GRESIK, Suara Muhammadiyah– Seminar Nasional sesi pertama dalam Musyawarah Tarjih Muhammadiyah ke-31 mengusung tema: Moderasi Keberagamaan dalam Konteks Indonesia Berkemajuan, yang menghadirkan narasumber Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof M. Amin Abdullah, dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof M. Din Syamsuddin, (5/12/2020).
Din Syamsuddin menyebut bahwa Indonesia Berkemajuan merupakan sebuah tawaran Muhammadiyah tentang corak negara yang ingin dituju oleh Muhammadiyah. Menurutnya, pandangan Muhammadiyah tersebut dapat dipahami dari dokumen Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebagsaan Yang Bermakna Tanwir Muhammadiyah yang disahkan dalam Tanwir di Samarinda tanggal 23-25 Mei 2014 M/24-26 Rajab 1435 H.
Buku ini, ungkap Din, merupakan bentuk komitmen moral kesejarahan Muhammadiyah yang melekat dalam jiwa pergerakan, serta didorong oleh kehendak untuk mewujudkan cita-cita nasional sehingga Indonesia berkembang menjadi bangsa dan negara yang lebih baik, maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Cita-cita yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 ini merupakan kristalisasi dari jiwa perjuangan bangsa sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
“Islam yang dikembangkan itu adalah Islam yang mengikuti perkembangan zaman,” ujar Din Syamsuddin. Islam diharapkan hadir di setiap zaman untuk menjadi penyelesai masalah yang dihadapi manusia di setiap ruang dan waktu. “Islam berkemajuan merupakan din al-hadlarah sebagai agama yang hadir, bukan sekadar agama yang menyesuaikan diri.” Islam berkemajuan memiliki banyak dimensi.
Islam berkemajuan berangkat dari nilai-nilai tauhid. “Keberislaman yang bertumpu pada tauhid. Tauhid ini membawa pada islah,” ungkapnya. Konsep islah ini membangun kemaslahatan dalam wujud gerakan peradaban untuk memakmurkan bumi. Konsep islah berdimensi ganda: (1) berkemajuan atau menjadi yang terbaik, bernuansa pembaruan, (2) bernuansa wasatiyah.
Din Syamsuddin menyebut bahwa keberislaman yang dilandasi nilai tauhid itu harus ditampilkan dalam konteks keindonesiaan. Hal ini melahirkan indikator-indikator yang dapat diukur. Dalam berbangsa dan bernegara juga perlu ada kesepakatan di tengah situasi dunia yang terus berubah. Tanpa kesepakatan dan pengawalan, maka karakter pertengahan ini akan keluar dari jalurnya.
Menurutnya, MUI telah menyusun beberapa kriteria Islam wasathiyah. Din Syamsuddin ketika menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama antar Agama dan Peradaban mengadakan pertemuan ulama dunia di Bogor pada 2018. Pertemuan yang menghasil Bogor Message ini menjabarkan konsep wasathiyah Islam dengan tujuh karakter utama; tawazun (memposisikan di jalur tengah dan lurus), i‘tidal (berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab), tasamuh (mengakui dan menghargai perbedaan dalam semua aspek kehidupan), syura (menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus), ishlah (terlibat dalam tindakan reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama), qudwah (berinisiatif mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia), dan muwathanah (mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan).
Sebagai ummatan wasathan, kata Din, di dalam diri umat Islam ada moderasi yang positif. “Islam tampil di tengah,” ujarnya. Di tengah antara agama Yahudi dan Nasrani, di tengah antara ifrad dan tafrid. Ummatan wasathan punya dimensi berada di depan atau memimpin dengan prinsip keadilan. Menurutnya, Muhammadiyah punya peran untuk mengawal bangsa ini supaya tidak terjadi ekstrimitas di berbagai bidang kehidupan. (ribas)