Saya ingin memulai tulisan ini dengan dua landasan teoritik yang mestinya kita semua sepakati. Pertama tujuan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Kedua dalam menjalankan organisasinya, Muhammadiyah menganut asas kolektif kolegial. Artinya Muhammadiyah senantiasa berusaha mengamalkan ajaran Islam secara kaffah atau komprehensif, dan tidak parsial. Selanjutnya dalam menjalankan organisasinya, Muhammadiyah menganut asas kepemimpinan kolektif, dan bukan mengandalkan ketokohan.
Dua landasan teoritik di atas saya perlu kita gunakan saat menganalisis sikap Muhammadiyah terhadap Perancis, berkaitan dengan kartun Charlie Hebdo, pernyataan Macron dan juga pemenggalan kepala seorang guru sekolah oleh seorang pelajar muslim. Jika kita melihat secara kronologis melalui pemberitaan media massa, pertama jelas bahwa Muhammadiyah telah mengeluarkan kecaman terhadap Presiden Macron.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad dan Anwar Abbas. Kedua saat ditanya mengenai pemenggalan kepala yang dilakukan oleh pelajar terhadap gurunya, giliran Abdul Mu’ti yang angkat bicara bahwa pelajar tersebut merupakan seorang kriminal, bukan pahlawan.
baca juga: Tidak Ada Toleransi Terhadap Pelecehan Tokoh Suci Agama Apapun
Ketua Umum PP. Muhammadiyah Haedar Nashir sendiri mengeluarkan dua buah tulisan, pertama berjudul Muhammad Nabi Mulia. Dalam tulisannya tersebut Haedar menyindir sekelompok orang yang mengaku berperadaban modern namun menghina sosok mulia tersebut. Tentu saja kita tahu bahwa arahnya adalah kepada Charlie Hebdo.
baca juga; Prof Haedar Nashir: Muhammad Figur Mulia
Tulisan kedua berjudul Terkurung Dunia Kecil, dalam tulisan yang kedua ini Haedar masih tetap mengkritik Charlie Hebdo yang disebutnya mengaku modern namun primitif. Selain kritik terhadap Charlie Hebdo, Haedar juga mengingatkan kita agar tidak terjebak kepada ekstremisme yang justru akan menjadi jebakan bagi kita sendiri.
Dari uraian di atas, jelas bahwa menunjukan bahwa dirinya adalah organisasi yang berusaha secara komprehensif memahami dan mengamalkan Islam. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah basyiiran wa nadziiraa. Pembawa kabar gembira sekaligus juga pemberi peringatan. Muhammadiyah melalui sikapnya dengan tegas memberikan peringatan bahwa Presiden Macron tidak seharusnya mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hati umat Islam.
Muhammadiyah pun bersama ormas Islam lainnya turut berperan dalam mendorong Presiden Jokowi agar mengeluarkan kecaman terhadap Perancis. Pada akhirnya Presiden mendengarkan suara umat Islam dan mendapatkan apresiasi dari umat Islam.
Namun selain pemberi peringatan, agar Islam kita kaffah dan tidak parsial, Muhammadiyah pun harus menjadi pemberi kabar gembira. Hal ini membuat Muhammadiyah tetap mengutuk aksi-aksi yang tidak sejalan dengan nilai universal kemanusiaan seperti pemenggalan.
Tentu saja soal ini kita tidak bisa mengaitkannya dengan qishash, karena kalau kita mau memakai qishash, maka kartun ya harus dibalas dengan kartun, itu qishash namanya. Kalau kartun dibalas pembunuhan itu sudah bukan qishash lagi. Pembahasan ini masuknya ke dalam hukuman bagi penghina Nabi. Muhammadiyah lebih memilih menjadi basyiir (pemberi kabar gembira) bahwa Islam tetap tidak menolerir peristiwa pembunuhan walaupun dengan alasan membela Nabi.
Saya pikir sikap Muhammadiyah ini hampir sudah menjadi ijmak umat Islam se dunia bahwa kita harus marah sebagai bentuk ghirah kita terhadap Islam saat nabi dihina. Di sisi lain peristiwa pemenggalan main hakim sendiri terhadap penghina nabi tidak bisa dibenarkan.
Kenapa saya katakan hampir, karena tentu kita tidak bisa menutup mata masih banyak pula yang menyetujui aksi pemenggalan tersebut. Jika kita melihat sikap Muhammadiyah dalam dua kerangkat teori di atas, maka kita tidak akan terjebak pada framing bahwa Muhammadiyah hanya bersikap lunak dan tidak tegas terhadap insiden ini. Bahkan framing ini ditujukan pada dua tokoh sentral Muhammadiyah yang jelas menyalahi teori kedua bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang bersifat kolektif kolegial.
Saya berbaik sangka bahwa memang ada semacam ketidaktahuan dan kesalahpahaman kenapa framing tersebut terjadi. Tinggal bagi kita ke depan adalah mesti membaca Muhammadiyah secara lebih utuh juga dengan landasan teoritik yang benar. Jika membaca Muhammadiyah namun sudah mempunyai asumsi yang buruk sebelumnya maka hasil bacaannya juga pasti buruk. Namun saya tidak mau berburuk sangka seperti itu. Sekali lagi saya tetap berbaik sangka bahwa ini soal ketidaktahuan saja.
Oleh Robby Karman, Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah