Berlindung Dari Buruknya Pendengaran
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Salah satu indra dari pancaindra yang sangat vital pada manusia adalah pendengaran. Oleh karena itu, seketika bayi lahir, umumnya kelengkapan anggota tubuhnya yang ditanyakan oleh ibu sang bayi. Jika dia lupa atau belum menanyakannya, bidan, dokter, atau perawat yang menolong persalinan yang memberitahukan.
Sebelum mempunyai kemampuan membaca, manusia memperoleh informasi melalui pendengaran. Jika diperhatikan frekuensi penggunaannya, pendengaran digunakan lebih sering daripada penglihatan, Kegiatan mendengar dan/atau mendengarkan dimulai sejak orang wake up sampai menjelang tidur. Dalam keadaan gelap, pendengaran tetap dapat digunakan, sedangkan penglihatan tidak.
Dalam kenyataan, cukup banyak orang menghadapi masalah besar akibat gagal paham yang disebabkan oleh buruknya pendengaran. Keadaan yang demikian terjadi tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Kita perhatikan misalnya kisah Fir’aun. Dia mempunyai pendengaran dan dengan pendengarannya itu dia mendengar ajakan Nabi Musa ‘alaihi salam agar menyembah Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Namun, dengan kesombongannya, Fir’aun menolak ajakan tersebut, bahkan, mengaku dirinya sebagai tuhan. Akhirnya, dia dihukum oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Abu Thalib (paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) ketika dalam keadaan sakaratul maut mendengar ajakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengucapkan kalimat, “Laa ilaha illallah.” Namun, dia tidak mau mengucapkannya sampai meninggal. Dia lebih mendengarkan kata-kata Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah.
Di Indonesia sering ada orang yang mengaku nabi. Bahkan, ada pula yang mengaku malaikat. Mereka pun mempunyai pengikut. Mereka mendengar seruan agar meninggalkan ajaran sesat itu, tetapi menolak seruan itu.
Tidak kalah menariknya adalah kasus Taat Pribadi. Pengikutnya tidak hanya orang awam, tetapi juga orang yang berpendidikan tinggi. Mereka sudah mendengar berbagai nasihat, tetapi tetap saja bersikukuh.
Elite bangsa di mana pun ada yang sudah berkali-kali mendengar nasihat, tetapi sepertinya nasihat itu mental. Akibatnya, ada di antara mereka yang dimakzulkan.
Doa Mohon Perlindungan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memahami peranan pendengaran bagi kesejahteraan dan keselamatan dunia akhirat umatnya. Oleh karena itu, beliau memberikan tuntunan doa agar umatnya terhindar dari buruknya pendengaran, di antaranya, sebagai berikut.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّي
Ya Allâh! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari buruknya pendengaranku, buruknya penglihatanku, buruknya lidahku, dan dari buruknya hatiku serta buruknya angan-anganku. [HR. At-Tirmidzi]
Di samping itu, beliau pun memberikan tuntunan doa, di antaranya:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي لِسَانِي نُورًا وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا وَمِنْ أَمَامِي نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا وَمِنْ تَحْتِي نُورًا اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا
“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya dan di dalam lisanku (juga) cahaya. Jadikanlah di dalam pendengaranku cahaya dan di dalam penglihatanku (juga) cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku (juga) cahaya. Jadikanlan dari atasku cahaya dan dari bawahku (juga) cahaya. Ya Allah, berilah aku cahaya.” (HR Bukhari Muslim).
Doa tersebut merupakan doa yang diucapkan setelah salat witir. Dalam itu, terdapat permohonan memperoleh cahaya dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala! Subhaanallah, di antaranya, bagi pendengaran.
Ada pelajaran yang harus kita pahami berkenaan dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai orang beriman, kita mengimani bahwa pendengaran adalah ciptaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Kesempurnaan Pendengaran
Pernahkah kita merenung akan hal-hal berikut: (1) Mengapa pendengaran kita berdaun? (2) Mengapa lubang pendengaran kita tidak lurus? (3) Mengapa daunnya tidak bertulang keras seperti kerasnya tulang pada kaki atau tangan? (4) Mengapa pendengaran hanya mampu menangkap pada radius tertentu? (5) Mengapa umumnya, makin tua usia, makin berkurang daya dengarnya?
