YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pelaksanaan Musyawarah Nasional Tarjih XXXI telah berlangsung secara daring. Dalam Munas Tarjih Ke-31 ini telah dikaji beberapa aspek baik terkait masalahmasalah sosial kemasyarakatan maupun masalah ibadah. Masalah sosial kemasyarakatan meliputi zakat kontemporer, fikih difabel, fikih agraria, masalah terminasi hidup, perawatan paliatif dan penyantunan kaum senior.
Dibahas juga tentang masalah ibadah berupa pengembangan HPT yang meliputi (1) puasa tiga hari pada tanggal 14, 15, 16 setiap bulan kamariyah (Ayyāmul Bīḍ) sebagai salah satu bagian dari puasa tatawwuk; 2) sujud sahwi; 3) salat sunat sesudah wudu; 4) salat Istisqa; 5) salat jenazah secara gaib; serta 6) salat jamak antara salat Jumat dan salat Asar. Termasuk dalam kaitan ini adalah penentuan ulang masuknya fajar untuk memulai puasa dan salat Subuh. Materi lainnya adalah perumusan tuntunan akhlak filosofis
Diharapkan putusan-putusan Munas Tarjih ini dapat mengokohkan gerak Dakwah amar makruf nahi mungkar Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi tajdid. Bagi warga Muhammadiyah serta warga masyarakat Muslim Indonesia umumnya hasil-hasil putusan ini dapat memberikan tuntunan menjalani kehidupan sosial yang harmonis dan menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat kita dalam menghadapi berbagai problem, tantangan serta peluang yang ada.
“Dalam proses persidangan Munas Tarjih, para Peserta Munas yang merupakan tokoh-tokoh ulama, cendekiawan dan pemuka masyarakat telah melakukan pemikiran mendalam untuk bagaimana dapat menegosiasikan teks dan konteks,” kata Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar.
Menurutnya, teks merupakan sumber gagasan dan memberi pengarahan tingkah laku dalam menghadapi konteks di satu sisi, tetapi dalam waktu yang sama pada sisi lain, konteks menentukan bagaimana teks ditafsirkan dan dipahami. Dinamika dan dialektika antara keduanya menghasilkan putusanputusan yang diharapkan dapat memberi pencerahan.
Proses Tarjih ini pada sisi kajian akademik dapat menegasikan pandangan-pandangan tidak seimbang dalam memahami Islam, khususnya hukumnya, terutama dalam pandangan orientalime klasik yang menggunakan pendekatan idealisme abstrak dengan fokus pada kajian suatu teks. “Pandangan para orientalis melihat hukum Islam sebagai hukum idealistik yang tidak bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, hasil rekaan para fukaha yang terasing dari kebutuhan-kebutuhan praktis dan kenyataan-kenyataan riil serta bertolak belakang dengan realitas masyarakat.”
Di lain pihak, kata Syamsul, pemahaman agama (Islam) tidak dapat dicukupkan dengan pendekatan sosio-antropologis ansich yang reduktif, hanya melihat agama sebagai fenomena sosial belaka yang tercerabut dari inti yang memberikan ciri esensial kepadanya, yaitu teks sebagai sumber gagasan. Paham ini kerap dipengaruhi terutama oleh filsafat yang melihat gagasan hanya sebagai fungsi belaka dari pertarungan kelas sosial untuk merebut dominasi. “Dalam Tarjih dialektika teks dan konteks, sebagaimana terlihat dalam dinamika persidangan Tarjih, menjadi bagian esensial dalam suatu manhaj ijtihad.”
Zakat Kontemporer
Syamsul Anwar menjabarkan bahwa mengenai zakat telah diputuskan beberapa item putusan mengenai hukum zakat yang amat penting. Zakat merupakan sumber pendanaan sosial yang harus dikelola secara efisien, tepat guna dan tepat sasaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat kita yang tingkat kesejahteraannya masih jauh di bawah masyarakat negara tetangga. Untuk itu diperlukan tuntunan zakat yang memadai dan menyahuti kebutuhan pengelolaan yang dinamis.
“Dalam putusan Munas ini telah dilakukan reinterpretasi beberapa aspek ketentuan zakat seperti perluasan sumber zakat dan perluasan makna asnaf agar dapat menampung tuntutan sosial yang terus berubah,” tuturnya.
