Memaknai Musibah

Judul               : Tafsir Musibah: Esai Agama, Lingkungan, Sosial-Politik, dan Covid-19

Penyunting      : Sudarnoto Abdul Hakim dan Zubair

Pernerbit          : Suara Muhammadiyah

Cetakan           : 1, September 2020

Tebal, ukuran  : xvi + 298 hlm, 15 x 23 cm

ISBN               : 978-623-7993-08-7

Kehidupan manusia di dunia adalah ujian. Manusia tidak bisa lari dari musibah, rahmat, dan berbagai takdir Tuhan lainnya. Tidak ada musibah, kecuali atas ketetapan dan seizin Allah (At-Taghabun: 11). Musibah merupakan cara Allah menyampaikan pesan kepada manusia. Musibah ada yang terjadi karena merupakan sunnatullah atau proses alamiah yang memang harus terjadi pada alam, semisal gempa.

Ada pula musibah yang terjadi karena dosa sosiologis manusia, semisal merusak alam, maka bencana terjadi. Bencana merupakan cara alam berevolusi dan menciptakan keseimbangan baru. Alam raya dan seisinya berjalan di atas hukum keseimbangan dan keteraturan. Manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi kerap merusak tatanan, dan manusia pula yang menerima akibatnya. Ada kalanya, kata Farid Hamzens, perilaku manusia menjadi penyebab terjadinya bencana yang berujung musibah (Qs. Ali Imran: 165, An-Nisa: 62, Rum: 36, Asy-Syura: 30). Bahkan, ungkap M Agus Suriadi, ada juga bencana sosial-politik-kemanusiaan karena sepenuhnya ulah manusia, seperti korupsi dan tamak.

Menurut Fuad Fansuri dan Andi Faisal Bakti, bencana dalam Al-Qur’an terjadi karena banyak sebab, sehingga Qur’an menyebutnya dengan banyak terma, seperti: musibah, bala’, fitnah (hlm 44). Ketika musibah terjadi, manusia diperintahkan untuk tidak larut dalam keterpurukan. Ketika seseorang mampu bangkit dari keterpurukan bala’, maka ia pada akhirnya akan mencapai kenikmatan dan rasa syukur. Musibah merupakan ujian untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Respons manusia terhadap bencana baik sebelum, pada saat terjadi, dan setelah bencana, akan menentukan tingkat musibah. Tingkat perilaku manusia menghadapi bencana ditentukan oleh kesadaran atau tingkat literasi bencana, keyakinan tentang konsekuensi bencana. Islam yang bermuara pada Qur’an dan Hadis seharusnya menjadi sumber keyakinan kita tentang bencana. Tafsir ayat-ayat tentang bencana harus mampu menggerakkan kita untuk membentuk sikap menghadapi bencana, menjadi landasan untuk diacu, dan membentuk kepercayaan dan tindakan dalam menganggulangi bencana (hlm 50).

Ruswan berpandangan bahwa pemeliharaan ekologi dapat menjadi salah satu unsur dari maqashid syariah. Alam raya merupakan sarana supaya manusia mampu menjalankan kehidupan dan memenuhi lima maqashid syariah yang lain, sehingga berlaku kaidah: ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (hlm 66).  Kerusakan ekologi terus terjadi karena pengabaian. Oleh karena itu, para ahli agama harus melakukan penyadaran tentang pentingnya menjaga alam melalui dakwah yang bijaksana.

Mitigasi dan kesiap-siagaan bencana merupakan keharusan. Setelah melakukan segenap usaha mitigasi dan penyikapan yang rasional, tugas manusia selanjutnya adalah bertawakkal. Belajar dari masa lalu dan berdoa supaya dihindarkan dari bencana. Menurut Zubair, doa merupakan ekspresi kecerdasan intelektual yang berpadu dengan kecerdasan spiritual tertinggi sehingga menempatkan seseorang pada level kehambaan yang sejati (hlm 79). Allah tidak membebami manusia melainkan sesuai kadar kesanggupannya (Al-Baqarah: 286).

Ada banyak lagi tulisan di buku ini yang ditulis oleh para akademisi UIN Jakarta dan diinisiasi oleh alumni IMM Ciputat, seperti Amirul Hadi yang berkisah tentang pengalamannya menjadi korban bencana tsunami Aceh. Ada tulisan Duha Hadiyansyah tentang rumus: Bobot Duka = Nilai Musibah + Dukungan Sosial + Kekuatan. Buku yang diberi prolog oleh M. Yunan Yusuf dan epilog oleh Haedar Nashir perlu dibaca di masa pandemi. (ribas)

Bukunya dapat dibeli di sini

Exit mobile version