Subhaanallah! Banyak hikmah yang harus kita pahami secara utuh dari pendengaran kita. Semua yang ada pada pendengaran adalah sesuai dengan kebutuhan kita. Semuanya berfungsi untuk kebaikan kita.
Mari kita merenung: apa yang kita alami jika pendengaran tanpa “daun” dan berlubang lurus? Setidak-tidaknya, kita mengalami masalah ketika mandi keramas. Air dapat mengalir ke dalam pendengaran dan pasti menimbulkan masalah berikutnya.
Apa yang kita alami jika tulang pada pendengaran sekeras tulang pada kaki atau tangan? Kita tidak nyaman atau, malahan, tidak dapat tidur dengan posisi miring. Bantal pun jadi korban “kekerasan” tulang pendengaran, bukan?
Lalu, mengapa pendengaran hanya mampu menangkap suara atau bunyi pada radius tertentu? Apa yang kita alami jika, misalnya, ketika salat di masjid, kita mendengar suara tangis bayi atau percakapan di rumah atau di tempat lain, yang jaraknya 500 meter, atau mendengar suara tabrakan mengerikan meskipun dari tempat yang sangat jauh, khusyukkah salat kita? Dapatkah kita mengaji atau bekerja dengan tenang jika dapat mendengar suara atau bunyi apa saja dan dari mana saja? Tidak!
Tentu masih banyak yang dapat kita rasakan berkenaan dengan kesempurnaan pendengaran kita. Lalu, siapakah yang men-design pendengaran kita sedemikian supercanggih itu? Tidak ada seorang pun pakar yang mampu menciptakan pendengaran dengan kelengkapan organ dengan fungsinya yang supercanggih itu. Juga tidak ada pabrik sukucadangnya. Kita beriman bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala saja yang mampu menciptakan dan kita menerimanya built in.!
Mari kita renungkan hikmah berikutnya. Umumnya, makin tua usia, daya dengar berkurang. Hikmah di balik itu adalah bahwa segala seuatu ciptaan AllahSubhaanahu wa Ta’aala adalah sempurna, tetapi berbatas dalam genggaman-Nya, sedangkan Allah Subhaanahu wa Ta’aala Mahasempurna dan tidak berbatas.
Dalam kenyataan, ada orang yang hingga tua usia mempunyai pendengaran yang tetap bagus. Dengan sifat Mahasempurna, Allah Subhaanahu wa Ta’aala mempunyai hak mutlak memberikan kenikmatan tersebut kepada siapa pun. Bagi orang beriman, kenikmatan itu menjadi pahala karena amal salehnya atau dapat juga sebagai ujian apakah dia bertambah iman dan takwanya atau berubah menjadi sombong. Hak mutlak pula bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberikan kenikmatan itu kepada orang tak beriman sebagai istijraj agar makin terjerumus.
Berdasarkan keimanan bahwa pendengaran adalah ciptaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, kita wajib berdoa kepada-Nya agar terhindar dari buruknya pendengaran. Sudah tentu, ikhtiar pun wajib kita lakukan sebagai pengamalan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala surat ar-Ra’d (13): 11,
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Fungsi Pendengaran
Fungsi pendengaran dijelaskan dalam Alquran, di antaranya, dalam surat al-A’raf (7): 204
“Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Dari ayat itu kita ketahui bahwa fungsi pendengaran adalah untuk mendengarkan Alquran ketika dibacakan. Fungsi pendengaran dijelaskan juga dalam surat al-Insaan (76): 2-4
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya, Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sesungguhnya, Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala.”
Fungsi pendengaran dalam ayat itu dijelaskan untuk mendengarkan perintah dan larangan; mendengarkan mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Berkenaan dengan itu, kita tentu diwajibkan mengamalkan kebenaran dan kebaikan yang kita ketahui dengan mendengarkan dan meninggalkan kebatilan dan keburukan yang kita ketahui dengan mendengarkan sebagai pertanggungjawaban.
