Bahagianya Tuh Di Sini!
Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Alkisah ada seorang anak muda yang sedang galau mencari orang bijak. Ia berharap ada seseorang bisa membantu menyelesaikan segala persoalan yang menderanya. Sudah banyak guru yang didatangi. Maka, sampailah ia di rumah seorang kakek tua di pinggir danau. Kakek itu menyodorkan secangkir air yang dibubuhi sesendok garam dan menyuruh anak muda itu untuk meminumnya. Tentu saja, anak muda itu kaget keasinan.
Setelah itu, dibawanya anak muda itu ke tepi danau. Ditaburkannya sekarung garam ke dalam danau. Setelah itu, anak muda itu disuruh merasakan air dari danau. Anak muda itu tidak terasa keasinan. Biasa saja, tetap tawar. Kakek itu lalu berujar, “Gelas adalah simbol hatimu yang sempit dan danau adalah simbol hati yang luas. Sementara itu, garam adalah simbol masalah yang menderamu. Jika hatimu sempit, maka sedikit masalah saja akan menyiksamu. Tetapi, jika hatimu seluas danau dan samudera, maka dirimu akan tetap bahagia dan tidak akan merasa galau.”
Begitulah perumpamaan hati dan masalah yang mendera seseorang. Dalam danau atau samudera yang luas terdapat berbagai macam benda. Ada yang indah dipandang mata, tetapi ada juga yang mengerikan. Di dalamnya ada bangkai kapal dan ikan besar yang siap menerkam, tetapi ada juga mutiara yang mahal tiada tara dan terumbu karang yang mempesona. Semua ditampung di dalamnya. Danau dan samudera tidak pernah merasa keberatan. Mungkin seperti itulah gambaran kita saat hendak mambangun manajemen hati. Jika hati seluas samudera, maka kenyataan hidup adalah masalah kecil dibandingkan dengan luasnya hati.
Sama halnya ketika kita menghadapi pandemic yang belum kunjung selesai seperti sekarang ini. Jika pandemic ini dianggap besar yang (rasanya) sulit diselesaikan, maka pandemic akan menyiksa hati banyak orang. Namun, jika pandemi ini dihadapi dengan lapang dada, hati seluas samudera, maka kita akan santai-santai saja. Apalagi jika dihadapi dengan penuh ikhtiar dan senantiasa berpasrah diri kepada Allah. Inilah sebuah proses manusia menjalani hidup di antara rentetan masalah yang melingkupinya.
Dalam firman-firman-Nya, Allah sesungguhnya lebih melihat prosesnya, bukan hasilnya. Dalam proses itu pula kita bisa menikmati hidup kita. Masalah yang dihadapi manusia hampir semuanya sama. Yang berbeda adalah bagaimana cara dan sudut pandang kita menghadapinya? Ada yang menghadapinya dengan bahagia, dan tidak sedikit yang menjalaninya dengan penuh sengsara. Ibarat seorang anak kecil yang mengejar layang-layang, maka ia sesungguhnya sedang menikmati proses pengejaran itu. Tidak ingat bahaya yang ada di depannya. Ketika layang-layang ada di tangan, ia merasa lega dan kenikmatan itu (seakan) telah berakhir.
Dengan demikian, proses hidup itu adalah menikmati sebuah fenomena dan realitas yang kita hadapi dengan respons. Respons itu bisa bermacam-macam. Tergantung kepada kita bagaimana memaknainya. Jika hati kita luas, maka hidup yang serba berkekurangan urusan duniawi itu akan terasa bahagia. Tetapi, jika dianggap sebagai masalah besar (terutama) karena ketergantungan dan keterikatan kita pada dunia, maka kita akan didera stress dan galau.
Masih ingat kisah Nabi Musa saat diperintahkan Allah untuk datang ke hadapan Fir’aun. Saat itu Nabi Musa terasa gentar dan dadanya terasa sesak, karena jelas di depan matanya Fir’aun jauh lebih berkuasa dari dirinya yang hanya seorang penggembala. Nabi Musa lalu menyodorkan Nabi Harun yang (sebagai alasan Musa) lebih fasih dengan perkataannya. Maka, sebagaimana termaktub dalam QS. Thaha: 25-28, “Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, 26. dan mudahkanlah untukku urusanku, 27. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, 28. supaya mereka mengerti perkataanku.” Doa yang sangat luar biasa yang diajarkan kepada Nabi Musa dan kita semua agar hati (dada) kita tetap luas seluas samudera. Bahagiakan dirimu, lalu nikmatilah hidup ini. Sekali lagi, jangan lupa bahagia! Wallahu a’lamu.