Perdamaian: Kerinduan Abadi Manusia Semesta
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Di perkisaran abad ke-20 menuju abad ke-21, pada tahun 1998, Prof. Richard A. Falk, intelektual Yahudi anti Zionisme menulis peta kemanusiaan sejagat berikut ini:
“Kedatangan millennium baru setidak-tidaknya mendorong imajinasi. Ia adalah sebuah alat penunjuk yang dilemparkan ke pantai di gelap malam sementara sungai sejarah mengalir dengan deras. Yang kita lihat tidak lebih dan tidak kurang hanyalah yang diizinkan imajinasi, terutama harapan-harapan kita yang terdalam dan kecemasan-kecemasan kita yang mengerikan. Berlalunya milenium ini mendorong kutup-kutup harapan [ke arah] yang serba beralawanan: berakhirnya dunia atau bermulanya sebuah harapan baru.” (Lih. Just Commentary, No. 8 January 1998, hlm. 1).
Dunia memang belum berakhir, tetapi perdamaian abadi juga masih jauh dari harapan, sementara sejak akhir 2019 muncul pula Covid-19 yang menebarkan maut di mana-mana serta memporakporandakan lalu-lintas internasional tanpa ampun.
Manusia dihadapkan kepada situasi yang mencekam. Arogansi kekuasaan yang ditunjukkan oleh mereka yang merasa hebat selama ini dengan senjata nuklir dan hartanya yang melimpah sekarang dipaksa untuk bertekuk lutut kepada virus yang tidak kasat mata ini. Manusia nyaris tak berdaya. Tetapi pertanyaan besarnya adalah: apakah dengan gempuran wabah ini umat manusia mau belajar agar lebih arif dan rendah hati dalam menjaga hubungan sesama, melemparkan jauh-jauh segala kesombongan dan kerakusan yang sekian lama telah menghancurkan pilar-pilar perdamaian, peradaban, dan persaudaraan semesta?
Adalah tokoh spiritual Hindu Mahatma Gandhi yang pernah memperingatkan dunia agar tidak berdamai dengan kerakusan: “The world has enough for everyone’s needs, but not enough for everyone’s greed” (Dunia ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak akan pernah cukup untuk untuk kebutuhan orang serakah). Peringatan ini akan tetap relevan selama kerakusan dan kesombongan masih tetap dipertontonkan oleh mereka yang merasa serba lebih dalam segala hal, tetapi dengan menindas golongan yang terpinggirkan dan tak berdaya di bagianbagian dunia lainnya.
Perdamaian merupakan kerinduan abadi (perennial longing and desire) umat manusia yang hati nuraninya masih hidup dan berfungsi, siapa pun mereka, apa pun latar belakang ras, agama, kultur, dan afiliasi politiknya. Tetapi di tangan mereka yang sudah kehilangan kepekaaan batiniah, cita-cita perdamaian telah lama dilemparkan ke dalam limbo sejarah. Naluri perang dengan segala persenjataan yang serba dahsyat tetap saja diproduksi, sehingga dunia mau dijadikan ajang dan panggung untuk berkuah darah, untuk saling membunuh.
Bagaimana agama? Tergantung kepada penafsiran tuan dan puan. Jika penafsiran itu benar, jujur, dan otentik, agama bisa menjadi sumber perdamaian dan persaudaraan kemanusiaan, karena kemanusiaan itu tunggal. Tetapi jika pernafsiran itu palsu dan sarat dengan kepentingan duniawi, maka agama akan menjadi sumber malapetaka yang dapat meluluhlantakkan peradaban manusia. Pengalaman sejarah masa lampau tentang konflik antar agama yang berdarah-darah masih segar dalam ingatan kolektif kita semua.
Teolog Katolik Hans Küng sangat menekankan pentingnya dialog lintas agama, sebab tanpa itu, dunia tidak akan pernah aman:
No peace among the nations (Tidak akan ada perdamaian antar bangsa)
without peace among the religions (tanpa perdamaian antar agama).
No peace among the religions (Tidak akan ada perdamaian antar agama)
without dialogue between the religions (tanpa dialog antar agama).
No dialogue between the religions (Tidak akan ada dialog antar agama)
without global ethical standards (tanpa standar etika global).
No survival of our global (Tidak akan ada kelangsungan hidup dunia global)
without a global ethic, a world ethic, (tanpa etika global, etika dunia)
supported by both the religious and the non-religious (didukung oleh yang beragama dan tidak beragama)
(Lih. Hans Küng, Islam Past, Present & Future, tr. from the German by John Bowden. Oxford-England: Oneworld Publications, 2007, hlm. 661-662).
Saya tambahkan bahwa untuk melangkah ke arah cita-cita besar dan mulia ini, maka di samping kita tetap mengembangkan IQ (intellectual quotient) dan EQ (emotional quotient), ada kekuatan modal ketiga berupa SQ (spiritual quotient), sebagaimana digagas oleh James Redfield, Danah Zohar, dan Ian Marshall, misalnya. (Lih. Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 55-67 dan hlm. 136-143). Kekuatan SQ ini akan jauh lebih ampuh untuk mengembangkan kearifan dan persaudaraan global dibandingan IQ dan EQ dalam upaya kita menciptakan perdamaian yang dirindukan itu.
Akhirnya, jika kita bertanya kepada al-Qur’an tentang tujuan diciptakan-Nya berbagai agama, kultur, bangsa, dan suku bangsa, jawabannya adalah ini. Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 148 kita baca maknanya: “Bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang ia menghadap kepadanya. Maka, berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Lih. M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh. Jakarta: Lentera Hati, 2012, vol. 1, hlm. 423). Kata kuncinya adalah: fastabiqū al-khairât (maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan), bukan menebar kebencian dan menyulut sengketa dan peperangan yang menghanguskan peradaban yang telah dengan susah dibangun selama berabad-abad.
Semoga melalui Festival Senandung Perdamaian Internasional yang digagas oleh Prof. DR. dr. Nyoman Kertia, Sp.D. ini akan semakin menyadarkan kita semua bahwa perdamaian adalah suatu kerinduan abadi yang wajib kita perjuangkan terus menerus, tanpa lelah dan tanpa henti, betapa pun besarnya rintangan dan halangan yang harus dilalui dan dihadapi.
(Sambutan disampaikan pada Pembukaan Festival Senandung Perdamaian Internasional 2020/Gîtâ Śântih Nusântara 2020, pada Sabtu, 19 Desember 2020)