Fikih Zakat Kontemporer disusun sebagai tuntunan yang mengarahkan umat Islam memaksimalkan potensi zakat untuk kesejahteraan sosial. Dalam fikih ini diputuskan bahwa pada prinsipnya harta yang dizakati adalah harta simpanan dan penghasilan. Selanjutnya, selain adanya zakat profesi, dituntunkan pula bahwa badan usaha komersial (perusahaan) adalah subjek hukum syariah. Oleh karenanya ia dikenakan zakat perusahaan.
Selain itu, diputuskan pula satu perubahan mendasar terkait zakat fitri, yakni pada aspek distribusinya; dengan pertimbangan tertentu, zakat fitri dapat didistribusikan oleh badan amil sepanjang tahun. Peruntukannya pun diperluas sehingga mencakup kegunaan untuk modal bergulir, beasiswa, hingga untuk penguatan kelompok-kelompok rentan pendangkalan akidah (muallafah qulubuhum).
Terminasi Hidup Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior
Putusan tentang terminasi hidup, perawatan paliatif dan perawatan kaum senior merupakan tindak lanjut dari keikutsertaan Muhammadiyah dalam deklarasi Vatikan akhir tahun 2019 yang menyepakati bahwa terminasi hidup dengan fasilitas medis bertentangan dengan ajaran agama-agama monoteistik dan secara etika tidak dapat dibenarkan.
Putusan ini ingin memberikan bimbingan bahwa hidup seberat apa pun dalam pandangan Islam tetap memiliki arti karena hidup merupakan anugerah Ilahi sehingga karenanya tidak dapat diakhiri dengan sengaja atas alasan apa pun. Untuk mengurangi kemungkinan permintaan terminasi hidup, yang dalam hukum Indonesia tidak dibenarkan, maka perlu dikembangankan konsep perawatan paliatif dan perawatan kaum senior yang efektif yang tidak hanya berwujud pemberian tindakan teknis medikasi belaka, tetapi juga mencakup peningkatan kualitas hidup, dalam usia yang tersisa, dengan upaya pemberian dukungan moril, psiko-sosiologis, spiritual dan finansial kepada pasien, khususnya dengan penyakit berat dan terminal, serta kepada keluarga yang menghadapi musibah tersebut.
Perlu maksimalisasi pelayanan kaum lanjut usia, khususnya yang rentan (vulnerable persons) karena faktor usia yang menghilangkan sejumlah kemampuan fisik dan mental, agar mereka dapat menjalani hidup mereka tetap mulia dan secara bermartabat sebagai pengamalan hadis “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak mengasihi anak-anak dan tidak memuliakan orang senior.”
Untuk itu, perlu mempromosikan masyarakat perawat dan penyantun yang mewajibkan upaya penyembuhan yang maksimal, perawatan yang komprehensif, dan penyantunan yang manusiawi sebagai bagian dari perwujudan tanggung jawab etis yang inheren dalam jati diri manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai penanda masyarakat Islam yang sebanar-benarnya.
Munas Tarjih merekomendasikan perawatan palliatif sebagai tindakan yang lebih manusiawi dan sesuai dengan semangat ajaran Islam. Perawatan paliliatif adalah perawatan yang kompherensif meliputi dukungan moril, psiko-sosiologis, spiritual dan finansial kepada pasien, khususnya dengan penyakit berat dan terminal, serta kepada keluarga yang menghadapi musibah tersebut. Perawatan ini juga meliputi kaum senior (senior citizen) agar mereka tetap bisa menjalani hidup dengan penuh martabat.
Fikih Agraria
Fikih agraria ingin, kata Syamsul, mengingatkan bahwa pengelolaan pertanahan yang berkeadilan dan mengayomi kepentingan seluruh masyarakat sangat penting di mana pengelolaan yang tidak berorientasi kepada kemaslahatan semua lapisan masyarakat dapat memicu berbagai konflik yang banyak kita saksikan.
Fikih Agraria mengurai kompleksitas persoalan agraria saat ini seperti penderitaan dirasakan oleh petani kecil dan masyarakat adat yang hak-hak dan kearifan lokal mereka dalam pengelolaan tanah sering dikesampingkan. Karenanya, ada tiga ranah penting pengamalan Fikih Agraria. Pertama adalah edukasi, baik kepada rakyat, pengusaha, maupun negara. Termasuk hal ini adalah edukasi kepada umat bahwa persoalan agraria adalah bagian penting dari ‘isu umat Islam’ layaknya kerusakan moral.
Selain itu, adapula advokasi dan regulasi, yakni upaya pendampingan kepada para korban termasuk upaya-upaya hukum dengan melakukan judicial review pada pasal-pasal bersamalah semisal Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Fikih Agraria juga memberikan rekomendasi amal bagi negara, penguasan, hingga keluarga dan individu. Rekomendasi-rekomendasi itu jika dilakukan akan sangat membantu pengentasan problem agraria di tanah air.