Dalam kenyataan, sering kita saksikan ketika menghadiri majelis taklim pun, ada orang yang bukannya mendengarkan dengan khusyuk tausiyah, melainkan “menyaingi” berceramah, bahkan, kadang-kadang diselingi tertawa juga. Akibatnya, meskipun sering mengaji, tidak ada perbaikan yang signifikan, baik dari segi akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah duniawiyah. Apakah pemanfaatan telinga yang demikian sesuai dengan fungsinya yang ditetapkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala? Orang-orang yang demikian mempunyai telinga, tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan.
Dalam surat al-A’raf (7): 179 Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Dalam Tafsir Al Azhar, Hamka menafsirkan ayat tersebut bahwa jin dan manusia diberi hati (pikiran), mata, dan pendengaran oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Namun, banyak yang tidak menggunakannya. Hati tidak digunakannya untuk mengerti kebenaran Ilahi. Mata tidak digunakannya untuk melihat kebenaran Ilahi. Pendengaran tidak digunakannya untuk mendengarkan kebenaran Ilahi. Menurut Hamka, manusia setinggi apa pun ilmunya, jika ilmunya itu tidak membuatnya sadar dan takut pada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, belumlah ia mendapat ilmu yang sejati.
Sumbatan pada Telinga
Hingga pertengahan tahun ’70-an, orang kampung yang menyelenggarakan “hajatan” apa pun umumnya “nanggap” wayang, orkes gambus, atau menyewa tape recorder atau gramophone player. Yang diperdengarkan pertama kali adalah pembacaan Alquran. Kemudian, tiap menjelang waktu salat, biasanya sekitar 10 menit sebelum salat, hiburan dihentikan. Sebagai penggantinya adalah doa sebelum azan dan dilanjutkan dengan azan.
Kebiasaan yang seperti itu, kini sudah tidak ada lagi; digantikan dengan lagu populer, campursari, dan dandut (termasuk dangdut koplo). Orang “hajatan” sepertinya tidak lagi mempunyai kesensitifan memilih jenis lagu dan iramanya. Cukup banyak orang yang menyelenggarakan resepsi pernikahan, membiarkan “petugas” memperdengarkan lagu yang liriknya “murahan” dan bertentangan dengan akhlaqul karimah, padahal tinggal di dekat musala atau masjid. Bahkan, terkesan tidak berdosa menyaingi suara azan dengan lagu-lagu seperti itu.
Masih ada yang lebih memprihatinkan lagi. Ketika masih ada orang salat berjamaah pun, dari rumah orang “hajatan” yang dekat dengan masjid atau musala, diperdengarkan kembali lagu-lagu hiburan yang jauh dari nilai religius islami.
Sangat mungkin jika di antara kita ada yang lebih sering menggunakan pendengaran untuk mendengarkan lagu maksiat, tentu lagu semacam itulah yang terekam dengan baik pada saraf kita yang berakibat menjadi sumbatan pada pendengarannya. Akibat selanjutnya, mereka kita sulit menerima pelajaran kebenaran dan kebaikan Ilahi. Bahkan, mereka mungkin menolak ketika ada orang yang memperdengarkan murotal Alquran dan lebih memilih mendengarkan lagu, padahal lagu itu, dari segi isinya, bertentangan dengan akhlaqul karimal. Malahan, ada pula yang bertentangan dengan akidah!
Pada sisi lain, ada orang yang sering menggunakan pendengaran untuk mendengarkan “pengajian.” Namun, “pengajian” yang didengarkannya berisi pandangan sesat dan menyesatkan misalnya pandangan yang menyatakan bahwa hanya pendapat sang kiai dan kelompoknyalah yang benar, sedangkan yang lain salah semua. Akibatnya, terjadilah sumbatan pada pendengarannya. Timbullah sikap arogansi dan eksklusif.
