Bedah Buku Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Dar Al-Ahd Wa al-Syahadah

MALANG, Suara Muhammadiyah-Pusat Studi Islam dan Kebijakan Yayasan Padhang Makhsyar bekerja sama dengan Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A. Malik Fadjar gelar bedah buku Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Dar Al-Ahd Wa al-Syahadah: Elaborasi Siyar dan Pancasila pada Senin, (7/12) di RBC Institute, Perumahan Permata Jingga, Kota Malang.

Buku tersebut merupakan karya Dosen Universitas Muhammadiyah Malang dan Pendiri Reading Group for Social Transformation (RGST), Hasnan Bachtiar, S.Hi, MIMWAdv.

Kegiatan yang diadakan luring ini dihadiri sekitar 30 peserta dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Sementara lebih dari 100 orang juga turut mengikuti via kanal Youtube dan Instagram yang disiapkan oleh panitia.

Bedah buku Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah yang dipandu Eriton, SPd, ini menghadirkan  tiga pembicara utama. Dr Nazaruddin Malik, MSi, selaku Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Malang, Dr Nurbani Yusuf, MSi, sebagai Ketua MUI Kota Batu dan Hasnan Bachtiar selaku penulis.

Pada pengantar diskusi tersebut Dr Nazaruddin Malik, M.Si. Meminta bahwa Muhammadiyah harus terus mengasah kadernya agar menjadi generasi intelektual yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah agar bisa menjadi khoiru ummah.

“Oleh karena itu, saya mengajak kepada kader muda Muhammadiyah untuk terus mningkatkan semangat literasi namun dengan tetap berpegang pada prinsip Muhammadiyah. Sehingga diskusi semacam ini penting digalakkan secara berkelanjutan” papar Nazaruddin.

Kemudian, pada gilirannya Hasnan memaparkan singkat sejarah dari Dar Al-Ahd yang berarti kesepakatan. Hasnan menjelaskan Dar Al-Ahd sebenarnya telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah. Pada saat itu dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah, yaitu perjanjian damai antara umat Islam dan Bani Quraisy pada tahun 628M.

“Indonesia juga merupakan hasil Dar Al-Ahd. Hal tersebut dapat kita lihat dari proses perumusan Pancasila yang merupakan hasil kesepakatan banyak kalangan. Di antaranya tokoh agama, tokoh nasionalis, dan kaum Intelektual” terang Hasnan.

Hasnan juga menyinggung bahwa Muhammadiyah melalui Mukatamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, telah menyepakati bahwa Indonesia tidak cukup hanya sebagai negara Dar Al-Ahd (kesepakatan), tapi juga harus menjadi negara Dar Al- Syahadah (persaksian).

“Buku ini bermaksud melengkapi konsepsi historis tersebut, tidak cukup hanya sebatas kesepakatan, namun harus dilaksanakan dengan aksi-aksi nyata agar menjadi negara yang berkemajuan” tambahnya.

Pada simpulan pemaparannya Hasnan menekankan buku Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah dapat menjadi benteng ideologi bagi warga Muhammadiyah.

“Terdapat beberapa nilai penting yang ada di buku ini, di antaranya untuk memperkuat benteng ideologi Muhammadiayah, memberi petunjuk dalam mengaktualisasikan Dar Al-Ahd wa Dar Al-Syahadah, sebagai perekat hubungan sosial Muhammadiyah dengan Pemerintahan, dan sebagai Jihad Politik Muhammadiyah” tutup Hasnan.

Sementara itu, Kiyai Nurbani, sapaan akrab Nurbani Yusuf, mengapresiasi kehadiran buku Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah mengingat bangsa kita mudah dirongrong oleh kelompok-kelompok yang memiliki orientasi berbeda dengan Pancasila.

“Buku ini adalah cerminan dari pemikiran yang jernih dan akademis dalam memahami sejarah perumusan Pancasila, terkhusus keterlibatan Muhammadiyah. Sehingga tidak ada ruang bagi ideologi lain yang bertentengan dengan nilai-nilai Pancasila”, terangnya.

Pihaknya juga menggaris bawahi supaya anak muda Muhammadiyah harus menjadi benteng penjaga ideologi bangsa, Pancasila yang telah final.

“Melalui pemikiran yang cemerlang anak-anak muda Muhammadiyah perlu terus mengkampanyekan keseluruh penjuru negeri tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tentu saja dengan cara-cara yang arif, baik pemikiran maupun tindakan nyata. Tanpa menimbulkan gejolak baru di tengah masyarakat”, pintanya.  (Farros)

Exit mobile version