YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dari berbagai macam opini yang beredar di masyarakat, masih banyak yang menganggap KH Ahmad Dahlan hanya sebagai sosok organisatoris dan mengenyampingkan perannya sebagai tokoh intelektual. Hal tersebut diilhami dengan banyaknya orang yang mengenal beliau sebagai tokoh pendiri Muhammadiyah, organisasi Islam modern terbesar di Indonesia.
Padahal, peran KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh intelektual yang berwawasan luas tidak terbantahkan dari sisi mana pun. Sebelum mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan adalah sosok guru yang mengajar akhlak di sebuah seokolah Katolik di Yogyakarta.
Kemudian di tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan sekaligus membentuk empat bidang untuk menggerakkan perubahan, diantara bidang dakwah, sekolah, kesehatan, dan literasi.
Dalam ranah pergaulan, KH Ahmad Dahlan merupakan tokoh yang memiliki radiasi pergaulan yang luas, mulai dari pejabat sampai rakyat biasa pernah beliau ajak diskusi. Sehingga keluesan dan keluasannya dalam bergaul membuat KH Ahmad Dahlan terbuka dalam menyikapi segala perbedaan. Hal inilah yang membuat KH Ahmad Dahlan mampu keluar dari cara berpikir konfesional menuju kontruksi berpikir yang out of the box.
Suara Muhammadiyah
Deni Asy’ari, Direktur Utama Suara Muhammadiyah menyampaikan, sejak berdirinya, Muhammadiyah merupakan gerakan literasi yang berorientasi kepada dakwah. Dibentuknya Majelis Literasi yang saat ini bernama Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) merupakan sebuah usaha untuk menghadirkan dialektika di dalam hidup bermasyarakat, yang ketika itu perbedaan masih menjadi hal yang dapat memicu perdebatan, penghinaan, kebencian, dan lain sebagainya.
“Pada saat itu KH Ahmad Dahlan sangat yakin dan percaya diri bahwa hanya melalui literasi, dakwah yang berkemajuan bisa hadir di tengah masyarakat,” ujarnya dalam sebuah diskusi dengan tema “Menelusuri Jejak Perjuangan Muhammadiyah Melalui Tulisan” yang diselenggarakan oleh DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (18/11).
Literasi menjadi pilihan yang sangat strategis dalam perjuangan Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan literasi memiliki hubungan yang saling beririsan dengan tujuan Muhammadiyah yang sebenarnya, yaitu mensyiarkan dakwah Islam berkemajuan.
Maka berselang tiga tahun setelah Muhammadiyah berdiri, lahirlah Majalah Suara Muhammadiyah (1915) sebagai corong bagi tokoh dan pimpinan Muhammadiyah untuk menyebarluaskan ide dan gagasannya.
“Sampai saat ini Majalah Suara Muhammadiyah menjadi media Islam tertua di Indonesia dan akan terus berkomitmen menghadirkan gagasan-gagasan Islam yang moderat dan berkemajuan,” tegas Deni Asy’ari.
Majalah Suara Muhammadiyah memiliki sejarah yang sangat panjang. Majalah ini terus tumbuh dan berkembang dengan identitas yang kuat. Setidaknya ada tiga ciri khas dari majalah Suara Muhammadiyah. Pertama, mendorong adanya rasionalitas dalam berpikir masyarakat.
Kedua, menjembatani hadirnya dialektika antara agama dengan kehidupan modern. Ketiga, upaya menyadarkan pentingnya berbahasa Indonesia dan cinta tanah air. Maka dari itu, di paruh abad ke-20, lahir tokoh-tokoh intelektual muslim yang memiliki peran luar biasa, yaitu Buya Syafii Maarif, Haedar Nashir, Amien Rais, Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan masih banyak lainnya.
Deni menambahkan, dari sekian banyak jejak digital yang dimiliki Muhammadiyah, literasi merupakan tonggak awal perjuangan Muhammadiyah untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan masyarakat. Dari dulu hingga sekarang, Majalah Suara Muhammadiyah tidak hanya membawa spirit literasi, namun juga spirit bisnis berbasis jamaah.
“Di majalah Suara Muhammadiyah edisi awal akan banyak kita temui iklan hasil pertanian masyarakat, obat-obatan, alat rumah tangga, dan lain sebagainya. Hal ini menjukkan bahwa Muhammadiyah telah meletakkan pondasi yang kuat terhadap sektor bisnis persyarikatan,” paparnya.
Suara ‘Aisyiyah
Adib Sofia, Pimpinan Redaksi Suara ‘Aisyiyah mengatakan, sprit awal dari lahirnya Suara Aisyiyah pada tahun 1926 adalah jihad literasi. Ada tiga tahapan dalam jihad literasi yang dilakukan oleh Suara Aisyiyah.
Pertama, tahap melek Aksara. Upaya memberantas buta aksara, menggugah kemampuan membaca dan menulis, memotivasi serta mendorong masyarakat untuk suka membaca. Tahap ini berlangsung pada kisaran tahun 1926 sampai 1940 an.
Kedua, tahap melek diri. Usaha memberantas kebodohan dalam hal agama, ilmu, dan pengetahuan. Mendorong hadirnya kesetaraan bagi kaum perempuan dan lain-lain. Ketiga, tahap melek problem zaman, yaitu memberikan respon terhadap masalah kekinian seperti ketidakadilan sosial dan tantangan budaya yang banyak menjerat masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan.
“Suara Aisyiyah merupakan kekayaan intelektual yang kita miliki. Maka hidupilah Suara Aisyiyah agar dapat terus memberikan pencerahan kepada masyarakat,” ungkapnya. (diko)