YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Fachrodin Award 2020 sebagai ajang penghargaan terhadap karya terbaik jurnalistik tentang peran dan kiprah Muhammadiyah di tingkat lokal. Pada 19 Desember 2020, MPI menyelenggarakan Webinar dan Penganugerahan Fachrodin Award.
Haji Fachrodin, murid KH Ahmad Dahlan dan pengurus Hoofdbestuur Muhammadiyah ini merupakan tokoh pergerakan nasional. Sahabat karib Mas Marco Kartodikromo ini menjadi salah satu penulis tetap surat kabar Doenia Bergerak yang didirikan Mas Marco pada 1914. Fachrodin merupakan tokoh pers yang punya andil besar bagi dunia pers dan kemerdekaan pers di Indonesia. Majalah Suara Muhammadiyah yang dipelopori Haji Fachrodin bersama Kiai Dahlan pada 1915 merupakan karya monumental yang terus eksis sampai hari ini.
Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad berharap Fachrodin Award ini mampu menginspirasi warga Muhammadiyah. “Fachrodin tokoh yang sangat gigih pada waktu itu, dia tidak berpendidikan formal, tapi dia dengan cara otodidak membaca buku, kitab, kemudian menjadi orang yang sangat pintar,” ujarnya. Menurutnya, ajang seperti ini penting dihadirkan di Muhammadiyah. “Sebagai sebuah rangsangan supaya kader Muhammadiyah berani menulis.” Apalagi dalam situasi post truth, publik perlu diberi narasi-narasi alternatif. Salah satunya tentang keteladanan tokoh-tokoh lokal.
Nurcholish MA Basyari, wartawan senior yang menjadi salah satu dewan juri Fachrodin Award menyampaikan dua poin hasil pengamatannya dalam proses penjurian. Pertama, ada semangat menghidup-hidupi Muhammadiyah sebagaimana pesan Kiai Ahmad Dahlan. Para warga Muhammadiyah di tingkat lokal sangat bersemangat berkonstribusi untuk umat. Umat di sini dipahami dalam artian umat manusia secara umum, sebagaimana dalam Piagam Madinah. Muhammadiyah banyak berkonstribusi juga bagi mereka yang tidak beragama Islam. “Mereka melakukan waralaba religius. Para aktivis yang membesarkan Muhammadiyah tanpa mengambil untung dari sana.”
Kedua, mereka menghidupkan kredo fastabiqul khairat. Landasan ini dibumikan tidak sekadar sebagai kata-kata. Menurut Nurcholis, berbagai karya nyata dari para tokoh Muhammadiyah lokal lahir dari dorongan untuk melakukan kebaikan dan panggilan dakwah. Mereka ingin mewujudkan khairu ummah: umat terbaik, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, membangun narasi sejarah dalam konsep kemanusiaan yang adil dan beradab, dan punya kesadaran ilahiah. Semua yang dilakukan merupakan suatu panggilan profetik.
Cendekiawan Yudi Latif menyebut award ini menjadi momen untuk menggalakkan kembali tradisi literasi di lingkungan Islam, Muhammadiyah, dan nasional. Muhammadiyah lahir dengan kepeloporan meningkatkan literasi membaca, khususnya kitab putih. Dulu, kata Yudi, orang berpendidikan modern Barat jika ingin aktif dalam organisasi keagamaan, mereka akan tertarik pada Muhammadiyah karena Muhammadiyah memproduksi karya-karya yang bisa mereka baca berupa kitab putih. “Hampir semua tokoh yang berpendidikan modern, seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan siapapun, lebih tertarik dengan Muhammadiyah karena Muhammadiyah melahirkan berbagai karya-karya tulis yang mampu dibaca oleh orang-orang berpendidikan modern ini,” katanya.
Hari ini, ungkap Yudi, urban sufism banyak menampilkan fenomena paradoks. Mereka yang modern justru kadang berpikiran pendek. “Ketidaktahuan merupakan pangkal dari kebencian. Banyak tidak tahu, banyak membenci,” ulasnya. Harusnya lingkungan perkotaan ini diwarnai oleh Muhammadiyah, dengan membangkitkan daya literasi dan punya empati dan memahami orang-orang lain, tidak mudah jatuh dalam stigma.
Ajang ini juga penting untuk menumbuhkan kembali cara membaca sejarah dari bawah. “Selama ini kita dibombardir untuk membaca sejarah dari atas yang ditulis oleh orang-orang Jakarta. Tulisan-tulisan dalam Farchroddin Award ini betul-betul menjungkirbalikkan cara kita melihat Indonesia, cara melihat sejarah dari bawah,” ujarnya. Indonesia dari bawah justru Indonesia yang punya harapan, menampilkan wajah Indonesia yang lebih berpendar cahaya. “Tidak seperti wajah pusat atau di kalangan elite yang mungkin kusut. Ini membawa optimisme, tidak semurung yang kita bayangkan.”
Hal ini dianggap sebagai model beragama yang membawa kabar gembira. Rakyat di akar rumput memerlukan kabar gembira. Kisah-kisah ini menjadi lentera yang memberi harapan, di saat banyak orang frustasi. Peran komunitas ini perlu dibesarkan. Menurut Yudi, gerak maju negara merupakan perpaduan tiga elemen besar: negara, pasar, dan komunitas. “Sebelum ada negara dan pasar, rahimnya itu komunitas. Ketiganya harus bagi-bagi peran. Komunitas sangat powerful menanamkan nilai pada masyarakat. Tiga peran ini harus sinergi,” katanya.
Mereka yang marjinal, kata Yudi, dipenuhi oleh kecemasan yang melahirkan berbagai ekspresi kebencian, bulian, saling curiga, kecemburuan, ketakutan, dan pengkambinghitaman. “Masing-masing kelompok memiliki kecemasannya masing-masing.” Kecemasan ini perlahan melahirkan rasa tidak percaya. “Kalau rasa saling percaya pudar, bahaya sekali dalam demokrasi. Demokrasi sepenuhnya dibangun dengan rasa saling percaya. Tanpa rasa saling percaya, akan anarki. Orang-orang kembali pada ikatan tribalisme untuk mencari perlindungan. Kembali kepada politik identitas.”
Yudi menyebut bahwa aktivis-aktivis Muhammadiyah lokal mampu membawa politik identitas dengan cara yang konstruktif. Ada tiga model politik identitas; (1) politik identitas yang ugly, atavisme, meniadakan yang lain; (2) politik identitas yang bad, tidak saling menyapa; (3) politik identitas yang positif, manusia selalu punya ikatan kelompok. “Datang dengan semangat identitas, tapi membawa inklusifisme.” Ini penjelmaan semangat Pancasila dalam arti yang sesungguhnya, yang datang dari semangat saling percaya.
Ghifari Yustriadi, Sejarawan Muhammadiyah menyatakan bahwa sejarah banyak didominasi tokoh-tokoh besar. Di level negara, sejarah seolah hanya apa yang ditampilkan dari atas tentang tokoh-tokoh elite. Padahal, menurutnya, ada banyak sisi lain sejarah yang melibatkan banyak orang, terutama orang-orang kecil. Ghifari mengapresiasi Fachrodin Award yang mengangkat tokoh-tokoh lokal.
Ghifari mendorong Muhammadiyah untuk memperbanyak penulisan sejarah lokal, yang bercerita tentang tokoh lokal dengan karya-karya luar biasa. Menurutnya, dalam menulis sejarah lokal, penulis harus menuliskannya secara jernih serta perlu kritis atas sumber. (ribas)