mu; oleh itu jangan sekali-kali engkau termasuk dalam golongan orng-orang yang ragu-ragu” (QS Al-Baqarah/2 : 147).
Namun dalam memahami kebenaran dan mewujudkannya dalam kehidupan, baik menyangkut agama maupun keduniawaian, tidaklah sederhana. Memahamai agama harus mendalam, luas, dan menyeluruh sehingga diperoleh substansi yang hakiki atau dalam referensi Islam klasik memenuhi aspek syariat, hakikat, dan makrifat. Meski demikian, sebenar-benarnya pemahaman akan kebenaran agama, selalu terbatas oleh kenisbian pemahaman. Ajaran Islam itu absolut benar, tetapi pemahaman orang terhadap Islam bersifat relatif. Kebenaran juga perlu diwujudkan melalui cara yang tidak mudah dan tidak sederhana. At-tariqah khairu mina al-madah, jalan atau cara itu harus jauh lebih baik ketimbang isinya.
Apalagi menyangkut soal urusan dunia atau mu’amalah-dunyawiyah seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya sangatlah relatif baik substansi maupun cara pemahamannya. Dalam rujukan ushul fikih dasar muamalah itu ibahah (kebolehan), kecuali yang benar-benar dilarang oleh syari’at. Kendati tegas larangannyan pun urusan muamalah itu tergantung keadaaan seperti dalam situasi darurat, yang haram pun menjadi boleh. Inilah wujud keluasan ajaran Islam.
Perspektif Pemahaman
Menurut Tarjih Muhammadiyah, memahami dan mengalamian Islam harus dengan pendekatan bayani (tekstual), burhani (rasional-kontekstual), dan irfani (qalbu, batin) secara terintegrasi atau interkoneksi. Memahami teks pun tidak sederhana, harus terkait banyak aspek, dari bahasa sampai ayat kaitannya dengan ayat, hadits, dan sebagainya. Begitu pula burhani harus terkait dengan berbagai pendekatan ilmu secara terintegrasi. Demikian dengan irfani, tidak sekadar pendekatan rasa atau batin, tetapi memakai qalbun-salim dan hikmah. Satu sama lain antara bayani, burhani, dan irfani saling terkait. Ketika berijtihad bahkan yang lebih utama dilakukan secara kolektif (jama’i) agar terdapat diskusi dan musyawarah yang mendalam, luas, dan multiaspek.
Dalam memahami kehidupan juga memerlukan ilmu bayani, burhani, dan irfani, disertai ilmu-ilmu dalam berbagai disiplin. Satu disiplin ilmu saja saat ini tidak dapat sendiri, menurut Prof Amin Abdullah, perlu interkoneksi. Menurut para pakar ilmu sosial perlu perspektivisme, ditinjau dari banyak paradigma keilmuan. Kata George Ritzer, perlu multiparadigmatik. Dengan demikian dapat dipahami realitas secara mendalam dan luas, bukan asal kesimpulan. Bila urusan-urusan besar dipahami secara sempit dan hitam-putih tidaklah memadai, sehingga kemungkinan biasnya sangatlah besar.
Memahami realitas sosial politik, ekonomi, budaya, keagamaan (bukan ajaran agamanya), dan sebagainya yang ada di sekitar kita pun tidaklah sederhana. Sebab di balik yang tampak di permukaan terdapat realitas yang tidak tampak. Memahami alam dan benda ciptaan Allah pun tidak semudah yang dibayangkan, perlu ilmu yang kompleks. Konsep langit antara orang awam dengan ahli ilmu berbeda. Sama-sama menelaah hilal (bulan baru) saja melahirkan pendekatan rukyat, hisab, dan beragam varian lainnya sehingga awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha sering berbeda di tubuh umat Islam.
Ibarat orang buta menggambarkan seekor gajah. Satu sama lain akan menyimpulkan tentang gajah dari yang dia pegang. Bila belalai yang dia pegang, kesimpulannya gajah itu itu melingkar seperti belalai itu. Padahal itu hanya bagian kecil dari gajah, bukan keseluruhan. Pemahaman orang tentang realitas akan tergantung kadar ilmu dan subjektivitasnya. Semakin luas ilmunya tentu semakin luas pandangannya, sebaliknya kalau ilmunya terbatas maka pandangannya pun terbatas. Aspek personal pun sering mempengaruhi realitas yang digambarkannya. Hingga diperlukan uji objektivitas oleh pihak lain.
Karenanya jangan merasa paling benar dalam menggambarkan atau menyimpulkan apa yang ditemukan sebagai kebenaran. Siapa tahu kenyataan yang disimpulkan itu hanya bagian kecil dari realitas keseluruhan, bisa benar juga bisa salah. Apalagi bila merasa diri benar dengan menganggap pihak lain salah. Sikap demikian tergolong angkuh atau sombong, yang dalam sabda Nabi disebut “bathar al-haq” (suka menolak kebenaran orang lain) dan “ghamtu al-nas” (merendahkan pihak lain. Sombong itu hanya milik Tuhan, bukan milik manusia.
