Abdurrahman Ibn Auf adalah potret enterpreuner dan kemandirian dalam Islam. Ia kaya tapi tidak pernah terbelenggu dengan kekayaannya.
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Abdurrahman ibn ‘Auf masuk dalam deretan sahabat As-Sabiqun al-Awwalun (generasi pertama masuk Islam). Setelah masuk Islam, ia juga mendapat penganiyaan dan penindasan. Ketika Nabi saw. memerintahkan hijrah ke Habsyi, Ibn ‘Auf pun ikut. Namun, ia kembali lagi ke Makkah dan untuk kedua kalinya ia hijrah ke Madinah. Ia tinggalkan harta kekayaannya di Makkah. Sesampai di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan dengan sahabat Anshar. Biasanya, sahabat Anshar akan membagi dua seluruh kekayaannya dengan sahabat Muhajirin.
Secara kebetulan, sebagaimana diceritakan Khalid Muhammad Khalid dalam Rijal haul al-Nabiy, Ibn ‘Auf dipersaudarakan dengan sahabat Sa’ad ibn Rabi’. Anas ibn Malik menceritakan, Sa’ad mengatakan kepada Ibn ‘Auf, “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya. Sekarang, silahkan pilih separuh dari hartaku dan ambillah! Aku juga memiliki dua orang isteri, coba perhatikan mana yang lebih menarik menurutmu. Aku akan menceraikannya hingga engkau dapat memperisterinya.”
Lalu, apa jawab Abdurrahman ibn ‘Auf? “Semoga Allah memberkahi engkau, isteri dan hartamu. Terima kasih atas tawaran kebaikanmu. Tunjukkanlah saja aku letak pasar agar aku dapat berdagang.” Lalu, diajaklah Ibn ‘Auf ke pasar dan ia pun berniaga di sana. Berkat jiwa kewirausahaannya, hingga ada sahabat yang berkomentar, “Sungguh, kulihat Abdurrahman ibn ‘Auf seorang saudagar handal. Seandainya saja ia mengangkat batu, niscaya akan ia temukan di bawahnya emas dan perak.”
Jalan dagang atau bisnis atau –dalam istilah kekinian—semangat berwirausaha (enterpreneurship) yang dipilih Ibn ‘Auf di kemudian hari menjadikannya kaya raya. Hingga suatu hari kota Madinah yang tenang dan berudara bersih itu menjadi riuh dan berdebu. Ummul Mukminin Aisyah r.a. bertanya dalam hati, “Apa yang telah terjadi di kota Madinah?” Rupanya, ekspedisi dagang Abdurrahman ibn ‘Auf sebanyak 700 kendaraan baru datang dari Syam. Aisyah menggeleng-gelengkan kepala sembari menerawang jauh dan berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Wahai Ibn ‘Auf, engkau adalah termasuk golongan orang kaya raya. Dan aku melihat dirimu masuk surga secara berlahan-lahan (habwan, ada yang menerjemahkan merangkak). Maka, pinjamkanlah kekayaanmu itu kepada Allah, pasti Allah akan mempermudah langkahmu menuju surga.”
Sejak diingatkan Rasulullah, Ibn Auf yang sebelumnya sudah dermawan semakin dermawan. Semasa hidupnya, ia pernah menyerahkan 500 ekor kuda dan 1.500 kendaraan untuk keperluan jihad fi sabilillah. Menjelang wafatnya ia juga berwasiat 50.000 dinar untuk fi sabilillah dan memberikan santunan kepada eks pejuang perang badar dan masih hidup sebesar 400.000 dinar. Bahkan, Utsman bin Affan pun kebagian dan berkata, “bersih dan halal”.
Kekuatan dan kecerdasan finasial spiritual Abdurrahman ibn Auf tampaknya dibangun di atas landasan hubungan dengan Sang Khalik. Buktinya, meski kaya ia tetap ikut berjihad di jalan Allah hingga ada 20 bekas tusukan panah dan pedang di tubuhnya. Saat hendak berbuka puasa, ia pernah menangis karena ingat kematian Mush’ab bin Umair yang hanya ditutupi dengan sehelai kain burdah di tubuhnya, serta Hamzah dengan sehelai selendang yang tidak bisa menutupi seluruh tubuhnya. Begitu juga, saat sedang makan bersama pekerjanya seseorang tidak akan bisa membedakannya dari yang lain.
Ibn Auf adalah potret enterpreuner dan kemandirian dalam Islam. Ia kaya tapi tidak pernah terbelenggu dengan kekayaannya. Ia tidak pernah berhenti memberi dan Allah justru semakin menambahkannya. Allah mencintai hamba-Nya yang makan dari hasil tangannya sendiri.” Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. [HR Bukhari Muslim)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang berwirausaha.” Dalam sebuah Hadis disebutkan, “Dari Anas r.a. berkata, Nabi SAW bersabda ” Bukan orang yang baik diantara kamu, orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhiratnya, atau meninggalkan akhirat karena mengejar dunianya, sehingga dapat mencapai keduanya, karena dunia bekal untuk akhirat, dan janganlah kamu menyandarkan diri pada belas kasihan orang”. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk,Dosen STIT Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan Jatim, Penulis buku-buku motivasi Islam