Fikih Difabel
Putusan menyangkut fikih difabel diharapkan dapat menjadi landasan dan penghormatan kepada kaum difabel sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak yang sama sesuai dengan framework Fikih Al-Maun dalam Muhammadiyah yang menegaskan pandangan Islam yang tidak tidak diskrimintif terhadap difabel, sebab Allah tidak menilai manusia berdasarkan pada struktur anatomi.
Dalam hal ibadah, pengadaan fasilitas peribadatan harus memerhatikan kebutuhan difabel. Sedangkan dalam tatacara praktis ibadah, Majelis Tarjih menekankan prinsip menghilangkan kemudaratan, memudahkan, dan menggembirakan. Selain ibadah, Fikih Difabel juga disusun untuk memenuhi dan melindungi hak-hak difabel yang berkaitan dengan persoalan hukum dan muamalah, hak tumbuh kembang, dan hak sipil yang meliputi aksesibilitas semua fasilitas yang menjadi kebutuhan difabel seperti layanan hukum, lapangan kerja, berpatisipasi dalam politik, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain.
Koreksi Waktu Subuh
Aspek penting juga dalam putusan Munas Tarjih kali ini adalah ijtihad ulang waktu subuh di mana para peserta menyepakati 18 derajat setelah melalui debat panjang dan menegangkan.
Belakangan, bahasan ini cukup hangat diperbincangkan lantaran adanya perbedaan pendapat tentang ketinggian matahari waktu subuh. Pembahasan terkait masalah ini juga merupakan lanjutan dari temuan Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA, Pusat Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (Pastron UAD), dan Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU).
Berdasarkan temuan ketiga lembaga penelitian astronomi dan ilmu falak Muhammadiyah ini menyimpulkan bahwa ketentuan Kementerian Agama tentang ketinggian matahari pada waktu subuh di angka -20 derajat perlu dikoreksi dan Majelis Tarjih menilai -18 derajat merupakan angka yang lebih akurat.
Risalah Akhlak Islam
Putusan tentang akhlak dimaksudkan memberikan penekanan tentang spiritualitas yang berbasis aktifisme yang berbasis etika terlibat, meskipun tidak menafikan etika niat. Pembinaan akhlak dipandang sebagai sangat penting tidak saja sebagai karakter personal, tetapi sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk membawa bangsa kita benarbenar menjadi bangsa berkeadaban dan menghargai arti keadilan dalam kehidupan. Semangat dari seluruh proses Munas Tarjih ini sangat menekankan peran negara yang aktif dan arif sebagai garda depan dalam penyelesaian berbagai masalah sosial masyarakat seperti direspon dalam putusan-putusan Munas ini.
Risalah Akhlak Islam Filosofis disusun sebagai upaya pengarusutamaan akhlak dalam kehidupan beragama. Risalah ini meninjau konsep akhlak secara filosofis yang ditautkan dengan dasar tekstual-normatif dalam al-Quran dan Hadis. Hal ini dirasa sangat penting karena pengetahuan tentang perbuatan baik dan pengejawantahan perbuatan baik di dalam kehidupan membutuhkan orientasi yang jelas.
Dengan orientasi yang jelas itu muncul kesadaran yang akan melahirkan pebuatan baik (ihsan) pada berbagai level kehidupan manusia. Dimulai dari peran sebagai individu, hamba Allah, anggota keluarga, anggota kelompok/komunitas, anggota masyarakat, warga negara, dan warga dunia. Konsep tentang perbuatan baik tersebut merujuk kepada semangat beramal dan mengabdi sehingga risalah ini mengikuti tradisi tasawuf akhlaqi.
Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih (HPT)
Munas Tarjih kali ini juga meninjau ulang beberapa tuntunan yang tertera di dalam HPT. Peninjauan ulang ini berupa menambah dan melengkapi uraian atau dalil dalam tuntunan terkait puasa tiga hari pada tanggal 14, 15, 16 setiap bulan qamariyah (Ayyamul Bidh) sebagai salah satu bagian dari puasa tatawwuk; 2) sujud sahwi; 3) salat sunah sesudah wudu; 4) salat Istisqa’; 5) salat jenazah secara ghaib; serta 6) salat jamak antara salat Jumat dan salat Asar. Dengan peninjauan ulang ini diharapkan warga Muhammadiyah akan semakin mantap dalam mempedomani HPT. (ribas/ppm)