Oleh: Yunahar Ilyas
Sepeninggal Aminah, Muhammad sepenuhnya diasuh oleh kakeknya Abdul Muththallib yang sangat menyayanginya melebihi sayangnya kepada anak-anaknya. Diceritakan oleh Ibnu Hisyam bahwa ada satu tempat istirahat khusus untuk Abdul Muththalib di bawah naungan Ka’bah. Anak-anaknya biasa duduk mengelilingi tempat itu menunggu kedatangan ayah mereka. Pada suatu hari Muhammad datang dan langsung duduk di tempat istirahat khusus untuk Abdul Muththalib tersebut. Spontan anak-anaknya menarik Muhammad agar mundur dari tempat tersebut. Ketika hal itu diketahui oleh Abdul Muththalib beliau menegur anak-anaknya. “Biarkan cucuku ini, sungguh dia begitu istimewa.” katanya, seraya duduk di samping Muhammad. Sang kakek lalu mengelus-elus pungung sang cucu dengan penuh kasih sayang.
Saat Muhammad berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari, Abdul Muththalib berpulang di Makkah. Pemimpin suku Quraisy dan seluruh penduduk Makkah itu wafat dalam usia 80 tahun. Sebelum wafat dia telah berencana menyerahkan cucunya itu dalam asuhan Abu Thalib saudara kandung ayah Muhammad. (Ar-Rahiq al-Makhtum: 69)
Kembali Muhammad dirundung kesedihan ditinggal mati oleh kakeknya sebagaimana yang pernah dialaminya ketika ibunya meninggal. Sekarang Muhammad kecil diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Sebenarnya AbuThalib bukanlah paman tertua dari Muhammad. Harits lah yang tertua, tapi dia tidak seberapa mampu. Yang lebih mampu dan berkecukupan adalah Abbas, paman beliau yang lain, tapi Abbas kikir sekali dengan hartanya, itu sebabnya dia hanya memegang urusan siqâya (urusan minum) tanpa mengurus rifada (urusan makan) bagi peziarah Baitullah. Sebenarnya Abu Thalib, secara ekonomi juga kurang mampu, tetapi dia mempunyai perasaan yang halus dan penyayang, serta menempati kedudukan yang terhormat di kalangan Quraisy. (Hayâtu Muhammad:55)
Abu Thalib mencintai kemenakannya iu sama seperti Abdul Muththalib mencintainya. Oleh sebab itu dia mendahulukan kemenakannya itu daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. (Hayatu Muhammad:56)
Muhammad kecil ikut membantu pamannya mengembalakan kambing milik keluarga dan juga kambing beberapa penduduk Makkah. Pengalaman mengembala kambing waktu kecil itu nanti diingat Nabi dengan gembira. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata: Pengembala onta dan kambing berbangga di sisi Nabi SAW, lalu Nabi bersabda: “Rasa bangga bagi pengembala onta, ketenteraman bagi pengembala kambing. Musa diutus dan dia pernah mengembalakan kambing milik keluarganya, aku diutus dan aku juga pernah mengembalakan kambing milik keluargaku di Jiyad.” Dalam kesempatan lain Nabi juga mengatakan bahwa waktu kecil beliau pernah mengembalakan kambing milik penduduk Makkah. (lihat Muhammad Suwailaim Abu Syuhbah, As-Sirah an-Naabwiyah ‘ala Dhu’i Al-Qur’an wa as-Sunnah, 1427 jilid 1 hal, 209)
Perjalanan Pertama ke Syam
Abu Thalib bersama kafilah dagang dari Makkah akan berangkat berdagang ke Syam. Dia khawatir meninggalkan Muhammad kecil di Makkah, tapi juga tidak tega membawa Muhammad menempuh perjalanan jauh melintasi padang pasir menuju negeri di utara jazirah Arabia tersebut. Tapi untunglah Muhammad sendiri yang berkehendak ingin mendampingi pamannya itu menempuh perjalanan jauh. Waktu itu Muhammad sudah berumur 12 tahun.
