YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Kolaborasi Aliansi Universitas Indonesia Toleran, Jaringan Intelektual Berkemajuan, Indonesian Diaspora Network Australia, dan Suara Muhammadiyah berhasil menyelenggarakan bedah buku Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Darul Ahdi wasy Syahadah: Elaborasi Siyar dan Pancasila pada 28 November 2020. Buku karya Hasnan Bachtiar ini dibedah oleh mantan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin, dosen Unika Widya Mandala Prof Anita Lie, dan Kapordi Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Prof Amelia Fauzia, serta dimoderatori Diana Pratiwi.
Buku yang bermula dari penelitian magister di bawah bimbingan Prof James Piscatori ini mengaktualkan konsep siyar yang mulanya merupakan disiplin tentang hukum perang dan hubungan internasional dalam kajian Islam yang berkaitan dengan teritori Islam dan teritori non-Islam. Dalam praktiknya, siyar juga berkaitan dengan relasi Islam dan non-Muslim, termasuk di dalamnya tentang pembagian wilayah Islam (dal al-Islam) dan wilayah non-Islam (dar al-harb). Di era negara bangsa, sebagian kalangan Muslim masih merindukan hadirnya negara Islam yang berimplikasi pada relasi dengan warga negara lainnya.
Hasnan mengkaji permasalahan tersebut dalam konteks Muhammadiyah yang telah melahirkan dokumen Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wasy Syahadah pada Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015. Hasnan mempertanyakan tentang pemikiran apa yang diproduksi oleh Muhammadiyah dan bagaimana Muhammadiyah mengkonstruksi pemikirannya. Buku ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah melakukan ijtihad serius untuk menemukan solusi, dengan berangkat dari doktrin Islam berkemajuan. “Islam dipandang secara progresif sebagai agama yang berorientasi menyelesaikan masalah. Muhammadiyah berpendapat bahwa dirinya harus memberikan solusi bagi masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan dewasa ini,” tuturnya.
Ijtihad Muhammadiyah tersebut berangkat dari situasi terkini di tubuh bangsa Indonesia. Pasca reformasi politik, kata Hasnan, tumbuh berbagai kelompok Islamis yang mengkritik fakta bahwa Indonesia bukan negara Islam dan sistem politiknya tidak berpijak pada sistem syari’ah, tetapi berpijak pada Pancasila. “Tumbuh suburnya Islamisme tersebut, menurut Muhammadiyah, adalah ancaman serius yang secara potensial dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa.”
Muhammadiyah menggunakan prinsip siyar bahwa Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dar al-‘ahd. “Sebagai negara konsensus, sebagai negara kesepakatan, bukan negara Islam dan bukan negara perang serta bukan negara yang patut diperangi,” ungkapnya. Tidak berhenti di sini, negara konsensus ini dikonstruksi sebagai dar al-syahadah. Negara yang harus diperjuangkan proses demokratisasinya dan dimajukan. Rumusan ini mewakili keinginan Muhammadiyah bersama seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan cita-cita Indonesia maju. Warga Muhammadiyah sebagai warga bangsa dituntut untuk mengambil tanggung jawab memajukan Indonesia.
Menurutnya, Muhammadiyah mengajukan penafsiran terhadap Islam yang mengafirmasi nilai-nilai demokratis, sementara di saat yang sama juga berargumentasi bahwa demokrasi bersifat Islami secara esensial. Muhammadiyah memahami bahwa paradigma demokrasi harus tetap berpijak pada nilai-nilai religius, seperti keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan seterusnya. Muhammadiyah melakukan objektivasi term-term agama menjadi milik bersama yang ditujukan untuk semua warga bangsa. “Muhammadiyah mengupayakan objektifikasi dan substansialisasi nilai-nilai Islam didasarkan pada argumentasi historis, politis, sosiologi, dan teologis,” kata Hasnan Bachtiar yang juga dosen di UMM.
Anita Lie menyampaikan bahwa tawaran Muhammadiyah merupakan hal yang patut diapresiasi. “Darul Ahdi wasy Syahadah sebagai benteng pertahanan ideologis melawan bentuk dan ideologi islamisme.” Menurutnya, rumusan Muhammadiyah ini membawa segenap warga bangsa pada titik temu semua agama, untuk senantiasa menyebarkan energi cinta dan kasih sayang. “Nilai-nilai luhur Islam memprioritaskan kebenaran, keadilan, perdamaian, keselamatan, keamanan, dan juga harkat dan martabat kemanusiaan,” ujarnya.
Sebagai non-Muslim, Anita Lie mengetahui tentang Islam dari perilaku umat Islam. “Saya membaca Islam yang rahmatan lil alamin itu dari orang-orangnya. Namun di sana sangat beragam, ada banyak wajah Islam,” ujarnya. Bahkan, ia melihat ada beberapa oknum umat Islam, termasuk dari Muhammadiyah yang justru tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut. “Saya berharap internal Muhammadiyah yang menyempal dari ideologi ini bisa dirangkul kembali. Di semua agama, ada teman-teman kita yang perlu dirangkul kembali,” tukas Anita.