Kenyataan hidup kehidupan keagamaan, politik, ekonomi, hukum, budaya, pendidikan, pemerintahan, dan sebagainya yang digambarkan dengan pengetahuan dan pandangan keilmuan oleh siapapun tidaklah mutlak kebenarannya. Janganlah merasa pandangan sendiri paling benar dan yang lain salah. Kalaupun sudah didiskusikan dengan orang lain, jangan sampai terlalu yakin benar, ketika orang lain yang diajak diskusi itu memang sudah sepaham dan sealiran. Perlu pemahaman berkualitas tinggi. Kalau mau menguji kebenaran diskusikan dengan mereka yang berbeda pandangan, sehingga dapat ditemukan objektivitas yang lebih mendekati kebeneran, itupun sama ada ruang relativitas. Bukan kebenaran absolut.
Berilmu dan Hikmah
Jika mendengar informasi, pengetahuan, postulat, pendapat, pandangan, dan teori maka kajilah dulu secara mendalam dan perbandingkan satu dengan lainnya sehingga memeperoleh pandangan yang lebih menyeluruh dan lebih baik. Bukan informasi dan pandangan yang dangkal dan sepihak. Apalagi bila informasi dan pengetahuan itu melalui media sosial yang begiturupa membanjiri dunia kehidupan sehari-hari dari yang valid sampai yang hoaks. Periksalah dengan objektif dan seksama, jangan tergesa diterima dan disuarakan dengan penuh ambisi. Cara menyuarakan kebenaran pun hindari unsur suka atau tidak suka agar lebih objektif, serta tidak disertai keangkuhan dan berlebihan (ekstrem).
Apalagi bagi orang beriman. Belajarlah rendah hati, meski dalam mengungkap dan memperjuangkan kebenaran. Dakwah amar ma’ruf nahi munkar harus merujuk pada cara yang diajarkan Tuhan dengan hikmah, edukasi yang baik, dan dialogis yang terbaik (QS An-Nahl/16: 125). Perintah Allah tersebut jangan dimaknai lemah dan toleran dalam menyikapi kesalahan, apalagi dengan menggunakan tolok ukur sendiri. Apakah kita yakin orang lain tidak memperjuangkan kebenaran? Apakah hanya diri kita sebagai pejuang kebenaran, keadilan, dan segala kebajikan dalam kehidupan ini?
Diniscayakan agar setiap orang beriman dalam menghadapi berbagai macam informasi dan pengetahuan untuk melakukan tabayun (QS Al-Hujarat/49: 6). Jangan terlalu yakin akan kebenaran sendiri, siapa tahu salah dan kemudian berbuah penyesalan. Allah bahkan menggambarkan di antara ciri orang-orang yang berakal (ulul albab) dan memperoleh pentunjuk, ialah “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS Az-Zumar/39: 18).
Islam juga mengajarkan umatnya agar tidak merasa diri paling benar, paling bersih. Pihak lain dianggap salah dan kotor. Allah mengingatkan umat beriman, “Apakah kami tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (QS An-Nisa/4: 49). Sementara dalam hadits dari Abu Hurairah, Baginda berkata, “Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah berkata penuh ibrah, “Jika Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu shalat malam, jangan memandang rendah orang yang tertidur. Jika Allah membukakan untukmu pintu puasa (sunnah), janganlah memandang rendah orang yang tidak berpuasa.”. Dikatakan, “Dan jika Allah membukakan untukmu pintu jihad, maka jangan memandang rendah orang lain yang tidak berjihad. Sebab, bisa saja orang yang tertidur, orang yang tidak berpuasa (sunnah), dan orang yang tidak berjihad itu lebih dekat kepada Allah ketimbang dirimu.”
Apakah cara pemahaman dan langkah yang selama ini suda benar-benar di jalan yang benar, bukankah terbatas hanya kebenaran menurut diri sendiri? Padahal orang lain pun memegang dan memperjuangkan kebenaran. Apalagi bila menyangkut cara, agar tidak merasa diri paling lurus dan istiqamah sebagai pejuang kebenaran. Seringlah merenung, siapa tahu kita salah menilai keadaan, ketika kita terlalu yakin akan kebenaran sendiri. Bila kita benar sekalipun, tidak perlu gemar menyalahkan orang lain, apalagi untuk kepentingan dakwah yang sifatnya merangkul, mengajak, dan menyeru. Jika diri merasa perkasa, apakah tidak congkak menganggap orang lain lunak, lembek, dan lemah dalam memperjuangkan kebenaran. Agar kita tidak zalim terhadap orang lain dan dalam memahami keadaan.
Jadi, kaum beriman janganlah merasa diri paling benar dalam memegang dan melaksanakan kebenaran di tengah kehidupan yang kompleks. Termasuk dalam beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar. Jangan merasa paling istiqamah dan lurus menjadi mujahid dakwah, serta menganggap pihak lain yang berbeda cara sebagai lemah dan tidak bernahi-munkar. Imam Syafii yang luas ilmu dan mulia sikap hidupnya berkata bijak, kalamy shawaabu yahtamilu al-khathaa, wa kalamu ghairy hathau yahtamilu al-shawaaba. Artinya: “Pendapatku boleh jadi benar tetapi berpotensi salah, sedangkan pendapat orang lain bisa jadi salah namun berpotensi benar.”!
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2020