Tatkala kafilah dagang sampai di Bushra, Syam bagian selatan, mereka dijamu oleh pendeta atau rahib Buhaira. Buhaira melihat ada tanda-tanda kenabian pada diri anak kecil tersebut. Ketika melihat kafilah dagang Abu Thalib lewat di depan gerejanya, Buhaira keluar menyambut mereka dan berbaur dengan rombongan tersebut, lalu berusaha menghampiri Muhammad. Dia menggenggam tangan anak tersebut dan berkata: “Inilah penghulu para rasul. Inilah Rasul utusan Tuhan alam semesta. Inlah orang yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Mendengar perkataannya Abu Thalib bertanya: “Dari mana engkau tahu? Buhaira menjawab: “Sungguh, ketika kalian mulai mendekati Aqabah, semua batu dan pepohonan bersujud (merunduk) padahal batu dan pohon tidak akan bersujud, kecuali di situ ada seorang nabi. Aku mengenali dia dari cincin nubuwat di bawah tulang rawan bahunya. Bentuknya menyerupai buah apel. Kami mengetahui tanda seperti itu dari kitab suci kami”. Buhaira menjamu seluruh kafilah layaknya tamu. Dia minta Abu Thalib untuk segera membawanya kembali ke Makkah. Jangan diteruskan pergi ke Syam membawa Muhammad. Buhaira khawatir kalau orang-orang Romawi dan Yahudi mengetahuinya, mereka akan membunuhnya. Maka Muhammad dibawa kembali ke Makkah, sesuai anjuran pendeta tersebut. (Ar-Rahiq al-Makhtum: 70)
Versi lain menyebutkan bahwa setelah mengetahui dari kitab suci Taurat dan Injil yang dipelajarinya, bahwa akan muncul Nabi akhir zaman dari Makkah, maka Buhaira selalu mengamati kafilah dagang yang datang dari Makkah. Maka tatkala dia melihat dalam rombongan Abu Thalib ada seseorang yang selalu dinaungi oleh awan, maka dia berinisiatif menjamu rombongan tersebut. Satu riwayat menyatakan bahwa Muhammad kecil ikut di bawa menghadiri perjamuan, tapi versi lain menyebutkan Muhammad tidak dibawa, tetapi kemudian Buhaira meminta supaya anak kecil itu dibawa.
Dalam perjamuan itulah Buhaira memperhatikan Muhammad dan mengamatinya secara mendalam lalu menemukan tanda-tanda nubuwah pada dirinya. Setelah jamuan usai, Buhaira menanyakan kepada Abu Thalib siapa anak kecil yang bersamanya itu. Abu Thalib menjawab: “Anakku.” “Seharusnya bapaknya sudah meninggal.” kata Buhaira. Abu Thalib membenarkan dan menjelaskan bahwa anak kecil itu adalah anak saudaanya. Bapaknya sudah meninggal tatkala dia masih dalam kandungan ibunya. Buhaira membenarkan Abu Thalib dan menyarankan supaya Muhammad segera dibawa kembali ke Makkah dan waspadalah terhadap orang-orang Yahudi. “Demi Allah, kalau orang-orang Yahudi mengetahui apa yang aku ketahui tentang anak itu tentu mereka akan mencelaki anak itu. Urusan anak saudaramu itu adalah urusan yang sangat besar.” Demikian peringatan pendeta Nasrani tersebut. (Muhammad Sulaim: As-Sirah an-Naabwiyah … 211)
Hanya sekali itu Abu Thalib membawa Muhammad menempuh perjalanan jauh ke Syam. Abu Thalib pun tidak pernah lagi melakukan perjalanan ke Syam, dia merasa cukup dengan harta yang didapatnya walaupun tidak seberapa. Dia menetap di Makkah mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dan terutama kemenakan yang sangat disayanginya Muhammad. Muhammad pun tinggal dengan pamannya, menerima apa adanya. Dia mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh anak-anak seusianya. (Hayâtu Muhammad:57)
Muhammad selalu dilindungi oleh Allah. Tidak pernah mengerjakan hal-hal yang tidak terpuji. Sebagaimana seluruh nabi dan rasul sebelumnya, Muhammad adalah seorang mitsaliyah sejak lahir dan sepanjang hidupnya. Nanti setelah jadi pemuda dewasa, baru Muhammad pergi lagi ke Syam berniaga membawa barang dagangan milik Khadijah. (bersambung).
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 16 Tahun 2018