Pembaharuan Islam dalam Muhammadiyah

GRESIK, Suara Muhammadiyah – Pembaharuan Islam dalam Muhammadiyah, Sumber utama rujukan hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an dan Hadis sebagai suatu produk pewahyuan berbeda dengan tafsir atau pemahaman atas Al-Qur’an dan Hadis sebagai produk pemikiran manusia. Setiap pemahaman manusia terpengaruh oleh subjektivitas ruang dan waktu.

Hal ini disampaikan Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Al Yasa’ Abubakar dalam Seminar Nasional Sesi II Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-31, pada Ahad, 13 Desember 2020.

Pembaharuan Islam Muhammadiyah

Menurutnya, Al-Qur’an dan Hadis sebelum dipahami dan ditafsirkan memiliki ciri: murni ilahi, kebenarannya absolut, tunggal, abadi, universal, tidak tematis, dan cenderung masih bersifat umum.

Adapun tafsir/pemahaman atas Al-Qur’an yang menjadi pengetahuan ke-Islaman. Bercirikan: campuran antara wahyu dengan pikiran manusia; kebenarannya relatif, berbilang, terikat waktu (temporal), terikat tempat (lokal), temaatis dan sistematis, cenderung sudah rinci dan praktis. “Al-Qur’an yang mutlak itu belum masuk pemikiran manusia, tapi kalau sudah ada pikiran, sudah ada pemahaman, sudah ada diterjemah, maka itu sudah menjadi Al-Qur’an yang bercampur dengan pemikiran,” tuturnya.

Pemahaman fikih secara umum, menurut Al Yasa Abubakar, terdiri dari model: salafiyah, mazhabiyah, dan tajdidiyah. Kelompok tajdidiyah adalah yang merujuk pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan melakukan ijtihad atau pembaharuan dan tidak berafiliasi mazhab tertentu. Model tajdidiyah menjadikan ajaran Islam lebih sesuai dengan kebutuhan di masa kini, sehingga umat Islam tidak teralienasi dari lingkungannya, mudah berinteraksi dengan hasil pemikiran modern, dan tidak gamang ketika menghadapi situasi dunia yang terus berubah.

Gerakan pembaharuan Islam, kata Al Yasa, bermaksud menyesuaikan dan mengubah pemahaman, adat istiadat, institusi dan lain sebagainya, karena ada keadaan baru yang ditimbulkan oleh perubahan/ perbedaan masyarakat, budaya, tempat, dan atau kemajuan pengetahuan ilmiah/teknologi.

Menurutnya, pembaharuan dalam Islam mempunyai dua makna; pertama, merupakan upaya-upaya untuk menyesuaikan (mengubah) pemahaman atas Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (nash yang zhanni dilalah) dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan pengetahuan ilmiah dan teknologi. “Pembaharuan ini menegaskan bahwa paham-paham yang dihasilkan para ulama di masa lalu memiliki kekurangan, yang mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan subjektif, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Sehingga, sebagian paham tidak lagi relevan, dan perlu diperbaharui.

Kedua, mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. “Dengan demikian, maka pembaharuan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah,” kata Al Yasa.

Gerakan pembaruan Muhammadiyah termasuk dalam kategori kedua. Dicirikan dengan dasar metode akademik ilmiah; metode penemuan hukum terdiri dari lughawiah, ta`liliah, istislahiah; beroientasi masa sekarang bahkan masa depan; cakupan isinya padu, menyeluruh, sistematis; ukuran/kebenaran beragam, tanawwu; sistematikanya terbuka; penghargaan atas pendapat Sahabat sama dengan ijtihad ulama lain; hubungan dengan ilmu cenderung menerima dan memanfaatkannya secara maksimal; menggunakan logika modern (deduktif, induktif, reflektif, matematik, statistik, dsb).

Al Yasa menyebut beberapa perbedaan mendasar antara Salafiyah dan Muhammadiyah. Kelompok Salafiyah berorientasi ke masa lalu, menghormati/meniru adat Arab, membatasi kegiatan perempuan di ranah domestik, menolak organisasi dan lembaga modern Muhammadiyah berorientasi ke masa depan, tidak terpengaruh dengan adat Arab, mendorong perempan untuk maju dan terlibat dalam urusan masyarakat, menerima dan memanfaatkan organisasi modern dan lembaga modern.

Gerakan tajdid Muhammadiyah sering dipahami dalam dua pengertian: (1) pemurnian atau purifikasi dan (2) dinamisasi atau modernisasi. Al Yasa yang juga mantan Ketua PWM Aceh ini membahasakannya dengan istilah tanqih dan tajdid. Tanqih dipahami sebagai pemurnian dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah. Sementara tajdid dipahami sebagai pembaharuan dalam bidang muamalah dunyawiyyah atau ibadah ghayr mahdhah. (ribas)

Exit mobile version