Menanamkan Spirit Kapitalisme dan Sosialisme Pada Lembaga Zakat

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam ranah membangun masyarakat yang mandiri dan sejahtera, peran zakat, infaq, dan shadaqah menjadi sangat penting dan harus diproyeksikan kepada hal-hal yang produktif serta memberdayakan. Semangat inilah yang direprentasikan oleh Lazismu sebagai lembaga zakat tingkat nasional yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infaq, wakaf, dan shadaqah.

Semenjak Muhammad diutus sebagai Nabi dan Rasul, serta diturunkannya Al-Qur’an di tanah Arab 14 abad silam, Zakat, infaq, dan shadaqah menjadi ajaran yang memiliki posisi strategis dalam hubungan antar manusia atau manusia dengan Tuhannya. Setiap ayat di dalam Al-Qur’an yang mengandung perintah shalat selalu diikuti dengan seruan untuk menunaikan zakat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara nilai spritualitas dengan nilai sosial di masyarakat.

Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan bahwa zakat, infaq, dan shadaqah merupakan ajaran Islam yang memiliki dimensi kapitalistik dan sosialistik. Kedua dimensi ini menjadi pilar yang sangat penting bagi Lazismu untuk memfungsikan perannya sebagai lembaga amil zakat. Bergerak untuk memberdayakan masyarakat mustadh’afin.

Selain itu, unsur kapitalisme dan sosialisme pada lembaga zakat perlu terus ditumbuhkan agar tidak muncul mentalitas anti terhadap mereka yang mapan, kaya, dan sukses. Dari mereka yang miskin tidak timbul rasa curiga atau pandangan negatif kepada mereka yang kaya dan berkecukupan. Melalui zakat, Islam hadir sebagai penyeimbang tatanan kehidupan.

“Tidak selamanya kapitalisme memiliki makna yang buruk. Spirit kapitalisme sangat penting untuk urusan muamalah duniawiyah, tentu saja yang sesuai dengan ajaran Islam,” ujar Haedar dalam Rakernas Lazismu yang berlangsung secara virtual (4/12).

Dalam sambutanya, Haedar juga menekankan pentingnya menumbuhkan mentalitas sebagai muzakki pada diri masyarakat muslim Indonesia. Menurutnya, muslim yang kuat adalah mereka yang tangannya berada di atas. Sehingga zakat, infaq, dan shadaqah menjadi parameter utama untuk mengukur seberapa jauh umat Islam memiliki budaya untuk memberi dan berbagi kepada sesama.

“Etos ini sangat perlu untuk ditumbuhkan sebagai perwujudan dari rasa syukur kita kepada Allah Swt,” tegasnya.

Di tengah masalah kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi, zakat, infaq, dan shadaqah dapat menjadi media penghubung antara yang kaya dan miskin. Inilah integritas Islam yang harmonis. Sistem ini perlu untuk dikembangkan di tengah ancaman dunia yang berusaha mempertentangkan antara keduanya. Tugas Lazismu adalah mempertemukan antara yang kaya dan miskin untuk saling bermuhasabah.  

“Melalui zakat, yang miskin kita dorong untuk menjadi mandiri dan berwibawa. Yang kaya kita cegah untuk berlaku rakus atau mementingkan dirinya sendiri tanpa mau berbagi,” jelasnya. (diko)

Exit mobile version