Walau sudah dijalankan selama lebih dari empat belas abad, ternyata para ahli astronomi (ilmu falak) juga ahli ilmu fikih masih terus memperdebatkan kapan permulaan waktu subuh. Bahkan, sampai hari kesepakatan itu belum pernah tercapai.
DI Indonesia, perdebatan tentang itu kembali menghangat setelah kehadiran Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi beberapa tahun yang lalu. Saat itu Syaikh Mamduh melakukan koreksi waktu subuh di Indonesia yang dia rasa dimulai terlalu malam, karena dilakukan ketika hari masih gelap. Setelah itu perdebatan terus meluas, juga di kalangan Muhammadiyah.
Majelis Tarjih Kembali Kaji Waktu Subuh
Menelaah Awal Waktu Subuh dan Kalender Islam Global
Hasil Kajian Ilmuwan Muhammadiyah, Waktu Shalat Subuh Perlu Dikoreksi?
Kriteria waktu shalat
Pakar Ilmu Falak Muhammadiyah Dr Oman Faturahman SW, dalam Diskusi Jelang Munas Tarjih ke-31 yang dilakukan secara daring 14 November pagi, menyatakan kalau pada dasarnya waktu shalat yang ada selalu ditandai dengan hal yang kelihatan. Subuh dimulai saat terbit fajar, dhuhur dimulai saat matahari tergelincir, waktu ashar ditandai dengan panjang bayangan dua kali benda, maghrib ditandai dengan waktu matahari tenggelam, sedangkan isak dimulai saat hilangnya mega merah semua di langit barat. Semua visual. Semua memakai waktu posisi matahari di cakrawala.
Untuk waktu subuh, disebut saat terbit fajar. Itu posisi matahari di mana? Dalam ilmu falak, matahari dalam posisi berapa derajat? Yang visualnya dari yang semula tidak ada sinar kemudian ada sinar. Padahal matahari belum muncul. Kapan matahari bisa memberikan pantulan sinarnya?
observasi Waktu Subuh
Untuk itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, Muhammadiyah terus melakukan observasi di beberapa tempat. Tiga tempat utamanya di Yogyakarta dilakukan oleh pusat falak Universitas Ahmad Dahlan, di Medan oleh Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara serta di Jakarta oleh Tim UHAMKA. Semua observasi ditujukan untuk melihat posisi matahari saat terbit fajar. Hasilnya ternyata tidak tunggal.
“Dari sekian banyak observasi beberapa tahun itu, hasilnya sangat bervariasi. Ada yang minus 18, minus 19,minus 16, dan lain sebagainya. Maka harus dipilih. Namun, mau dalam memilih itu tidak bisa sekedar, tapi harus ada metodenya.” Jelas Oman Faturahman.
Untuk itu Munas Tarjih yang akan datang akan mendiskusikan kembali metode apa yang akan digunakan untuk memilih semua data observasi yang telah kita peroleh tersebut. Apakah sekedar memakai data statistik ala ilmu sosial, yang paling banyak itu yang dipakai. Namun, tidak sesederhana itu. Dalam metode penentuan awal misalnya, banyak lembaga yang memakai bukan yang paling sering kelihatan, tapi yang paling rendah derajatnya. Walau hanya muncul satu kali dalam sekian banyak observasi.
“Jadi, masalah kita tidak sekedar angka derajat, Ini yang perlu didiskusikan ulang.” Jelas Oman
Agenda Munas Tarjih
Menurut Oman, warga Muhammadiyah itu sangat kritis, kalau jadwal shalat kita ada selisih satu menit saja dengan yang lain, banyak yang akan bertanya mengapa kita berbeda dengan yang lain. Menurut Oman, walau tampak sepele pertanyaan itu merepotkan karena harus dengan hitung-hitungan, sedangkan kita tidak tahu lembaga yang berbeda itu pakai metode apa.
Selain membahas waktu subuh yang masuk dalam sub pembahasan pengembangan HPT, munas tarjih yang akan berlangsung mulai 28 November- 20 Desember 2020 secara daring dan luring itu juga akan membahas masalah fikih difabel, fikih zakat kontemporer, fikih Agraria, serta tentang Palliative care dan Euthanasia. (mjr)