Pada jajaran elite bangsa pun ada yang menggunakan pendengaran untuk mendengarkan pendapat dan/atau sikap yang hanya menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Mereka tidak mau mendengarkan pendapat kelompok lain. Sangat mungkin hal itu terjadi karena ada sumbatan pada pendengarannya.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah jika mereka menganggap bahwa orang(-orang) yang berbeda pendapat adalah musuhnya, padahal boleh jadi dari orang(-orang) yang berbeda pendapat, diperoleh keobjektifan yang sangat bermanfaat bagi perbaikan. Namun, karena menganggap orang(-orang) yang berbeda pendapat adalah musuh, mereka melakukan tindakan yang kontraproduktif. Mari kita kaji secara cerdas dan jujur dalam sejarah bangsa kita sejak Sukarno hingga Jokowi: pernahkah hal itu terjadi?
Dalam hubungannya dengan sumbatan pada pendengaran, mari kita perhatikan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam surat Fushilat (41): 4-5
“ … yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula).”
Filter di Pendengaran
Pernahkah kita merasa tidak nyaman ketika mendengar gosip, baik di telvisi maupun dalam kehidupan sehari-hari? Tidak nyaman ketika mendengar lagu yang liriknya menimbulkan imajinasi porno, jorok, atau hal yang tidak baik lainnya? Juga tidak nyaman ketika kita mendengar pembicaraan kasar dan kotor? Tidak nyaman juga ketika kita mendengar pembicaraan mubazir?
Pada sisi lain, ketika ada teman mengajak berbicara yang mubazir, kita menolaknya. Ketika menonton televisi, ada acara “ngrumpi”, kita mengganti channel. Ketika terdengar dari radio lagu yang berlirik puji-pujian terhadap Allah Subhaanahu wa Ta’aala, salawat kepada Rasul-Nya, nasihat tentang mati dan alam akhirat, tetapi dikemas dengan irama yang merangsang berjoget, lalu kita mengganti gelombang!
Sementara itu, kita merasa nyaman ketika mendengar azan. Suara azan tidak sekadar kita dengar, tetapi kita dengarkan dengan khusyuk. Bahkan, suara itu tidak kita anggap sebagai panggilan atau seruan manusia, tetapi seruan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Oleh karena itu, ketika sedang bekerja, kita segera bergegas berhenti; dengan khusyuk menirukan suara azan sesuai dengan tuntunan, dan menuju masjid atau musala untuk memenuhi seruan itu. Mungkin ada yang lebih tinggi tingkatannya daripada itu: sebelum azan terdengar, sudah siap di masjid atau musala dalam keadaan suci dengan khusyuk mendengarkan dan menirukan azan.
Mungkin ini yang terjadi: ketika ayat Alquran dibacakan, meleleh air mata, bergetar hati, dan makin meningkat iman dan takwa kita tentang kebenaran Alquran sebagai firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Ya, hati gemetar seperti yang dijelaskan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam surat al-Anfal (8): 2
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat- ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, ….”
Mungkin pula ini yang terjadi. Ketika ada tausiyah dan/atau pembicaraan yang bermanfaat lainnya, merasa ada dorongan kuat dari dalam dirinya yang menyebabkan terjadinya perubahan: semula mendengar menjadi mendengarkan.
Boleh jadi, ketika mendengarkan lagu dan/atau puisi tertentu, ada yang merasa tersentuh halus tanpa merasa dipaksa atau digurui menjadi sadar bahwa dirinya adalah ciptaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang sangat lemah di hadapan-Nya dan sadar sebagai hamba-Nya yang banyak berbuat dosa. Lalu, timbul kesadaran untuk memperbaiki diri. Sangat mungkin pula, ketika mendengarkan lagu dan/atau puisi makin sadar bahwa Allah Mahabesar, Mahakuasa, Mahatahu, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan sifat-sifat lain yang hanya dimiliki oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Getaran jiwa seperti itu mungkin terjadi ketika mendengarkan misalnya lagu Tuhan yang dinyanyikan oleh Bimbo
Tuhan/Tempat aku berteduh/di mana aku mengeluh/dengan segala peluh//Tuhan/
Tuhan Yang Maha Esa/di mana aku memuja/dengan segala doa//
Aku jauh, Engkau jauh//Aku dekat, Engkau dekat//Hati adalah cermin//Tempat pahala dosa bertaruh//
Tuhan/Tempat aku berteduh/di mana aku mengeluh/dengan segala peluh//
Aku jauh, Engkau jauh//Aku dekat, Engkau dekat//Hati adalah cermin//Tempat pahala dosa bertaruh//
Tuhan/Tuhan Yang Maha Esa//di mana aku memuja/dengan segala doa//
Perlu kita pahami bahwa hidayah merupakan hak prerogatif Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Namun, manusia wajib menjemputnya dengan berdoa dan berikhtiar. Hidayah itu dapat diperoleh melalui pendengaran.
