Judul : Filantropi Masyarakat Perkotaan: Transformasi Kedermawanan oleh Gerakan Islam di Yogyakarta, 1912-1931
Penulis : Ghifari Yuristiadhi
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : September 2020
Tebal, ukuran : xxviii + 280, 14 x 21 cm
Buku dari hasil penelitian tesis ini berisi tentang sejarah gerakan sosial Islam di Yogyakarta pada abad ke-20, khususnya Muhammadiyah. Ghifari Yuristiadi secara analitis mengajak kita memahami bagaimana aktor-aktor intelektual Muslim Yogyakarta mereproduksi pengetahuan yang berhubungan dengan gerakan sosial Islam hingga mengarahkan implementasi gerakannya ke dalam aksi kedermawanan secara nyata.
Pembahasan dalam buku ini bisa dibagi menjadi 3 bagian: kemunculan kelas menengah Muslim, paradigma baru kedermawanan, dan institusionalisasi aksi kedermawanan. Pertama, penulis mengajak pembaca memahami terlebih dahulu bahwa filantropi bukanlah kesadaran sosial yang muncul begitu saja dari ruang kosong. Namun, ada konteks politik-ekonomi pemerintah kolonial Belanda dan kondisi sosial Yogyakarta di awal abad ke-20 yang melatarbelakanginya.
Kondisi yang terjadi di negara jajahan tidak bisa dilepaskan dari nuansa perpolitikan di Eropa. Kondisi di Eropa paruh kedua abad ke-19 kala itu, kemenangan korporat telah mengonsolidasi dirinya keluar dari lingkaran pemerintah dan berdiri secara otonom dan berpengaruh besar pada sistem perekonomian dunia. Semangat ekspansi korporat di bawah asas ekonomi liberal telah memengaruhi pula kebijakan politik ekonomi negara Barat hingga ke daerah koloni.
Di Hindia Belanda, kondisi ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Agraria 1870. Yogyakarta yang memiliki status daerah Vorstenlanden juga tidak luput dari pengaruh kebijakan liberalisasi ekonomi Belanda ini. Dampaknya tidak hanya pada perubahan sistem kepemilikan tanah, tetapi berbuntut juga pada relasi sosial produksi, demografi penduduk, hingga kemunculan kelas menengah. Terbentuk kelas sosial-ekonomi baru yaitu kelas menengah, yang nantinya memotori aksi-aksi kolektif masyarakat, seperti aksi kedermawanan.
Kedua, di bagian ini, pembaca diajak untuk melihat hubungan antara kemunculan kelas menengah di Yogyakarta dan transisi paradigma filantropi. Bahasan ini menjadi menarik karena masih belum banyak peneliti kajian filantropi –meskipun menekankan aspek volunteerism dalam gerakan kedermawanan– yang mendalami proses reproduksi pengetahuan yang dilakukan oleh aktor-aktor penggerak aksi kedermawanan.
Ghifari dalam hal ini berhasil menangkap kontestasi pengetahuan modern Barat dan pembaruan teologi Islam dari Timur Tengah yang tengah terjadi dan hadir di lingkup intelektual Yogyakarta, seperti KH Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Fachrodin, Abdoel Moeis dan Kiai Sudja’. Mereka inilah aktor-aktor yang dapat mengakses dan masuk ke dalam pusaran diskursus pengetahuan global. Kesempatan mengakses pengetahuan global itu tentu tidak bisa lepas dari latar kemampuan ekonomi kelas menengah saat itu. Dari sanalah kemudian, para intelektual ini meramu formula praktik-pratik kedermawanan untuk menanggapi kesenjangan kesejahteraan bumiputra Yogyakarta.
Ketiga, bergerak lebih jauh, Ghifari juga mengamati praktik baru kedermawanan para intelektual Muslim Yogyakarta ini diinstitusionalisasi. Pembaca akan lebih memahami semangat organisasi masyarakat Islam, seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam, di tengah kolonialisme. Institusionalisasi gerakan kedermawanan Islam di Muhammadiyah semakin nyata dengan diresmikannya Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada 18 Juni 1920. Penulis juga memotret kesemarakan filantropi Islam yang dijalankan oleh perempuan Yogyakarta melalui organisasi ‘Aisyiyah.
Kelebihan lain dari karya ini adalah kekayaaan sumber data primer yang beragam dan kontekstual. Di samping itu, pengalaman penulis dibimbing oleh Bambang Purwanto juga memberi pengaruh pada paradigma postcolonialism dalam karya ini. Kerangka berpikir ini tampak dari bagaimana penulis memosisikan peran gerakan aktor-aktor sosial Muhammadiyah dalam mereproduksi pengetahuan dan menjalankan praktik filantropinya. Pengarusutamaan kerangka postcolonialism ini tidak akan terbentuk bila sumber sejarah yang dipakai hanya dari dokumen pemerintah Belanda. Dalam karya ini, kita bisa menemukan keberimbangan sumber sejarah antara dokumen “resmi” dan sumber yang lebih aktor-sentris, sehingga peran masyarakat bumiputra menjadi lebih terang. (Yayum Kumai)
Bukunya dapat dipesan di sini