Darul Ahdi wasy Syahadah Ikhtiar Muhammadiyah
Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa buku ini terbit di momentum yang tepat. Menurutnya, isu tentang Darul Ahdi wasy Syahadah bukan isu yang baru di kalangan internal Muhammadiyah. Ia merujuk pada sikap Pak AR Fachruddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah yang sangat moderat dalam menegosiasikan Pancasila dan Islam ketika Presiden Soeharto memberlakukan asas tunggal di tahun 1985.
Ada dua poin penting dari buku ini yang dipahami oleh Lukman Hakim. Pertama, Muhammadiyah melalui konsepsi Darul Ahdi wasy Syahadah ingin menenguhkan dan menegaskan bahwa Pancasila adalah darul ahdi. Dalam Al-Qur’an dan hadis, kata Lukman, tidak dikenal darul Islam. Konsepsi bernegara merupakan wilayah ijtihad. Kedua, Muhammadiyah merasa bahwa tidak cukup hanya meneguhkan komitmen, namun juga harus memelihara dan mengisi konsensus ini untuk memecahkan masalah bersama. Darul syahadah bermaksud melahirkan tanggung jawab untuk menjadi saksi dan berkonstribusi aktif memecahkan masalah-masalah bangsa.
Guna penyempurnaan buku ini, Lukman menyarankan supaya dielaborasi lebih jauh tentang Pancasila sebagai konsensus moderat. Mengutip pernyataan Soekarno, Lukman menyebut bahwa Pancasila merupakan titik temu dari berbagai ideologi dunia, yang ketika itu menjadi ideologi besar dunia. Selain itu, buku ini juga perlu mengelaborasi tentang paham kebangsaan yang sering diperhadapkan atau dipertentangkan dengan Islam. “Kebangsaan itu pada ujungnya harus bermuara pada kemanusiaan,” tukas Lukman Hakim.
Amelia Fauzia menyatakan bahwa hubungan agama dan negara menjadi tantangan bersama umat Islam, dan sebenarnya telah menjadi masalah klasik yang telah diulas oleh banyak pemikir. Masalahnya berkisar pada pertanyaan: bagaimana penerimaan Islam terhadap demokrasi? Ada yang berpandangan bahwa Islam dan demokrasi kompatibel namun ada juga yang sebaliknya. Menghadapi situasi ini, Prof Amelia melihat bahwa organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah hadir sebagai penyeimbang wacana di ruang publik. Ruang bersama ini menjadi tempat terjadinya berbagai kontestasi tafsir tentang agama.
Menurut Amelia, Muhammadiyah memiliki para expert yang kompeten dalam melakukan ijtihad keagamaan untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan. Konsep darul ahdi wa syahadah tidak memperpanjang relasi Islam dan konsep politik modern yang bersifat konfliktual, Muhammadiyah menggunakan doktrin siyar yang merupakan konsep klasik sebagai jawaban atas relasi Islam dan non-Islam. Muhammadiyah mengambil dan mengolah konsep klasik dan memformulasikannya dalam konteks kontemporer.
Amelia melihat bahwa Muhammadiyah tidak lagi memisahkan warga dunia berdasar agama, yang menyulitkan kehidupan kita di era modern. “Darul ahdi fokus pada pemilahan berdasarkan kesepakatan (membentuk negara konsensus),” tuturnya. Muhammadiyah juga bukan melakukan privatisasi atau sekularisasi, namun menawarkan masa depan yang harmonis dengan memadukan tradisi Islam dan tradisi Indonesia.
Ide-ide darul ahdi sudah lama muncul di Muhammadiyah. “Individu-individu Muhammadiyah unik dan memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Karakter pendidikan dan karakter pelayanan sosial atau filantropi berbasis agama menjadi ciri khas Muhammadiyah sejak awal. Inklusivisme Muhammadiyah dulu terlihat dalam gerakan filantropi, sekarang dalam konsep kebangsaannya,” ulas Amelia Fauzia.
Bedah buku ini disambut baik oleh Ketua PCIM Australia-Selandia Baru, Hamim Jufri. Menurutnya, Muhammadiyah tidak pernah mengklaim dirinya sebagai yang paling NKRI, tetapi Muhammadiyah terus melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan cita-cita luhur Indonesia.
Ketua IDN Australia, Iwan Wibisono menyatakan bahwa buku ini memberi pesan penting bagi segenap warga Indonesia bahwa Pancasila telah memuat nilai-nilai agama yang bersifat substansif. Pasca-reformasi, kata Iwan, ada kegalauan di sebagian kalangan umat Islam tentang cara memaknai hidup berbangsa. (ribas)