Ada orang yang diberinya melalui jalan mendengar kemudian berubah menjadi mendengarkan azan dan pembacaan ayat Alquran. Bukankah banyak orang bersyahadat setelah mendengarkan azan dan/atau ayat Alquran?
Ada juga orang yang diberi hidayah melalui jalan mendengarkan lagu religius islami. Banyak orang yang akhirnya bersyahadat setelah mendengarkan lagu religius islami. Di samping itu, banyak pula orang Islam menjadi makin bertambah ilmunya dan tergerak hatinya untuk mengamalkan ilmu itu karena sentuhan halus lagu sehingga istikamah melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan meninggalkan larangan-Nya. Bukankah Chrisye ketika melantunkan lagu “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”, yang liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail, yang terinspirasi oleh surat Yasin (36): 65, sangat menghayati sampai menangis dan penghayatannya itu menambah keimanan dan ketakwaannya? Inilah lirik lagu yang membuatnya menangis.
Ketika Tangan dan Kaki Berkata
Akan datang hari mulut dikunci//Kata tak ada lagi//Akan tiba masa tak ada suara/Dari mulut kita//
Berkata tangan kita/Tentang apa yang dilakukannya//Berkata kaki kita/Ke mana saja dia melangkahnya//
Tidak tahu kita bila harinya/Tanggung jawab tiba//
Rabbana/Tangan kami/Kaki kami/Mulut kami/Mata hati kami/Luruskanlah/Kukuhkanlah/Di jalan cahaya/Sempurna//Mohon karunia kepada kami/Hamba-Mu yang hina//
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”
Jika kita sudah mampu secara spontan memilih mendengarkan kebenaran dan kebaikan Ilahi, berarti pada telinga kita telah ada filter. Filter itulah yang senantiasa menyaring mana yang benar dan mana yang salah; mana yang baik dan mana buruk menurut Alquran dan hadis. Yang benar dan baik didengarkannya, sedangkan yang salah dan yang buruk ditinggalkannya.
Perlu kita pahami pula bahwa berwudu dengan membersihkan telinga hakikatnya mengandung pelajaran yang berkenaan dengan doa dan ikhtiar menjaga pendengaran agar bersih dari kemaksiatan. Jadi, aneh jika ada orang sudah berwudu beribu-ribu, bahkan, berjuta-juta kali, tetapi belum menggunakan pendengaran sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Rahmatan lil ‘Aalamiin
Kita tidak ingin ada sumbatan pada pendengaran agar nyaman mendengarkan ayat-ayat Alquran dan selalu ingin mendengarkannya. Kita ingin khusyuk mendengarkannya sampai-sampai tidak merasa bahwa air mata telah membasahi pipi apalagi ketika salat jahr. Kenikmatan pun makin terasa ketika imam salat membaca ayat Alquran dengan fasih, suara, dan lagu yang merdu. Tidak ingin segera selesai.
Pengaruh positif selanjutnya adalah kita terus-menerus berusaha memahami isi Alquran. Kemudian, kita berusaha mengamalkannya dalam kehidupan. Dengan mengamalkannya, kita merasa bahwa hidup dengan panduan Alquran sangat indah dan mulia. Kehidupan orang tua dan anak, misalnya, saling menyayangi dan mencintai. Kehidupan bertetangga diwarnai saling mencintai, tidak hanya yang seagama, tetapi juga yang berbeda agama. Kita dijadikan teladan. Inilah kiranya makna bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘aalamiin. Jika keadaan demikian terwujud, berarti kita telah menggunakan pendengaran sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala, yakni beribadah, yang berarti pula bahwa kita mensyukuri nikmat-Nya.
Wa Allahu a’lam.
Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota